Alvaro berdiri di depan jendela kaca kamar apartemennya. Ia memegang segelas wine sembari menikmati keindahan malam kota.
Semenjak bertemu Flora, pikirannya dipenuhi oleh wanita itu. Ia juga seperti tidak asing dengan wajah anak Flora.
"Anak itu ... Matanya ... Sepertinya aku pernah melihatnya," gumamnya.
Alvaro meneguk habis minumannya. Ia letakkan gelas di atas nakas lalu beralih ke tempat tidur. Diambilnya dua lembar foto yang tergeletak di sana. Satu foto Flora saat masih SMA dan satunya lagi foto terbaru Flora yang digunakan untuk melamar pekerjaan di perusahaannya. Ia kembali membandingkan kedua foto itu. Memang terlihat orang yang sama, hanya berbeda bentuk wajahnya. Flora saat SMA lumayan gemuk.
"Aku tidak menyangka Bul-Bul bisa berubah begini," ujar Alvaro sembari mengulaskan senyum. Rasanya ingin tertawa setiap kali mengingat Flora waktu SMA. Dia sangat suka mengejeknya.
Flora yang sekarang sangat cantik, mengingatkan ia pada masa silam, enam tahun yang lalu.
Malam itu Alvaro mendatangi pesta launching salah satu produk dari perusahaannya. Ia mengundang banyak rekan bisnis, termasuk artis yang menjadi brand ambassador baru produk tersebut. Namanya Prilly Anastasia.
"Terima kasih, Pak Alvaro. Saya merasa terhormat menerima undangan Anda," ucap Prilly dengan sopan.
"Saya juga berterima kasih Anda sudah mau menjadi brand ambassador kami sehingga penjualan produk meningkat cukup pesat."
"Anda terlalu berlebihan memuji. Produk Anda sangat digemari masyarakat karena memang kualitasnya bagus."
Prilly merupakan artis dan penyanyi pendatang baru yang tengah digemari kala itu. Namanya langsung naik daun setelah menyanyikan lagu buatannya sendiri.
Keduanya makan malam bersama di satu meja yang terpisah dengan meja lain. Mereka saling bercakap-cakap membahas masalah seputar pekerjaan sambil menikmati hidangan makan malam.
"Aduh!" Alvaro memegangi kepalanya. Tiba-tiba ia merasa sedikit pening.
"Anda kenapa?" tanya Prilly khawatir.
"Tidak apa-apa. Saya hanya sedikit merasa kurang enak badan," jawab Alvaro. Ia merasa tubuhnya terasa panas dan keringat mulai mengucur di tubuhnya.
"Apa mau saya antar untuk istirahat?" Prilly menawarkan bantuannya.
"Tidak usah, saya bisa sendiri. Saya akan istirahat sebentar di kamar hotel. Anda nikmati saja pestanya dengan yang lain," kata Alvaro.
Ia bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan tempat acara. Sebisa mungkin ia tahan rasa pusing yang masih dirasakan di kepala.
Malam ini cuaca terasa panas. Ia bahkan tidak betah mengenakan jasnya. Ia lepaskan sambil berjalan menuju kamar hotel miliknya. Dasi yang melilit di leher juga ia lepas. Tapi, rasa panas itu belum juga menghilang.
"Sialan! Apa wanita itu menaruh sesuatu dalam minumanku?" tebak Alvaro. Ia yakin apa yang dialaminya bukanlah sesuatu yang wajar. Ia seakan menjadi punya hasrat yang tidak terkendali setelah minum bersama Prilly.
"Hah! Apa dia mau main-main denganku? Tidak akan aku biarkan rencananya berhasil!"
Alvaro bergegas pergi ke kamarnya. Namun, saat ia hendak membuka pintu, ia lupa tidak membawa kunci akses kamarnya. "Ah, sial!"
Dilihatnya kamar sebelah sedikit terbuka. Ia sudah tidak bisa menahan dirinya. Ia berniat bersembunyi di kamar sebelah sampai esok hari.
"Tidak ada pemilik kamar ini, kan?"
Alvaro mengira sudah tidak ada orang di kamar itu. Ia masuk saja dan mengunci pintu kamar dengam rapat.
"Tolong!"
"Alvaro, tolong aku!"
Ia dengar suasa seseorang memanggil namanya dan meminta tolong. Pandangannya sudah mulau kabur. Sama-samar ia lihat ada seseorang di atas ranjang dalam kondisi terikat.
Ia meneguk ludah melihat penampilan wanita itu yang tampak cantik dengan gaun yang sangat terbuka. Hasratnya semakin meninggi. Ia berusaha keras menepisnya dan melepaskan ikatan wanita itu.
Wajahnya sangat cantik, namun ia tak bisa mengenalinya dengan jelas. Ia rasa wanita itu pasti mengenalnya.
Pengaruh obat membuatnya semakin hampir mati. Ia sudah tidak bisa lagi menahan hasratnya sendiri.
"Apa yang kamu lakukan?" wanita itu terlihat ketakutan saat Alvaro mendekatinya.
"Aku tidak bisa menahannya lagi. Tolong. Bantu aku malam ini," ucap Alvaro dengan wajah yang sudah sangat memerah.
"Hentikan, kumohon jangan lakukan," pinta wanita itu dengan wajah memelas. Meskipun menolak, wanita itu seperti tidak ada tenaga untuk melakukan perlawanan.
"Maafkan aku," ucap Alvaro yang tidak bisa menahannya lagi.
Malam itu ia bertindak di luar kendalinya. Tanpa tahu siapa wanita itu, ia mengajaknya bercinta. Ia masih menyesali kejadian malam itu dan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun, ia tidak tahu siapa wanita yang sebenarnya dia tiduri malam itu.
Saat terbangun, tidak ada apapun di sisi Alvaro. Hanya kondisi kamar yang berantakan serta bercak merah yang tertinggal pada sprei hotel. Ia menyesali perbuatannya yang begitu liar.
***
"Gavin ... Kalau sudah selesai mandi cepat pakai seragamnya! Sarapan sudah siap!" seru Flora.
"Iya, Ma ...." terdengar jawaban dari arah kamar mandi.
Flora tampak terburu-buru menyiapkan sarapan. Ia melakukan semuanya dengan gerakan yang cepat. Selesai memasak, ia lepas apron dan berlari ke dalam kamar.
"Hah! Gara-gara bos cerewet itu aku jadi repot!" gerutunya sembari mengoleskan make up pada wajahnya.
Selama bekerja di luar negeri, ia tidak pernah repot memikirkan penampilan. Perusahaan tempatnya bekerja hanya memastikan karyawannya mampu bekerja sesuai dengan bidangnya.
Bosnya sekarang memang berbeda. Ia disindir hanya gara-gara penampilannya.
"Dia kira aku nggak bisa berdandan!" kesal Flora.
Kehidupan SMA yang pernah ia lalui sangat menyakitkan. Candaan berlebihan dari Alvaro masih membekas di hati sampai sekarang. Bahkan setelah lulus SMA ia bersumpah tidak akan mau lagi berurusan dengan lelaki itu.
Flora sengaja memilih kampus yang berbeda dari Alvaro. Ia ingin menikmati kehidupannya dengan tenang. Semenjak itu, ia jadi rajin olah raga dan mengatur pola makan. Akhirnya, ia berhasil menurunkan berat badan dan wajahnya juga ikut berubah. Jarang yang bisa mengenalinya karena lumayan berbeda.
Sayangnya, lagi-lagi mereka harus bertemu. Apalagi kini flora harus menjadi bawahan Alvaro.
"Begini sudah bagus, kan?"
Flora memandangi pantulan bayangannya sendiri pada cermin. Ia menggunakan make up yang ada untuk mendandani wajahnya. Ia rasa penampilannya sudah cukup bagus walaupun tidak menor. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai dengan gelombang-gelombang yang ia buat memakai catokan.
Usai berdandan, ia lantas mencari pakaian yang dirasa pantas untuknya. Ia mengenakan kemeja warna salmon lengan panjang dipadukan dengan rok hitam selutut.
"Nah, sudah siap!" katanya.
"Mama mau kemana?" tanya Gavin yang tengah menikmati sarapannya. Ia terlihat heran melihat penampilan ibunya yang jauh berbeda dari biasanya.
"Tentu saja mau berangkat kerja, Sayang. Memangnya kamu kira Mama mau kemana?" Flora tertawa dengan pertanyaan putranya. Ia turut bergabung di meja makan untuk menikmati sarapan paginya yang sederhana.
"Mama cantik banget," puji Gavin.
Flora menyunggingkan senyuman lebar. "Terima kasih pujiannya."
"Jadi kayak orang mau pergi pacaran ya, Ma!" celetuk Gavin.
Flora langsung membatu. Komentar anaknya memang ada-ada saja. "Mana ada waktu buat pacar-pacaran segala, Sayang. Aturan dari kantor memang harus berpakaian rapi dan berdandan seperti ini," ucapnya memberi penjelasan.
"Tapi, dulu Mama juga kerja di kantor tidak dandan seperti ini?" Gavin terus bertanya ingin tahu.
"Kalau di sini beda, Sayang. Aturannya ada sendiri."
"Tidak apa-apa sih, Ma. Gavin suka kok Mama jadi cantik. Om CEO juga pasti akan suka sama Mama!"
Flora melebarkan matanya. "Gavin ...," tegurnya.
"Kalau Om CEO suka sama Mama, Gavin kan jadi bisa punya Papa!" katanya dengan polos.
Flora hanya bisa menepuk dahinya. Ia sudah memperingatkan agar putranya tidak memikirkan lelaki itu lagi, tapi Gavin terus membahasnya.
'Gavin, Gavin ... Memangnya kamu mau kalau Mama jadi pelakor? Papamu itu sudah punya keluarga, jangan banyak berharap. Kita akan baik-baik saja meskipun hanya hidup berdua,' ucap Flora dalam hati.
"Ayo, Sayang! Cepat habiskan sarapanmu. Kita bisa terlambat kalau kelamaan," pinta Flora.
