Bab 3: Bos Tukang Bully

Hari pertama bekerja Flora langsung diminta untuk menemani Alvero menemui seorang klien dari Singapura. Lelaki itu masih sempat sesekali mengejeknya dengan sebutan “Bul-bul” yang merupakan ejekannya saat SMA. Flora hanya bisa berusaha mengabaikan kelakuan kekanak-kanakkan Alvero.

“Penampilanmu sangat jelek, untung saja terbantu dengan kemampuan komunikasimu yang bagus,” ucap Alvero setelah pertemuan itu berakhir.

“Dia memang tidak bisa berubah,” gerutu Flora yang kesal dengan suara kecil.

“Pokoknya besok kamu harus berdandan yang rapi dan cantik. Kalau perlu operasi plastik. Kalau tidak ada biaya, aku yang akan membiayai,” imbuh Alvero.

“Cih, sombong!” lirih Flora.

Ia tidak tahu apakah akan tahan untuk bekerja dengan lelaki itu seterusnya. Baru hari pertama saja rasanya ia ingin berhenti.

“Kamu sejak tadi aku bicara kenapa diam saja?” protes Alvero.

Flora menyunggingkan senyum. “Baik, Pak. Akan saya lakukan apa yang Anda minta,” katanya.

“Pasti akan sangat sulit mendandani wajah jelekmu itu. Tapi, setidaknya kamu tidak gendut seperti dulu. Pipimu juga lebih tirus sekarang.”

“Pak, bisa tidak Anda berhenti membahas fisik saya?” akhirnya Flora mengeluarkan keluhannya.

“Kamu tersinggung?” ledek Alvero.

Flora tidak habis pikir ada lelaki semacam itu. Meskipun wajahnya tampan, tapi jika dia satu-satunya lelaki di dunia ini, dia tidak akan memilihnya. Flora juga merasa lega karena Alvero tidak tahu kalau Gavin adalah anaknya.

“Lebih baik aku mengumpulkan uang yang banyak untuk pengobatan Gavin dari pada meminta tolong kepada lelaki narsis dan sombong seberti dia,” gerutu Flora lirih.

“Apa katamu?” Alvero seperti mendengar Flora berbicara sesuatu.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya memang jelek,” kilahnya.

“Nah, kamu mengakuinya sendiri.” Alvero tersenyum senang. Entah mengapa ia sangat bahagia bisa meledek seseorang yang sudah sangat lama tidak ditemuinya. “Kalau begitu, kita ke lobi sebentar,” ajaknya.

“Bukankah jam kerja saya sudah berakhir?” protes Flora.

Alvero memicingkan sebelah alisnya. “Aku hanya ingin mengenalkanmu pada orang yang biasa membuatkanku minuman. Karena kamu sekarang yang jadi sekertarisnya, jadi kamu yang harus membuatkannya untukku.”

Flora tidak percaya jika menjadi seorang sekertaris juga harus menyiapkan minuman untuk atasannya juga. Ia merasa sedang dijadikan sebagai pelayan.

“Setelah itu kamu bisa langsung pulang,” kata Alvero.

Flora hanya bisa menurut. Ia mengikuti bosnya menaiki lift khusus yang berbeda dengan lift yang tadi pagi ia naiki. Lift ini terlihat lebih bagus dan mewah.

“Ini lift khusus untuk petinggi perusahaan. Karena kamu sekertarisku, kamu boleh ikut memakainya,” kata Alvero.

Ting!

Pintu lift terbuka.

Seorang anak laki-laki berdiri tegap tepat di hadapan mereka. Matanya terlihat jernih dan berbinar-binar.

“Mama ….” Panggil anak itu dengan polosnya.

“Papa?” panggilnya lagi saat melihat Alvero, lelaki yang berdiri di sebelah ibunya.

Flora sangat panik. Ia melangkah keluar lift dengan segera menggendong Gavin dan menutup mulutnya. Sementara, Alvero masih tertegun di tempat. Ia seperti mendengar anak itu memanggil ‘Mama’.

