Pagi-pagi sekali Fahri sudah berangkat ke Jakarta. Melanjutkan kembali aktivitasnya sebagai pemimpin perusahaan alat kesehatan. Yang memasok perlengkapan hampir seluruh rumah sakit yang ada di Indonesia.
Fahri mencoba memahami apa yang sangat dikhawatirkan oleh Paman dan Bibinya. Sehingga mereka meminta kepada kedua orang tuanya untuk membujuk dirinya supaya mau menjadikan Imah sebagai istrinya. Padahal dirinya sendiri sudah memiliki kisah cinta yang sudah lama terajut. Namun itu juga karena dirinya tidak kunjung berani mengutarakan isi hatinya pada Imah.
Sekitar pukul 11 siang, Fahri sudah sampai di perusahan yang diberi nama Health Company. Sudah berdiri hampir 18 tahun, membangun serta merintisnya dari bawah. Bermodalkan keteguhan, keuletan, rasa percaya diri yang tinggi terhadap kemampuan dan kepintaran dalam membaca peluang usaha yang ada.
"Selamat siang, Pak Fahri." Alva yang menjadi sekertaris Fahri membawakan beberapa dokumen yang harus segera ditandatangi.
"Selamat siang, Alva." Fahri meminta dokumen itu lalu meminta Alva untuk duduk menunggunya.
"Rapat untuk sore ini sudah siap belum ya, Alva?. Nanti minta Johan untuk hadir juga." Fahri mengambil ballpoint lalu membubuhkan tanda tangan di sana.
"Baik, Pak Fahri. Saya akan sampaikan pada Pak Johan. Sekarang Pak Johan sedang rapat dengan bagian marketing."
"Baiklah, sekarang kamu boleh keluar." Fahri menyerahkan dokumen lagi pada Alva.
"Baik, Pak Fahri. Terima kasih banyak."
"Iya, Alva. Sama-sama." Alva segera keluar dan kembali melanjutkan pekerjanya di ruangan yang ada tepat di depan ruangan Fahri.
Fahri juga langsung membuka berkas yang masih menumpuk di meja kerjanya. Memeriksa setiap laporan yang sudah dibuat oleh masing-masing divisi.
Fahri mengangkat wajah saat mempersilakan bagian HRD masuk ke ruangannya.
"Silakan duduk, Pak Wahyu."
"Terima kasih banyak, Pak Fahri."
Pak Wahyu duduk di depan Fahri, menyodorkan amplop berwarna coklat berukuran besar.
"Ada CV yang masuk dua bulan yang lalu, hanya saja mungkin ke selip diantara dokumen saya. Saya juga sudah mengirimkan email nya pada Fahri. Menurut saya orang ini bisa mengisi kekosongan pada bagian finance, sebagai Manager Keuangan."
Fahri membuka amplop coklat yang berisi CV seorang pelamar yang diyakini HRD nya bisa mengisi jabatan tersebut.
"Khatimah Aisyah." Gumamnya lirih sambil melihat nama dan foto yang tertera di sana.
Wanita yang kemarin pagi sudah menolak pinangannya, sampai sebanyak tujuh kali.
Fahri membaca CV nya dengan sangat teliti, sampai Fahri menemukan jika Imah belum memiliki pengalaman kerja sama sekali.
"Apa Pak Waktu yakin, posisi Manager Keuangan bisa dipegang oleh orang ini?. Sementara dari CV nya mengatakan kalau orang ini tidak memilki pengalaman sama sekali untuk posisi apa pun. Dengan kata lain, orang ini belum pernah bekerja sama sekali di perusahan mana pun." Tanya Fahri begitu serius. Dia tidak ingin salah dalam memiliki karyawan untuk perusahaannya. Meski dirinya mengenal Imah dengan baik.
"Saya yakin, Pak Fahri. Jika melihat dari hasil ilustrasi keuangan yang sudah dibuatnya." Fahri mencari apa yang disebutkan oleh pihak HRD.
Fahri melihat beberapa bagan keuangan yang sangat baik di susun oleh Imah. Memang tidak salah jika posisi itu ingin diberikan Pak Wahyu pada Imah.
"Itu hanya pendapat saya, semuanya kembali pada Pak Fahri yang memegang penuh keputusan." Pak Wahyu diam, melihat Fahri yang membaca ulang CV sambil membuat email yang dikirim oleh Imah.