Mereka menyelesaikan sarapan lalu bersiap berangkat. Flora memesan taksi karena sudah cukup kesiangan. Ia lebih dulu mengantarkan Gavin ke sekolah.
"Selamat pagi, Ibu Flora," sapa guru Gavin yang tengah berdiri di depan gerbang sekolah menyambut kehadiran para siswa.
"Selamat pagi, Miss Rida. Saya titip Gavin, ya!" kata Flora.
"Iya, Bu. Ayo, Gavin, masuk ke kelas. Teman-teman sudah menunggu," kata Miss Rida dengan lembut.
"Mama, aku sekolah dulu," pamit Gavin seraya mencium tangan ibunya.
"Iya, Sayang. Belajar yang rajin dan jadi anak baik. Janji, ya! Tidak boleh mengulangi lagi kabur dari sekolah. Jangan membuat orang khawatir," pinta Flora.
Gavin mengangguk paham. "Iya, Ma."
Flora melambaikan tangan ke arah Gavin yang masuk ke area sekolah. Ia hanya bisa melihat dari depan gerbang. Orang tua dilarang masuk mengantar sampai ke dalam. Setelah itu, ia kembali menaiki taksinya dan menuju ke perusahaan tempatnya bekerja.
Saat memasuki lobi, Flora kembali menjadi pusat perhatian. Banyak karyawan yang mencuri pandang ke arahnya, namun dengan ekspresi berbeda dengan saat pertama ia datang ke sana.
"Oh, maaf!" kata Flora.
Ketika hendak menekan tombol lift, tanpa sengaja tangan Flora menyentuh tangan orang lain. Ternyata seorang lelaki yang berpakaian rapi. Ia menebak dia karyawan di sana juga dan pasti punya jabatan penting karena bisa menggunakan akses lift khusus.
Pintu lift terbuka. Lelaki itu masuk lebih dulu. "Kamu tidak ikut masuk?" tanyanya.
"Ah, iya."
Flora terlihat sedikit canggung melangkahkan kaki dan berdiri di samping lelaki itu.
"Mau ke lantai berapa?" tanyanya.
"Lantai 25," jawab Flora.
"Oh, ternyata tujuan kita sama."
Lelaki itu lantas menekan tombol lantai yang dituju.
"Kamu pegawai baru di sini? Sepertinya aku baru melihatmu," tanyanya memastikan.
"Em, iya, Pak. Benar. Saya pegawai baru di sini."
"Di bagian divisi mana?"
"Em, saya sekertaris Pak Alvaro yang baru."
"Oh, jadi kamu sekertaris baru itu. Pasti sangat melelahkan bekerja dengannya," ujar lelaki itu.
Flora terkejut sepertinya lelaki itu juga tahu kalau Alvaro memang orang yang sangat menyebalkan.
Beberapa saat kemudian, lift terbuka. Mereka keluar bersama dari sana.
"Oh, iya. Kita belum berkenalan," katanya seraya mengulurkan tangan.
Flora membalas jabatan tangan itu.
"Namaku Gandhi," katanya memperkenalkan diri.
"Saya Flora."
Gandhi tersenyum. Lelaki itu memiliki wajah yang tampan dan rupawan. Flora menebak pasti ada banyak karyawan yang mengidolakannya.
"Senang bertemu denganmu, Flora. Aku harap lain kali kita bisa ngobrol-ngobrol lagi seperti ini."
"Iya, Pak. Kalau begitu saya permisi," pamit Flora.
Di depan pintu ruangan sudah berdiri Alvaro dengan tatapan tajamnya. Flora sudah merasa ada hal buruk yang akan terjadi.
"Selamat pagi, Pak," sapa Flora dengan sopan.
"Kamu telat!" kata Alvaro dengan nada yang terdengar kesal.
Flora melihat jam tangannya. Ia baru telat 5 menit.
Alvaro masuk kembali ke dalam ruangan diikuti oleh Flora.
"Karyawan baru sudah tidak disiplin!" bentaknya.
Flora mencoba untuk tenang. "Maaf, Pak. Saya sudah hadir di perusahaan dan melakukan absensi di lantai bawah sebelum jam delapan," kata Flora.
"Aku menghitungnya sampai di ruangan ini kamu telat!" Alvaro tidak menerima alasan.
"Iya, Pak, Maaf, saya sudah telat lima menit."
Meskipun kesal, Flora berusaha bersabar dan mengalah. Alvaro memang sejak dulu sudah menyebalkan, apalagi dia juga dulu target bully-nya.
"Makanya jangan kebanyakan ngobrol! Ini belum waktunya jam istirahat!"
Kini Flora mengerti. Sepertinya ia ketahuan sempat berbicara sebentar dengan Gandhi.
"Cepat duduk di sana! Ada yang ingin aku bicarakan secara serius denganmu!" perintah Alvaro.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Lie Hia
oohh hari pertama telat dikit boss, jgn marah2 sm flora yaa
2023-09-16
0
Uneh Wee
oh yg jebak tuh prillialvaro tp yg jd. korban flora
2023-07-03
1