Mencari Jo

Orang yang dimaksud Boy langsung gerak keluar markas dan menyusul ke rumah Jo. Sampai di rumah Jo, kawasan tampak sepi. Tentu saja hal itu karena warga yang takut dengan kelompok mereka.

"Jo, Jo," Tanpa berucap salam sebagai tanda kesopanan orang suruhan Boy memanggil-manggil Jo.

Diketuk pintu rumah Jo beberapa kali, sampai akhirnya dibuka oleh seorang wanita paruh baya.

"Siapa?"

"Aku temannya Jo, Bu. Jo nya ada?"

"Kalau jam segini dia jarang di rumah, dan tidak saya kasih pulang, saya suruh saja nginap di rumah temannya daripada jadi korban geng motor. Kamu malam-malam gini keliaran memangnya ga takut apa. Jangan nekat, Dek. Lebih baik lekas pulang saja."

"Jadi Jo ga ada di rumah, Bu?"

"Dibilang enggak, kamu telepon aja dia di mana. Awas loh, jangan ajak anak saya main ke jalanan kita ga tau situasi benar-benar sudah aman atau belum," ucap Ibunya Jo polos. Dia tidak tahun bahwa pemuda di depannya adalah salah satu orang yang ditakuti masyarakat jika sudah berkumpul di jalanan dengan berbagai senjata tajam mereka.

"Ya sudah, Bu. Kalau begitu saya permisi."

Orang suruhan Boy kembali ke markas tanpa Jo, orang yang harus dia jemput.

"Jo ga ada di rumah, Ketua. Ibunya sendiri ga tau dia ada di mana."

"Aaahh, kemana anak itu? Ga biasa-biasanya dia begini," amuk Boy yang semakin bingung.

Semua orang yang berada di markas terdiam, mereka juga bingung dengan menghilangnya Jo.

"Kita cari sendiri saja atau bagaimana, Boy?"

"Cari kemana? Handphonenya juga tidak aktif."

"Apa jangan-jangan dia tertangkap oleh orang misterius itu, Ketua?"

"Ck, siapa yang berani menyerang kita diam-diam, apa ada cepu di sini? Jangan kalian berani main-main atau ku kuliti kalian hidup-hidup," ancam Boy.

"Kalau ada cepu, sudah pasti orang-orang atau bahkan polisi sudah menyerang markas kita, Boy."

"Kita tunggu sampai besok, kalau tidak ada kabar juga darinya maka kita atur strategi lain. Lawan kali ini tidak bisa diremehkan, kita ga tau apakah pihak lawan sendirian atau ramai seperti kita."

"Aku rasa ramai, karena anggota yang terbunuh tidak mungkin dihabisi sendiri dengan cara mengenaskan. Aku sendiri bingung bagaimana mereka membunuh anggota yang konvoi," ucap Riko, orang terdekat Boy.

Sementara itu, di suatu ruangan yang remang, bercahaya kuning seperti lampu tidur zaman dahulu, tubuh Jo terikat kuat dengan tali rape, mulutnya juga dibekap habis-habisan sehingga dia tidak bisa bicara.

"Hai, Jo? Sepertinya Ketuamu sedang mencarimu. Dia tak sabar ingin mendapat informasi darimu," ucap seseorang yang membuat Jo terikat.

Jo hanya diam mendengarkan, dalam hatinya dia sudah ketakutan akan disiksa atau bahkan dibunuh karena dirinya sendiri belum siap menghadapi kematian.

"Kenapa tegang begitu? Mana keberanian mu yang selalu kau anggarkan selama ini? Kalian hanya gerombolan pengecut yang beraninya keroyokan, nah kalau sudah begini kamu bisa apa?"

Orang itu menyeringaikan senyuman dan menatap Jo dengan tatapan mengejek, dia menunggu waktu yang tepat. Orang itu sudah berniat akan mengantarkan Jo ke markas diam-diam.

"Senang rasanya bisa bertemu denganmu, kau akan menjadi perantara untukku bertemu ketuamu yang selalu bersembunyi."

Plak... Plak

Jo ditampar sekuat tenaga, kanan kiri pipinya merah akibat tamparan dari orang yang mengikatnya, sensasi panas dan sakit membuat pipi Jo menjadi merah. Nafasnya tersengal-sengal menahan sakit, dia hanya bisa mengerang serta menutup matanya saat kesakitan.

"Jo, tenang. Tenangkan dirimu. Itu hanya tamparan, bukan tebasan," lagi-lagi orang itu tersenyum meledek, mereka kini saling bertatapan.