“Maaf, Pak. Sepertinya saya harus pulang sekarang,” kata Flora dengan canggung.

“Mama, apa om tampan itu ….”

Flora kembali menutup mulut anaknya. Ia tidak mau Alvero sampai tahu kalau Gavin adalah anaknya. “Maaf, Pak. Saya pulang sekarang!” ia segera kabur dari hadapan Alvero.

Alvero keluar dari dalam lift dengan perasaan heran. Memang sejak lulus SMA dia tidak pernah lagi bertemu dengan Flora.

“Flora sudah punya anak? Berarti dia sudah menikah?” tanyanya pada diri sendiri. “Tadi anak itu memanggil ‘Mama’, kan? Atau tadi anak itu panggil ‘Papa’? Yang benar saja, masa Flora sudah menikah?”

Seingat Alvero, ia sudah membaca seluruh biodata yang Flora berikan. Riwayat Pendidikan serta pengalaman kerja dan kemampuan yang dimiliki sudah ia baca dengan teliti. Ia yakin jika dalam biodata tersebut dituliskan bahwa status Flora masih single.

“Apa dia sudah janda?” ia semakin merasa penasaran.

Alvero kembali memasuki lift menuju ruangannya. Ia mengambil biodata milik Flora yang masih tergeletak di atas meja kerjanya. Ia kembali membacanya. Di sana jelas tertulis bahwa status Flora adalah single.

“Aku tidak salah, kan? Dia memang masih single,” gumam Alvero.

“Usia anak itu sepertinya sama dengan Leonard, mungkin sekitar lima tahun. Sejak kapan dia jadi ibu tunggal?”

Alvero mengalihkan pandangan ke foto keluarga yang terpasang di sana. Ia rasa anak yang tadi dilihatnya seumuran dengan anaknya, Leonard.

Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. “Tolong carikan informasi tentang sekertaris baruku. Semua hal, pokoknya dapatkan informasinya. Besok aku tunggu laporannya sudah harus ada di meja kerjaku!” perintahnya.

***

“Gavin, kenapa kamu mendatangi kantor Mama?” tanya Flora saat perjalanan mereka pulang dari perusahaan.

“Aku ingin melihat tempat kerja Mama yang baru,” jawab Gavin tanpa rasa bersalah. Ia sibuk menikmati permen lolipopnya.

Flora menghela napas. “Gavin, jangan diulangi lagi, ya! Miss Rida tadi sangat khawatir kepadamu,” nasihatnya.

Gavin mengangguk. “Maafkan Gavin ya, Ma,” ucapnya dengan polos.

“Iya, Sayang. Mama sudah memaafkanmu,” balas Flora dengan senyuman tulusnya.

Anak itu sudah membuat gempar sekolahannya. Semua guru di TK Tunas Permata mengira Gavin hilang dan diculik orang. Ternyata anak pintar itu pergi sendiri ke perusahaan tempat ibunya bekerja.

“Gavin,” panggil Flora.

“Iya, Ma?”

“Kamu tadi ke kantor Mama naik apa?” tanya Flora penasaran. Jarak antara kantor dengan sekolah Gavin terbilang cukup jauh dan Gavin tidak beri uang jajan.

Gavin menyunggingkan senyuman lebar. “Aku tadi pura-pura jadi anak hilang, Ma. Terus, ada pak polisi lewat. Gavin bilang mama kerja di perusahaan itu. Jadi, Gavin diantar ke sana,” katanya.

Jantung Flora rasanya mau copot. Ia merendahkan badan dan berlutut di depan Gavin hingga tatapan mereka sejajar. “Gavin, dengarkan Mama baik-baik … jangan lakukan hal seperti itu lagi, ya!”

Gavin mengangguk.

“Kalau kamu ingin bertemu Mama atau menginginkan sesuatu, bilang kepada Ibu Guru atau Mama. Jangan pergi sendirian.” Flora merasa beruntung karena kali ini putranya bertemu dengan polisi baik hati. Ia tidak bisa membayangkan jika yang Gavin temui adalah penculik, mungkin saat ini Gavin benar-benar hilang.

“Iya, Mama. Nasihat Mama akan aku ingat,” katanya.

“Ah, ini baru anak baik Mama,” puji Flora.

Ia memeluk putranya seraya melanjutkan kembali perjalanan mereka menuju rumah kontrakan.

“Mama, Om ganteng tadi itu siapa?” tanya Gavin.

Flora rasanya sangat malas untuk membahas

lelaki menyebalkan seperti Alvero. Namun, putranya tidak akan puas bertanya sebelum ia menjawab. “Dia Bos Mama, Sayang.”

“Sepertinya Gavin mirip dengan Om itu, Ma. Apa dia Papa Gavin?”

Flora terdiam sesaat. “Sstt! Kamu jangan sembarangan orang memanggil “Papa”, nanti ada yang marah!”

“Kenapa marah, Ma?” tanya Gavin penasaran.

“Bos Mama sudah menikah, dia sudah punya anak juga. Nanti anaknya marah kalau kamu ikut-ikutan memanggil dia ‘Papa’.”

***

Malam itu Flora tengah duduk menemani putranya menikmati makan malam sambil menoton televisi. Gavin sudah terbiasa makan sendiri. Anak itu terlihat lahap menyantap nasi dan ikan shisamo kesukaannya.

Flora masih berkutat pada laptopnya menyusun jadwal pertemuan perusahaan dengan para klien. Ia tidak ingin memberi celah CEO perusahaan yang menyebalkan itu bisa mengkritik pekerjaannya.

"Ma, bos di kantor Mama itu cocok jadi papaku karena dia sangat tampan sama seperti aku," celetuk Gavin.

Flora hanya menghela napas. Ia rasa anaknya juga mewarisi sifat narsis lelaki menyebalkan itu. Wajah Gavin juga cukup mirip dengan Alvaro, apalagi kedua matanya.

"Gavin, mama kan sudah bilang jangan berpikir seperti itu lagi."

"Tapi, kita kan pindah untuk mencari Papa, Ma. Jadi, Papaku yang dimana?" desak Gavin.

Sejak lama ia ingin mengetahui siapa ayahnya. Ia kerap diledek teman-temannya karena tidak punya ayah.

"Kamu sabar, ya. Nanti kalau waktunya sudah tepat, kita akan bertemu Papa," kata Flora untuk menenangkan putranya.

"Mama punya foto Papa nggak? Kita kan bisa bawa ke kantor polisi biar dibantu cari," ujar Gavin.

Putra Flora memang terlalu cerdas untuk dikelabuhi. Sejak kecil, anak itu tumbuh menjadi anak yang kritis. Segala hal ditanyakan sampai terkadang ia bingung sendiri untuk menjawabnya.

"Kebetulan Mama tidak menyimpan foto papamu, Sayang," kilah Flora beralasan.

"Semua teman Gavin punya foto bareng papa mamanya, Ma. Cuma Gavin yang nggak punya," protes Gavin.

Flora menghentikan pekerjaannya dan mendekati Gavin. Ia memeluk anak yang sangat dicintainya. Ia teringat lagi pada foto yang ada di ruang kerja Alvero. Air matanya jatuh, sedih, ia tak bisa mengatakan bahwa ayah Gavin sebenarnya ada di dekatnya.

"Mama kenapa nangis?" tanya Gavin.

"Soalnya Mama sedih belum bisa mempertemukan Gavin dengan Papa. Mama minta maaf, ya," ucap Flora.

Dengan tangan kecilnya, Gavin mengusap air mata yang mengalir di wajah ibunya. "Iya, Mama. Tidak apa-apa. Gavin juga nanti akan bantu cari. Jangan sedih lagi."

Terpopuler

Comments

Lie Hia

Lie Hia

Gavin pintar sekali, seakan punya ikatan batin dgn papanyaa

2023-09-16

0

Uneh Wee

Uneh Wee

ggimn klau alvaro tau gavin anak nya apa bkln d akui

2023-07-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!