BAB 2

Dokter membuka pelan pelan perban yang menutupi mata White. Jantung pria itu berdebar berdebar kencang. Semoga saja apa yang dia takutkan tidak terjadi.

"Sekarang buka mata anda," titah Dokter.

White membuka pelan-pelan matanya. Rasanya sedikit perih. Sang mama yang berada disebelahnya, menggenggam tangannya erat. Gelap, dia tak melihat apapun meski matanya sudah terbuka. Dia meraba matanya, tak ada perban lagi disana, tapi kenapa dia masih tak bisa melihat apapun.

"Dok, kenapa gelap? Saya tak bisa melihat apapun."

Deg

Jantung Mama Nuri seperti berhenti berdetak. Air matanya luruh tanpa diminta. Ketakutan terbesarnya menjadi nyata. Putra satu satunya, mengalami kebutaan.

"Mah, Pah, kenapa semuanya gelap?" White menggerakkan tangannya kedepan, mencoba meraba apa yang ada. Samar-samar, dia bisa mendengar isak tangis mamanya. "Mah, aku gak butakan Mah?" White mencoba menyentuh apapun, hingga tangganya, berhenti pada sebuah lengan. Tapi dia tak tahu itu lengan siapa. "Dokter, saya tidak butakan?" White mengalami tremor. Sepanjang hidup, baru kali ini dia merasakan ketakutkan sebesar ini.

"Maaf Pak, terjadi kerusakan pada kornea mata anda. Hal itu mengakibatkan, anda tak bisa melihat."

White mencengkeram kuat lengan yang dia pegang. "Bohong, saya tak mungkin buta. Anda bohong kan Dok?"

"Sekali lagi, maafkan saya Pak."

"Enggak," teriak White dengan nafas memburu. "Aku tidak buta, aku tidak buta," dia terus berteriak frustasi.

Mama Nuri yang berada disisi White langsung memeluknya. "Tenanglah sayang, tenang. Pasti ada cara agar kau bisa melihat lagi." Dia berusaha membesarkan hati sang putra, meski dia sendiri tidak yakin. Mencari donor kornea mata bukanlah sesuatu yang mudah.

"Aku tak bisa melihat Mah, aku buta," tangis White pecah.

Papa Sabda yang melihat itu tak kuasa menahan air matanya. Putra yang dulunya sempurna, tiba tiba buta.

Tanpa mereka tahu, seorang gadis mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dia adalah Airi, gadis itu ikut menangis. Gara-gara adiknya, seorang pria kehilangan penglihatannya. Dan sekarang, apakah dia masih punya muka untuk meminta kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.

"Kamu siapa?"

Airi terkejut saat ada yang menepuk bahunya. Saat dia menoleh, seorang wanita cantik berdiri dibelakangnya. Cepat-cepat dia menyeka air mata yang menggenang dipelupuk mata.

"Sa, saya," Airi bingung mau menjawab apa.

"Bisakah kamu minggir, saya mau masuk."

"Ma-maaf, silakan." Airi minggir, memberi jalan wanita cantik itu masuk kedalam ruang rawat lalu menutup pintu.

"Raya," ujar Mama Nuri saat melihat calon menantunya datang.

"Tante, Om." Raya mendekat kearah brankar lalu mencium tangan Papa Sabda dan Mama Nuri.

Sementara Dokter dan suster, karena tugasnya sudah selesai, mereka pamit keluar.

Mengetahui calon istrinya datang, White merasa cemas. Ada ketakutan dalam dirinya jika Raya tak bisa menerima kekurangannya.

"White, perban kamu sudah dilepas?" Raya terlihat senang. Beberapa kali dia datang menjenguk saat White masih mengenakan perban. "Aku senang kau sudah sembuh. Hari ini aku membawakanmu apel, apa kau mau aku mengupaskannya?"

White hanya diam saja sambil menunduk.

"Lihatlah ini kesukaanmukan, apel hijau?" Raya menunjukkan sebuah apel kehadapan White. Tapi dia merasa aneh, pandangan White tak mengarah pada apel tersebut. "Sayang, kau tidak apa apa kan?"

"White tidak bisa melihat," ujar Mama Nuri.

Plug

Apel yang dipegang Raya seketika terjatuh. Tubuhnya langsung lemas mengetahui jika calon suaminya buta.

Papa Sabda, dia mengajak istrinya keluar. Memberi ruang untuk White dan Raya bicara dari hati kehati. Bagaimanapun juga, ini masalah serius. Dan mereka sendirilah yang paling berhak untuk memutuskan seperti apa kedepannya.

Keluar dari kamar, Mama Nuri terkejut melihat seorang gadis berdiri tak jauh dari pintu kamar rawat White. Dia seperti pernah melihat gadis tersebut, tapi dimana, dia lupa.

Airi menghampiri orang tua White, tangannya terulur kedepan untuk menyalami mereka.

"Siapa kamu?" tanya Papa Sabda sambil menjabat tangan Airi.

"Sa-saya Airi."

