Imah sudah berada di salah satu ruangan gedung tersebut untuk melakukan interview dan tes. Bibi Tati menunggunya dengan setia di luar ruangan bersama Mang Safari.
Hampir satu jam lebih Imah berada di dalam ruangan itu. Sampai akhirnya Imah mendapatkan hasil yang sangat begitu menyenangkan. Dirinya dinyatakan di terima di perusahan dengan menduduki jabatan sebagai Manager Keuangan. Dan mulai bekerja Senin besok, itu artinya dia hanya memiliki waktu tiga hari saja untuk pindah ke Jakarta dan mencari tempat tinggal di sini.
Imah tidak membuang waktu, dia harus segera pulang dan merundingkan semua ini dengan Ibu dan Abi.
Sedangkan Pak Wahyu segera ke dalam ruang kerja Fahri, melaporkan apa yang telah disepakati pihak perusahan dan Imah selaku karyawan perusahan.
"Senin depan Ibu Imah sudah mulai bekerja di perusahaan, tadinya Ibu Imah meminta waktu lagi karena mungkin Ibu Imah kesusahan untuk mencari tempat tinggal di sini. Tapi akhirnya Ibu Imah menyanggupinya juga."
"Iya kalau untuk orang daerah mungkin agak sulit untuk menemukan tempat yang bagus di sini. Apa Pak Wahyu sudah merekomendasikan tempat yang bagus yang dekat dengan kantor ini?."
"Sudah, Pak Fahri. Mungkin Ibu Imah akan merundingkannya bersama kedua orang tuanya dulu. Itu yang disampaikannya."
Fahri hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Sebab Imah akan selalu melibatkan kedua orang tuanya untuk urusan apa pun.
Fahri kembali melanjutkan pekerjaan setelah Pak Wahyu pamit undur diri dari ruangannya.
Setelah melewati beberapa jam perjalanan, mobil yang dikendarai oleh Mang Safari sudah sampai di kampung Bojong saat pukul 18.20. Mereka bertiga mencari mushola untuk menunaikan sholat Maghrib. Kemudian mereka melanjutkan lagi perjalanannya yang tinggal sebentar, menuju rumah Imah.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumsalam..."
"Kenapa sendiri?, Bibi Tati dan Mang Safari nya mana?." Tanya Abi sambil menerima uluran tangan Imah untuk cium tangan.
"Kata Mang Safari besok pagi ke sini lagi. Tadi sudah di tunggu Mang Jajang di rumah." Imah meletakkan tas di atas kursi sebelah Ibu lalu menyalami tangan Ibunya.
"Oh paling urusan ronda, Abi." Sahut Ibu.
Abi hanya mengangguk saja lalu melepaskan kaca mata baca dan meletakkannya lagi dalam tempatnya.
"Bagaimana urusan mu di sana?."
"Iya Ibu, ini juga yang ingin aku bicarakan dengan Ibu dan Abi. Aku ingin mendiskusikannya dengan kalian."
Imah mulai menceritakan pengalaman pertama menginjakkan kakinya di ibu kota dan pulang membawa hasil yang sangat diinginkannya. Di terima bekerja di perusahan besar.
Bekerja sambil menunggu kedatangan pria itu, rencana awalnya. Tapi sekarang mungkin lebih bekerja untuk menghindari gunjingan orang-orang di kampung Bojong demi Ibu dan Abi.
"Jadi kamu harus mencari tempat di Jakarta dan tinggal di sana sendiri?." Abi yang pertama buka suara setelah Imah mengatakan semuanya.
"Iya, Abi."
"Ibu enggak setuju!." Sanggah Ibu Muslimah begitu cepat.
"Jujur saja, Abi juga kurang setuju. Kamu pergi dari rumah dan tinggal sendiri di Jakarta." Abi lebih halus dalam menyampaikan ketidaksetujuannya. Dibanding Ibu yang lebih ekspresif.
"Jadi baiknya bagaimana Ibu, Abi?. Imah mohon jalan keluarnya." Imah menatap kedua orang tuanya yang ternyata sama-sama tidak setuju.
Abi menarik nafas lalu membuangnya perlahan, menatap lembut putri semata wayang yang sangat disayanginya.
"Abi akan mengizinkan kamu pergi ke kota dan tinggal sana, asalkan ada orang yang menjaga kamu. Dan orang yang menjaga kamu, harus lah suami mu sendiri, bukan orang lain. Dan tentunya juga kamu kerja harus seizin suami kamu." Tutur Abi mengemukakan pendapatnya.
Imah mengangguk paham, kini tatapannya berpindah pada Ibunya.
"Yang seperti Abi bilang. Dan yang cocok untuk menjaga mu sekaligus menjadi suami mu hanya Fahri."
Imah hanya menatap lekat wajah Ibu dan memandangi keriputan yang tetap saja membuat Ibunya sangat cantik.
.
.
.
"Bagaimana para saksi, sah?."
"Sah".
Hanya dalam satu kali tarikan nafas, Fahri berhasil memperistri Imah.
Ucap syukur penuh haru dan khidmat terucap dari keluarga besar kedua belah pihak. Mungkin terlebih bagi seorang ibu yang bernama Ibu Muslimah. Penantian yang sangat panjang untuk dapat menyaksikan putri semata wayangnya menikah. Lepas dari predikat perawan tua yang selalu terdengar nyaring di kedua telinganya.
Pernikahan pun berjalan sangat khidmat dan lancar. Tidak ada pesta besar-besaran hanya sebagai bentuk rasa syukur keluarga Ibu Muslimah dan Abi Rosidi, mengajak warga untuk hadir dan berkumpul di rumahnya serta ikut mendoakan Imah dan Fahri dalam mengarungi rumah tangga kedepannya.
"Jika dengan jalan ini, aku bisa menuju dan menemukan mu, maka bantu aku dengan doa supaya Allah permudah dan lancarkan urusan kita." Imah membatin, menatap Fahri yang kini berstatus suaminya. Berusaha kembali berdamai dengan status baru yang disandangnya. Meski tidak akan pernah mudah, tapi dia sangat berharap akan bisa melewati semua proses ini.
"Pernikahan ini, mungkin sangat aku harapkan dari dulu. Tapi saat aku tahu ada pria lain di dalam hati mu dan wanita baik yang selalu ada di samping ku, maka sungguh aku tidak berharap banyak pada pernikahan ini. Aku akan mengikuti sampai dimana pernikahan kita akan bertahan. Aku akan mempertahan mu jika kamu sendiri mau bertahan di dalam pernikahan ini, tapi kalau tidak, aku akan melepas mu." Batin Fahri, menatap wajah wanita yang saat ini sudah sah menjadi istrinya.
Para tetangga sudah pulang, kedua orang tua dan saudara dari pihak Fahri pun sudah pulang. Meninggalkan Fahri di rumah Ibu dan Abi.
Imah sudah mengganti pakaian dengan pakaian muslim dan hijab rumahan. Dirinya sedang duduk di tepi ranjang, menunggu Fahri keluar dari kamar mandi.
"Airnya dingin sekali, membuat tubuh ku terasa lebih segar." Fahri sudah berpakaian lengkap saat keluar dari kamar mandi.
"Iya, di sini airnya dingin. Ibu meminta kita makan bersama. Tapi sebelum itu ada yang ingin aku sampaikan."
"Apa?. bicara lah!." Fahri duduk di tepi ranjang, berhadapan dengan Imah.
"Aku mendapatkan pekerjaan di Jakarta, Senin besok sudah harus masuk bekerja. Apa boleh aku bekerja?."
"Boleh, kamu boleh bekerja atas kan kamu tahu prioritas kamu dimana?."
Imah cukup lega mendengar Fahri yang tidak membatasi ruang geraknya sebagai istri. Tapi dia juga sangat tahu batasannya.
"Tapi aku belum mendapatkan tempat tinggal di sana. Jadi apa bisa kita ke Jakarta nya besok untuk menari tempat tinggal?."
Fahri menatap intens wajah Imah, kemudian dia tersenyum manis.
"Baik, besok pagi kita akan langsung ke Jakarta tapi sebelum itu kita harus menemui kedua orang tua ku untuk berpamitan. Apa kamu mau?."
"Tentu saja aku mau, sekarang mereka sudah menjadi kedua orang tua ku."
"Alhamdulillah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments