BAB 3

Hari ini, Raya mengajak Mama Nuri dan Papa Sabda bertemu direstoran yang ada didepan rumah sakit. Meski Raya belum mengatakan apa-apa, feeling Mama Nuri mengatakan jika Raya ingin mengakhiri hubungannya dengan White.

"Ada apa Ray?" tanya Papa Sabda.

"Emm...sebelumnya, Raya mau minta maaf Om, Tante. Raya diterima masuk agensi mode di USA. Raya akan sangat sibuk tahun ini. Dan sepertinya..."

"Kamu ingin membatallkan pernikahanmu dengan White," potong Mama Nuri.

"Maafkan Raya Tante. Sebenarnya Raya tak ingin membatalkan pernikahan. Tapi kedepannya, Raya pasti sangat sibuk, harus bolak balik Jakarta - LA. Raya takut tak bisa menjaga White dengan baik saat kondisinya seperti ini."

Papa Sabda tersenyum miring. Menurutnya, ini hanya sebuah alasan klasik saja. Tapi saat ini, White sedang butuh dukungan. Pernikahan yang batal, akan membuat White makin terpuruk. "Kenapa kau tak menolak pekerjaan itu? Aku bisa memenuhi kebutuhanmu. Bahkan memberikanmu uang sebesar gajimu sebagai model. Kau tak perlu bekerja lagi. Kau hanya perlu ada dirumah dan menjaga White." Terdengar seperti sebuah permohonan, tapi tak apa, Papa Sabda rela menurunkan harga dirinya demi kebahagiaan sang putra.

"Raya tak bisa kalau hanya diam dirumah Om. Raya ingin berkarir. Dan menjadi model internasional adalah impian Raya.

"Dan menikah dengan White, bukan impianmu?" sela Mama Nuri sambil menatap Raya tajam.

"Bu-bukan begitu maksud saya Tante. Saya ingin sekali menikah dengan White. Tapi saya takut tak mampu menjaganya."

Papa Sabda berdecih, dia makin yakin kalau alasan utama Raya membatalkan pernikahan bukanlah karena karier, melainkan karena White yang sudah tidak sempurna.

"Raihlah cita-citamu, kau berhak bahagia," ujar Papa Sabda. "Dan White, dia juga berhak mendapatkan wanita yang lebih baik darimu." Sebuah kalimat telak yang membuat Raya sekatika menunduk dalam. "Ayo kita pergi Mah." Papa Sabda berdiri lalu mengulurkan tangan kearah istrinya.

"Semoga kau bahagia Raya. Semoga kau mendapatkan pria yang lebih baik dan lebih sempurna dari putraku," Mama Nuri meraih tangan suaminya lalu berdiri. Mereka pergi meninggalkan Raya yang masih terpaku ditempat.

Yang dialami White adalah musibah, dan dari musibah itu, kedua orang tuanya jadi tahu jika Raya tak benar-benar tulus mencintai White. Jika cintanya tulus, dia akan menerima White bagaimanapun keadaannya. Bukan malah meninggalkan disaat mental White masih terguncang seperti saat ini.

.

.

Semantara Airi, gadis itu belum mau putus asa. Hari ini, dia kembali mendatangi ruang rawat pria yang ditabrak adiknya. Dia masih ingin mengiba, meminta belas kasihan agar kasus ini berakhir dengan damai.

Airi mengetuk beberapa kali ruang rawat White. Jantungnya berdegup kencang. Dia menyiapkan mental jika nantinya, dia akan dimaki habis habisan.

"Siapa?" sahut White dari dalam.

Airi membuka perlahan pintu kamar White lalu masuk.

"Si-siapa?" White sedikit cemas. Dia belum terbiasa dengan kondisi tak bisa melihat. Mengetahui ada seseorang tapi tak bisa melihat, membuatnya gelisah. "Dokter? Sus-suster," dia menebak nebak.

"Sa-saya Airi."

"Airi? Si-siapa?" White mencengkeram pinggiran ranjang. Dia tak pernah cemas seperti ini hanya karena bertemu orang asing. Tak bisa melihat, membuatnya kehilangan keberanian sekaligus rasa percaya diri. Mendengar suara derap langkah yang makin dekat, jantung White derdegup kencang.

"Si-siapa kamu? Mau apa datang kemari?"

"Jangan takut," Airi berhenti didekat White. Menatap iba pada pria yang gemetaran tersebut. "Aku bukan orang jahat," lanjutnya.

"Lalu, untuk apa kau kesini? Aku tidak mengenalmu."

"Aku ingin minta maaf."

"Maaf?" White mengerutkan kening.

"Aku meminta maaf atas nama adikku. Adikku tak sengaja menabrakmu."

Rahang White seketika mengeras. "Jadi kau keluarga orang yang telah membuat aku buta?" nafas White terdengar memburu.

"Tolong maafkan adikku, dia tidak sengaja."

"Apa kau bilang, maaf?" White tersenyum miring. "Apa kata maaf bisa membuatku kembali bisa melihat?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Sekali lagi aku minta maaf," Airi tak kuasa menahan air matanya.

"Aku tidak akan pernah memaafkannya," teriak White. "Masa depanku hancur karena dia. Aku tak bisa lagi melihat dunia karenanya. Dan apa kau pikir, semua ini bisa ditebus hanya dengan kata maaf? Jawab," teriaknya. "Kalau saja maaf bisa membuatku bisa melihat kembali, detik ini juga, aku maafkan dia."

"Tapi adikku masih sangat muda. Mentalnya terganggu karena kasus ini. Dia_"

"Apa kau pikir mentalku tidak terganggu hah?" bentak White. Pria itu tak kuasa menahan air matanya. "Duniaku hilang, gelap, aku tak bisa melihat apapun kecuali gelap. Apa kau bisa membayangkan menderitanya jadi aku? Kau sangat egois Nona. Kau hanya memikirkan adikmu, tapi kau tak memikirkan aku."

Airi menggeleng sambil sesenggukan. "Itu tidak benar. Aku mengerti apa yang kau rasakan. Aku rela melakukan apapun untuk menebus kesalahan adikku asal dia tidak dipenjara." Meski terkesan egois dan tak tahu malu, Airi tetap melakukannya.

"Kalau begitu, berikan matamu untukku," sahut White.

"Kalau saja itu bisa, tanpa kau mintapun, aku akan memberikannya. Sayangnya itu tidak bisa. Orang yang sehat tidak bisa mendonorkan kornea mata."

"Kau pikir, aku akan luluh dengan ucapanmu tadi, sayangnya tidak. Pengacaraku akan mengawal kasus ini hingga adikmu mendekam dipenjara. Keluar dari sini," usir White.

"Aku mohon jangan lakukan itu?" Airi mengatupkan kedua telapak tangan didada sambil menangis.

"Pergilah, aku tak akan pernah luluh dengan air matamu."

Dengan langkah lunglai, Airi keluar dari kamar White. Dia terkejut saat melihat Mama Nuri berdiri didepan pintu yang setengah terbuka.

"Ta-tante."

"Ikut denganku," ujar Mama Nuri. Dia berjalan menuju kursi panjang yang tak jauh dari ruangan White. Sementara Airi, dia mengekor dibelakangnya. "Duduklah," Mama Nuri menepuk bangku disebelahnya.

Airi mengangguk lalu duduk disebelahnya. Untuk beberapa saat, mereka saling diam. Tanpa Airi dan White tahu, Mama Nuri mendengar obrolan mereka tadi.

"Berapa usiamu?"

"23 tahun."

"Bekerja atau kuliah?"

"Saya lulus kuliah tahu lalu, dan sekarang bekerja di SE Corp."

"Sudah menikah?"

Airi menggeleng, "Belum."

Mama Nuri menghela nafas. Entah feelingnya sebagai ibu benar atau tidak, dia merasa jika Airi adalah gadis yang baik. Dia terlihat sangat tulus saat meminta maaf atas nama adiknya. Selain itu, Airi juga sangat cantik, tak kalah dari Raya. Latar belakang pendidikannya juga bagus, terbukti dari tempat dia bekerja. Dia tahu SE Corp, itu adalah perusahaan besar, dan hanya orang kompeten saja yang bisa masuk kesana.

"Apa benar kau mau melakukan apapun asal kasus ini tak dilanjutkan?" Mama Nuri menoleh kearah Airi.

"Iya Tante."

"Menikahlah dengan putraku."

Deg

Airi yang awalnya menunduk sekatika mengangkat wajahnya.

"Jadilah mata untuk White. Rawat dia sepenuh hati. Jika kau bersedia, aku akan meminta pengacara untuk segera menyelesaikan kasus ini. Kau tahukan, kadang uang bisa melakukan segalanya. Akan aku pastikan adikmu tidak dipenjara."

"Saya bersedia Tante," Airi tak mau berfikir dua kali. Baginya, yang penting Abian tidak dipenjara. Selain itu, jika juga bisa menebus kesalahan Abian dengan menjadi mata untuk White.

Terpopuler

Comments

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝒔𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏𝒂𝒏 𝑨𝒊𝒓𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒎𝒂𝒏𝒊𝒔 𝒚𝒂

2024-05-03

1

Ety Nadhif

Ety Nadhif

tulus banget kamu airi😭

2024-05-16

0

𝐀⃝🥀Angelyo❤️⃟Wᵃfᴳ᯳ᷢ

𝐀⃝🥀Angelyo❤️⃟Wᵃfᴳ᯳ᷢ

pengerorbanan 🤗🤗🤗

2024-04-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!