Kemana, Jo?

"Kalau warga sepertinya tidak mungkin, asli mereka bingung, bahkan diantara mereka tidak ada wajah-wajah yang mencurigakan."

"Apa jangan-jangan perbuatan setan?" celetuk salah satu anggota.

"Setan apa maksudmu, ga ada setan-setan."

"Ya kita banyak membunuh orang, bisa jadi itu perbuatan salah satu arwah untuk menuntut balas ke kita."

"Ngawur kamu, sudah diam saja."

Boy tertegun menatap arah luar jendela. Dia bingung tiba-tiba anggotanya diserang secara misterius dan dia tidak percaya jika setan atau sejenis makhluk halus lainnya sebagai pelaku utama.

"Anggota kita hampir separuh terbunuh, sedangkan sudah tidak ada lagi orang yang mau bergabung karena pengawasan orang tua semakin ketat."

"Sudah, kita bisa pengaruhi orang-orang dari daerah lain untuk menjadi anggota kita menggantikan mereka yang mati. Ingat, mati satu tumbuh seribu."

"Berapa orang dari warga Bambusa yang anaknya menjadi korban kita? Aku yakin pasti salah satu dari mereka ada yang balas dendam. Kita harus usut dan beri dia pelajaran," ucap Boy dengan mengepalkan tangannya.

"Jo, lu kan warga sana. Seperti biasa, mata-matai mereka, aku tidak sabar mengetahui siapa pelakunya."

Jo sebagai anggota lama mengangguk dan menyetujui permintaan Sang Pimpinan, ini sudah jadi bagian dari tugas jika mereka akan melakukan penyerangan pada orang-orang yang melakukan perlawanan. Mengutus seorang mata-mata yang masih satu kampung dengan mereka.

"Dimulai dari yang mana ketua?" Tanya Jo bingung karena korban lebih dari satu.

"Yang terbaru saja, sampai yang terlama."

Jo berjalan kesebuah lemari dan mengambil sebuah buku catatan yang berisikan informasi para korban mereka. Itu mereka lakukan untuk berjaga-jaga jika kejadian hal seperti ini. Karena siapa yang tidak dendam jika orang hidup dibunuh dengan tragis.

"Kalau dari korban yang terbaru, kejadiannya dua bulan yang lalu, korbannya anak tunggal yang masih SMP, aku tahu itu, dan ibunya dikabarkan stress dan sering seolah menunggu anaknya di depan tugu gang, Ketua."

"Aku tak peduli. Pokoknya selidiki saja, jika tidak menemukan titik terang, kita habisi sekalian semuanya," ucap Boy dengan menyeringai, dadanya naik turun menahan emosi. Dia tidak terima mendapat serangan mendadak.

"Tunggu sebentar, bagaimana orang itu tau jika anggota kita akan lewat? Pasti dia sudah tau kita, jangan-jangan malah orang itu ada di antara kita?"

Boy mengkerutkan dahinya, ia tampak berfikir, benarkah ada pengkhianat di dalam kelompok mereka sendiri?

"Sudah, itu biar aku yang selidiki. Jo, kau tetap mata-matai orang-orang itu."

"Siap ketua."

"Pergi sekarang, semakin cepat semakin baik, aku tak sabar menguliti orang itu hidup-hidup."

Jo segera pulang, dia yang seharusnya nguli harus kembali ke rumah, sebenarnya dia malas menerima tugas itu, tugas yang tidak semua anggota keluarga mau menceritakan tentang anaknya yang sudah meninggal dengan tragis akibat ulah kelompok mereka.

Di jalan, Jo berfikir bagaimana cara agar bisa mengetahui kalau Nina pelaku pembunuhan teman-temannya atau bukan.

"Ck, memangnya bisa orang stress diajak ngomong, kalau ga karena sayang nyawa aku malas sekali harus jadi mata-mata," keluh Jo masih di atas motor.

Setelah beberapa saat, akhirnya dia sampai di rumahnya, kini dia sudah mempunyai ide agar bisa ngobrol dengan Nina.

"Loh, ga jadi kerja?" Tanya Ibunya Jo.

"Enggak, Bu. Besok aja. Lagi ga ada bahan."

"Oh."

Jo lega, Ibunya tidak banyak bertanya, selama ini Ibunya sering menerima uang banyak darinya hasil dari ngebegal saat malam jika mendapat mangsa. Makanya Ibunya diam, jika tidak memberikan uang Jo akan habis diomelin dan dibandingkan dengan anak orang lain. Hal itu membuat hati Jo benci, Ibunya seolah menganggapnya anak jika dia memberikan uang saja sehingga cara kotor dan tidak manusiawi pun ditempuhnya demi Jo bisa dihargai oleh ibunya sendiri.

Jo mengambil satu celana jeans, kemudian mengoyak jahitan di pinggir, sengaja dilakukannya agar punya alasan untuk ke rumah Nina si tukang jahit baru di desa mereka.

Jo segera keluar dengan menyandang celana robek di bahunya.

"Loh, mau kemana lagi?"

"Bentar, Bu. Ada urusan."

Jo langsung membawa motornya ke rumah Nina.

"Ada apa, Dek?" Sambut Nina ramah.

Jo sedikit terkejut, wanita di depannya tak sesetress yang dia kira, dalam bayangannya sedari tadi kalau Nina bakalan sulit diajak bicara, atau tidak bakalan nyambung jika diajak ngomong. Lagi Pula Nina tampak cantik walau sudah ibu-ibu.

"Mau jahit celana saya, Bu. Koyak pinggirannya, sayang kalau harus di jadikan keset kaki sama Ibu di rumah."

"Oh, bisa. Sini Ibu lihat."

Jo memberikan celananya yang baru saja dikoyaknya dengan sengaja.

"Kok kayaknya baru aja koyaknya ya, Dek?"

"Ehehehe, iya Bu."

Nina langsung mengerjakan apa yang diminta Jo.

"Maaf, Bu. Ibu yang anaknya pernah jadi korban begal itu kan?" Tanya Jo memulai penyelidikannya.

Mendapat pertanyaan sensitif mendadak Nina menghentikan mesin jahitnya sebentar lalu melanjutkan pekerjaannya lagi.

"Iya, Dek. Kamu kenal dengan anak saya?" Jawabnya santai.

"Tidak, Bu. Saya dengar dari orang-orang saja."

"Oh."

"Kalau aku jadi Ibu, aku pasti akan membalas mereka Bu, mana terima aku anggota keluargaku diperlakukan seperti itu," ucap Jo mulai memancing Nina agar lebih banyak bicara.

"Siapa namamu, Dek?"

"Aku biasa dipanggil Jo, Bu."

"Bagaimana ya, Jo. Pasti semua ingin membalas geng motor itu. Ga usahkan keluarga korban seperti saya, yang bukan korban saja pasti geram. Tapi mungkin kamu lebih tau kalau ga ada orang yang berani. Lagi pula kasus tadi pagi mungkin sudah membuat warga di sini puas walaupun mungkin belum tenang. Sebentar ya, Dek. Ibu kebelet mau buang air kecil. Ini dikit lagi siap. Kamu tunggu ya."

"Iya, Bu. Ga apa-apa. Santai saja."

Di markas, Boy sudah tidak emosi lagi, sekarang dia hanya akan menunggu kabar saja dari Jo.

"Boy, Jo bilang tidak ada yang mencurigakan dari wanita tukang jahit itu. Aman-aman saja katanya."

"Bagus, suruh terus selidiki."

"Tapi sebelumnya dia sempat mengabarkan kalau salah satu anggota kita yang dinyatakan mati karena konvoi semalam ada meneleponnya, namun langsung dimatikan saat baru saja diangkatnya."

"Tuh kan, aku yakin pasti kematian mereka yang konvoi kemarin malam itu ulah seseorang yang ingin bermain-main dengan kita," ucapnya mulai terpancing emosi lagi.

"Sudah, tenang dulu. Pasti kita bakalan dapat siapa pelakunya. Kita percayakan dulu sama Jo. Kita tunggu dia nanti malam untuk memberi informasi tentang penelusurannya hari ini terhadap para keluarga korban."

Boy, terdiam. Dia setuju dengan ucapan temannya, Boy dan yang lainnya menunggu hingga malam sampai Jo datang.

Malam menjelang, jam sudah menunjukkan jam delapan malam, namun Jo tidak datang juga.

"Kemana anak itu? Kenapa lama sekali datang kemari?"

"Nomornya tidak aktif, Boy. Aku barusan meneleponnya."

"Ga aktif? Berani sekali dia tidak mengaktifkan handphonenya. Kalian yang tau rumah Jo, jemput dia sekarang juga."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!