Mata Jo berembun, tubuhnya sangat sakit seolah aliran darah tidak lagi berjalan karena kuatnya ikatan.

Kini air mata Jo akhirnya menetes, hanya karena sebuah tamparan dia sampai mengeluarkan air mata.

Dia berharap salah satu temannya yang ada di markas dapat menemukannya dan menyelamatkannya, dia tidak ingin mati konyol seperti para korbannya.

Jo mempunyai firasat bahwa orang yang sedang bersamanya adalah orang yang penuh dendam, orang yang sama yang telah membunuh teman-temannya saat konvoi.

Sedangkan Rico terus mencari kabar tentang Jo yang tak bisa dihubungi, dia tak tahu kalau temannya itu sedang membutuhkan pertolongan mereka.

"Bagaimana jika orang itu kemari, Boy?" Tanya Riko serius.

"Malah bagus, kita langsung habisi dia. Aku juga penasaran siapa pelaku pembunuhan beruntun itu."

"Kalau dia bawa polisi?"

Boy terdiam, kalau bawa polisi pasti dia akan tertangkap, sedangkan dia tidak ingin masuk penjara barang satu jam saja. Jika anak buahnya yang tertangkap dia tidak peduli, karena masuknya mereka dalam anggota Deadman karena kemauan mereka sendiri.

Begitulah Boy, dia begitu licik. Sosok pemimpin jahat bagi para penjahat, terlihat bertanggung jawab padahal hanya mementingkan dirinya saja.

"Kalau begitu, tengah malam kita bubar. Buat seolah tempat ini sunyi. Dalam seminggu ini kita tidak memakai markas sampai pagi, kecuali jika musuh sudah diketahui."

Mereka terus berdiskusi yang berujung tak memiliki jalan keluar, hingga tanpa mereka sadari, di luar markas seseorang sedang mengendap-endap datang tanpa sepengetahuan mereka.

Tok... Tok... Tok...

Seluruh penghuni markas terdiam, tidak biasanya ada yang mengetuk pintu, siapapun anggota yang datang biasa langsung nyelonong saja untuk masuk. Mereka sengaja tidak ada yang diluar dan menyembunyikan motor mereka di satu ruangan dalam bangunan yang sama agar tidak diketahui orang-orang.

Karena masyarakat sekitar menganggap bangunan di tengah-tengah kebun tak bertanaman itu hanyalah sebuah bangunan kosong.

Deadman biasa melalui jalan memutar agar mereka tak melintasi pemukiman terlebih dahulu dan langsung tembus keluar ke jalan beraspal.

Boy langsung berlari menuju pintu keluar dan membuka pintunya.

"Aaaaaaaa," Boy berteriak, dia terkejut. Di depan pintu sudah tergeletak tubuh Jo yang bertelanjang dada, bagian perutnya tergores pisau yang membentuk sebuah tulisan.

'Halo Boy.'

Karena teriakan Boy, yang lain dengan cepat menyusul Boy dan melihat apa yang terjadi.

"Setan alas, dimana kau bedebah. Jangan beraninya sembunyi, tunjukkan dirimu," teriak Jo geram. Dia merasa dipermainkan.

"Boy, hentikan. Suaramu menggema, lu mau orang-orang pada ke sini karena teriakanmu?"

"Itu, lu liat. Dia tulis namaku di jasad Jo, berarti dia tahu aku, dia tahu kita, dia tau tempat kita."

Riko terdiam, kini dia juga ikutan bingung. Bingungnya mereka karena memang rata-rata satu geng orang-orang bodoh semua yang otaknya sudah rusak karena miras, wanita, dan kejahatan membegal untuk membeli sejenis narkotika. Mereka rata-rata anak yang putus sekolah atau anak-anak yang bandel di sekolah mereka. Sedangkan Boy dan Riko. Mereka sudah tidak bersekolah lagi.

Mereka merasa sudah Si Paling jadi mafia, padahal seorang mafia adalah orang jahat yang cerdas, bahkan seorang polisi kesulitan menangkap mereka karena kepiawaian mereka dalam bersembunyi dan melobi sesama anggota kepolisian yang bisa diajak bekerja sama dengan mengiming-imingkan sedikit uang mereka untuk para aparat.

"Bangsat, aku ga mau tau. Kalian semua aku tugaskan untuk cari tau siapa orang itu. Tanpa terkecuali," ucap Boy penuh penekanan.

Riko tertegun menatap temannya yang kalut, juga memikirkan bagaimana mengurus Jo yang sudah jadi mayat dengan perut yang di sayat hingga membentuk dua kata tulisan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!