"Airi, siapa?" Mama Nuri mengerutkan kening.

"Saya kakak dari pemuda yang motornya bertabrakan dengan mobil putra anda."

Sorot mata Mama Nuri yang awalnya biasa saja, langsung berubah menjadi benci. "Jadi kau keluarga tersangka?"

Airi hanya menunduk.

"Untuk apa kau kesini?" tanya Mama Nuri.

"Sa-saya mau meminta maaf atas nama adik saya."

Mama Nuri tersenyum miring. "Hanya meminta maaf, atau ada maksud lainnya?"

Airi ragu untuk mengatakannya, tapi dia tak ada pilihan lain. Dia harus mencoba meski kemungkinan besar tidak akan disetujui.

"Bisakah jika kasus ini diselesaikan secara damai?"

Mama Nuri tersenyum sekaligus menangis. Damai? Putranya kehilangan penglihatan dan semua ini ingin diselesaikan secara damai? Gadis didepannya itu terlalu naif. "Kau lihat dinding disebelahmu."

Airi menoleh dan melihat dinding disebelahnya.

"Apa warnanya?" tanya Mama Nuri.

"Pu-putih," sahut Airi terbata.

"Dan pintu itu, apa warnanya?" Mama Nuri menunjuk pintu ruang rawat White.

"Co-coklat."

"Kau bisa tahu semuanya. Tapi putraku, putraku didalam sana_" Mama Nuri memegangi dadanya yang sesak. "Putraku tak bisa melihat apapun. Putih, Abu, coklat, bahkan untuk menatap wajahnya sendiri dicermin saja, dia tidak bisa," teriak Mama Nuri sambil menangis histeris.

"Sabar Mah, sabar," papa Sabda mencoba menenangkannya.

"Apakah menurutmu semua ini adil. Apa adil jika anakku buta sedang adikmu tak mendapatkan ganjaran yang setimpal. Apa ini adil hah?" teriak Mama Nuri sambil mengguncang bahu Airi.

Airi menangis, dia tahu ini tak adil. Tapi melihat adiknya dipenjara, dia tak akan sanggup. Belum lagi ibunya, wanita itu pasti seperti hidup tanpa nyawa jika Abian dipenjara.

"Mah, tenangkan dirimu Mah." Papa Sabda menarik tangan Mama Nuri agar melepaskan Airi. "Maaf, sepertinya kami harus pergi. Untuk urusan kecelakaan ini, kami sudah menyerahkannya pada pengacara," Papa Sabda membawa Mama Nuri pergi dari sana.

"Kejam sekali mereka Pah. Setelah membuat Whiteku buta, dengan tak tahu malunya meminta damai." Airi masih bisa mendengar itu meski Mama Nuri sudah berjalan cukup jauh.

Dengan langkah lunglai, Airi kembali keruang rawat adiknya. Didepan ruang rawat Abian, terlihat ibunya sedang duduk melamun.

"Bu." Airi menyentuh bahu ibunya lalu duduk disebelahnya. "Kenapa Ibu tidak masuk kedalam?"

Bu Soraya hanya diam. Tatapan matanya terlihat kosong.

"Bu, ayo kita masuk." Airi menggenggam tangan ibunya yang terasa dingin.

Bu Soraya menarik tangannya. "Ibu mau disini saja," acapnya lemah.

Airi menghela nafas berat lalu menyandarkan punggungnya.

"Abian tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Ayah kalian meninggal saat Bian masih berusia 3 tahun. Dan itu semua karena Ibu. Kalau saja malam itu Ibu tak menyuruh ayah kalian pergi membeli sate, ayah kalian pasti masih hidup. Dia tak akan bertemu begal dan meninggal secara mengenaskan." Bu Soraya menangis mengingat kejadian belasan tahun silam.

"Itu bukan salah Ibu." Airi menangis sambil memeluk Ibunya dari samping.

"Ibu dengar, pria yang ditabrak Abian adalah orang kaya. Mereka pasti membayar pengacara hebat untuk menjebloskan Bian kepenjara. Ibu tak akan sanggup melihat Bian dipenjara Ai, Ibu tak sanggup. Nanti, Ibu akan bicara pada Pak Hakim, biar Ibu saja yang menggantikan Bian dipenjara, biar Ibu saja." Bu Soraya menangis sambil menepuk nepuk dadanya yang terasa sesak. Abian anak yang baik, dia tak sengaja menabrak. Mana mungkin dia sanggup melihat putra kesayangannya dipenjara.

Terpopuler

Comments

Emy Chumii

Emy Chumii

😭😭😭😭😭

2024-05-12

0

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝒏𝒚𝒆𝒔𝒆𝒌 😭😭😭

2024-05-03

0

𝐀⃝🥀Angelyo❤️⃟Wᵃfᴳ᯳ᷢ

𝐀⃝🥀Angelyo❤️⃟Wᵃfᴳ᯳ᷢ

seorang ibu pasti akan melakukan hal yg sana untuk anak nya

2024-04-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!