Semenara itu di kampung Bojong, di sebuah rumah yang cukup besar namun tidak bertingkat. Baru saja Imah menerima telepon jika dirinya mendapatkan kesempatan ke Jakarta untuk interview dan melakukan beberapa tes untuk posisi yang diajukannya.
"Abi kurang setuju kalau kamu ke sana hanya sendiri. Lain cerita kalau kamu sudah menikah."
"Apa hubungannya, Abi?. Ini kan lamaran kerja yang beberapa bulan lalu. Baru mendapat kesempatan sekarang."
"Kamu saja untuk menghindari gunjingan para tetangga yang suka bergosip, lebih memilih bekerja di Jakarta. Kenapa kamu tidak menerima pinangan Fahri atau langsung menikah?." Ibu Muslimah ikut menimpali yang baru saja datang dari warung.
"Lupakan ke Jakarta dan tetap tinggal di sini!." Putus Abi.
"Sekali saja kamu berpikir tentang kami sebagai orang tua mu." Ibu Muslimah
ikut duduk di sebelah Abi. Kemudian melanjutkan lagi perkataanya dengan begitu serius. Disertai dengan mata yang sudah mengembun. "Kami sudah tua, umur tidak ada yang tahu. Kami ingin merasakan memilliki mantu, menimang cucu, selagi kami masih kuat dan diberi kesehatan."
"Ibu...Abi..."
Imah mendekati keduanya, duduk dibawah, diantara kaki Ibu Muslimah dan Abi Rosidi.
"Sekali saja kamu mengabulkan permintaan kami yang sederhana ini." Ibu Muslimah mengelus kepala Imah yang tertutup hijab. "Ibu dan Abi tahu memang sangat penting untuk memenuhi sebuah janji, tapi ini sudah 11 tahun kamu menunggunya."
Imah menundukkan kepalanya semakin dalam, dia sangat dilema jika harus memilih seperti ini antara permintaan kedua orang tuanya atau tetap memegang teguh janjinya.
"Kami selalu mengikuti kemauan mu dan tidak pernah sekali pun kami menolaknya. Jadi kali ini saja penuhi dan turuti permintaan kami." Pungkas Abi sambil mengusap kepala Imah, lalu bangkit dan berjalan menuju kamar. Namun sebelum menutup pintu, Abi berbalik badan dan menatap putri semata wayangnya yang menatap padanya juga.
"Fahri pria yang sangat baik dan bertanggung jawab. Tidak mungkin kami menjerumuskan mu dalam pernikahan ini." Lalu Abi menutup rapat pintu kamarnya.
.
.
.
Pagi-pagi buta Imah berangkat ke Jakarta diantar oleh Mang Safari dan Bibi Tati, adik dari Abi Rosidi. Setelah sebelumnya dia melakukan kesepakatan bersama Abi Rosidi dan Ibu Muslimah.
"Neng Imah tahu enggak, kalau Fahri masih ada saudara dengan Salim?." Tanya Bibi Tati membuka obrolan. Mang Safari fokus dengan jalanan dan cukup lancar.
"Tahu, aku sudah tahu dari awal. Tapi Fahri tidak tahu kalau Salim yang mengucap janji bersama ku." Jawab Imah menengok pada Bibi Tati.
"Apa menurut Neng Imah, Fahri tahu tentang kabar Salim?."
"Enggak tahu juga, aku belum pernah menanyakannya. Mungkin nanti kalau sudah ada waktu."
"Ngomong-ngomong masalah interview. Dari mana Neng Imah tahu?." Kini giliran Mang Safari yang buka suara.
"Dari lowongan pekerjaan, Mang. Aku iseng-iseng cari tahu dan iseng juga mengirimkan email dan lamaran. Ini saja dua bulan baru di panggil." Jawab Imah menatap lurus ke depan.
"Oh iya...iya."
Saking begitu asyik mengobrol, tidak terasa mobil yang membawa Imah sudah berhenti tepat di sebuah gedung mewah yang menjulang tinggi.
"Benar di sini alamatnya." Setelah Imah memastikan kembali alamatnya.
"Kamu temani Neng Imah, aku mau parkir mobil dulu." Pinta Mang Safari pada Bibi Tati.
"Iya, Neng Imah Ayo!."
Imah dan Bibi Tati keluar dari mobil dan berdiri di depan gedung tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments