Bab 4

Sesuai obrolan mereka semalam, setelah mereka menemui kedua orang tuanya Fahri, Imah dan Fahri segera berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kendaraan milik Fahri. Tentunya setelah berpamitan pada Ibu dan Abi juga.

Kini keduanya sedang dalam perjalanan menuju kota Jakarta. Tapi setelah dari rumah kedua orang Fahri, Imah tidak lagi berisik bicara pada Fahri. Dia lebih banyak diam, entah kenapa?.

Mobil tersebut sudah memasuki ibu kota, Fahri buka suara untuk mencairkan suasana hening yang terjadi sejak beberapa jam lamanya.

"Imah..."

"Iya..."

"Sebenarnya aku sudah memiliki tempat tinggal. Apa kamu mau tinggal di tempat ku atau tetap mencari tempat lain?."

Imah langsung menoleh kearah Fahri yang tetap fokus pada jalanan.

"Aku ikut saja. Kalau mau di tempat kamu juga boleh kalau kamu tidak keberatan."

"Tentu saja tidak. Aku tidak keberatan sama sekali. Justru aku malah senang karena tempat itu memang untuk kita berdua."

"Iya, terima kasih Fahri."

Suasana di dalam mobil sudah terasa lebih hangat dan mereka sudah terlibat obrolan lagi. Imah juga dia cukup terbuka tentang kenapa dia menjadi lebih pendiam setelah pulang dari kedua orang tuanya.

Itu semua terjadi karena Imah merasa senang sekaligus sedih di saat bersamaan. Senang karena dirinya begitu di terima dengan baik di keluarga Fahri dan keluarga besar Fahri. Namun merasa sedih, dia tidak bisa menceritakannya karena ada hubungannya dengan Salim, pemilik hatinya sampai saat ini.

Mobil yang Fahri kendarai sudah berhenti di sebuah rumah berukuran sedang. Sedang untuk keluarga kecil mereka.

Fahri mengajak Imah untuk masuk bersama ke dalam rumah tersebut, Fahri menyarahkan kunci rumah itu pada Imah.

"Simpan kunci rumah ini baik-baik. Rumah kita berdua."

"Terima kasih." Imah segara membuka kunci dan membuka pintu rumah dengan cukup lebar.

Rumah itu tidak kosong, sudah lengkap dengan perabotan yang cukup modern. Imah dan Fahri sama-sama melangkah masuk ke dalam rumah dan langsung meletakkan koper dan beberapa tas besar di dekat sofa.

"Tapi ada yang harus aku bicarakan, Fahri."

"Bicara lah, Imah!. Aku tidak pernah melarang mu untuk bicara apa pun." Fahri melepaskan sweater yang sejak tadi dipakainya.

"Tapi maaf sebelumnya, jika apa yang akan aku sampaikan akan membuat mu sedikit tidak nyaman."

"Aku berusaha untuk menyesuaikan diri."

"Aku minta kita tidur untuk terpisah dan..."

"Baik, aku tidak keberatan. Di rumah ini juga ada empat ruangan. Dua bisa kita jadikan tempat tidur. Satu untuk ruang kerja ku dan satu lagi untuk mu. Terserah mau kamu gunakan untuk apa."

"Kamu mau makan lagi tidak?."

Imah menggeleng, dia jadi bingung sendiri kenapa Fahri tidak bertanya apa-apa tentang permintaanya dan langsung menyetujuinya?. Tapi bagus lah kalau begitu. Pikir Imah.

"Kalau kamu tidak ingin makan lagi, aku akan masuk kamar. Kamu juga istirahat. Nanti malam kita akan belanja. Kulkas masih kosong tidak ada makanan."

"Iya." Jawab Imah langsung menyeret koper dan beberapa tas miliknya.

"Maaf jika pernikahan ini aku jadikan alat untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Kamu memang pria baik yang seperti Ibu dan Abi selalu bilang."

.

.

.

Imah dan Fahri baru saja pulang dari supermarket, banyak sekali yang mereka beli. Hampir semuanya dibeli untuk mengisi dua buah kulkas yang berukuran besar. Dan beberapa lemari yang ada di dapur dan ruang tengah.

"Ternyata dari sini dekat dengan kantor tempat aku bekerja. Sepertinya di daerah sini juga yang sudah di rekomendasikan oleh Pak Wahyu." Imah mulai menyusun makanan kering ke dalam lemari.

"Oh, ya. Bagus kalau dari sini dekat dengan kantor. Jadi kamu tidak akan pernah telat." Fahri menyusun minuman di dalam kulkas.

"Iya, kamu benar. Ini pekerjaan pertama ku. Sebelumnya aku belum pernah bekerja dimana pun." Imah mau lebih terbuka dengan Fahri untuk membicarakan apa saja namun belum untuk Salim.

"Semoga kamu berhasil dan bekerja lah dengan baik. Jadi besok kita hanya diam saja di rumah kan, tidak jadi mencari tempat baru untuk mu?."

"Tidak, aku tinggal di rumah ini saja."

"Baik lah, ada yang bisa aku bantu lagi tidak?. Pekerjaan yang ini sudah selesai." Fahri merapikan kantong plastik dan menaruh ditempatnya.

"Tidak ada, aku juga sudah mau selesai."

"Baik lah, aku masuk ke ruangan kerja. Kalau kamu butuh sesuatu kamu bisa masuk ke sana atau menelepon ku." Fahri menyerahkan satu keras bertuliskan deretan angka.

"Iya, terima kasih." Imah menerima lalu menaruhnya di dalam saku gamisnya.

Fahri segera masuk ke dalam ruangan yang dipakainya untuk bekerja.

Baru saja ponselnya diletakkan di atas meja. Ponsel itu sudah berbunyi dan itu panggilan telepon dari Maryam. Senyum Fahri terlihat mengembang setelah tahu siapa yang meneleponnya.

"Assalamu'alaikum..." Fahri memulai obrolannya dengan mengucapkan salam.

"Wa'alaikumsalam..." Maryam membalas salam tersebut dengan suara lembutnya.

"Bagaimana keadaan Mama dan Papa di sana?."

"Alhamdulillah baik, mereka menitipkan salam untuk Mas Fahri."

"Wa'alaikumsalam...tolong sampaikan juga salam untuk Mama dan Papa di sana."

"Iya Mas Fahri nanti aku sampaikan, baru saja Mama Papa keluar."

"Iya..."

Sesaat hening mengambil alih dari obrolan mereka, sampai Maryam kembali bersuara.

"Mas Fahri..."

"Iya Maryam..."

"Mama Papa meminta Mas Fahri untuk datang lagi ke rumah, membicarakan tentang rencana kita. Kira-kira kapan Mas Fahri punya waktu luang?. Biar nanti aku sampaikan pada Mama Papa."

"Begitu ya...hem...Mas Fahri belum tahu kapan. Coba besok Mas Fahri tanya Alva dulu. Schedule Mas Fahri yang memegang Alva. Nanti Mas Fahri kabari lagi."

"Iya Mas Fahri."

Hening kembali terjadi lagi. Kali ini Fahri yang buka suara.

"Maryam..."

"Iya Mas Fahri..."

"Ada yang ingin Mas Fahri bicarakan dengan mu, tapi tidak di telepon. Mas Fahri akan mengatur waktunya dulu untuk kita bisa bertemu."

"Hal penting kah, Mas Fahri?."

"Iya Maryam, sangat penting."

"Apa ini tentang hubungan kita?."

"Mungkin akan ada kaitannya. Tapi ini lebih pada Salim."

"Salim?."

"Iya, tapi seperti yang tadi Mas Fahri bilang. Mas Fahri tidak bisa bicara di telepon."

"Iya Mas Fahri. Kapan Mas Fahri ada waktu, kita akan membicarakannya."

"Iya Maryam, terima kasih atas pengertian mu."

"Baik Mas Fahri, aku tutup dulu teleponnya. Mas Fahri baik-baik ya di sana. Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumsalam..."

.

.

.

Hari Senin telah tiba. Imah sudah cantik dengan pakaian serba panjang berwarna salem, lengkap dengan hijab warna senada.

Begitu juga dengan Fahri sudah tampan dengan setelan formalnya. Fahri meletakkan tas kerja di atas meja, lalu berjalan ke arah ruang makan.

Fahri dibuat terpana dengan kecantikan yang dimiliki oleh Imah. Pakaian sopan dan sederhana tidak mengurangi atau menutupi kecantikan dalam dirinya yang begitu terpancar.

Terpopuler

Comments

M-Alfatih

M-Alfatih

los

2023-08-02

1

ovi

ovi

lnjut

2023-07-23

0

Astri

Astri

lanjut

2023-07-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!