Tumbal Jalanan Geng Motor Meresahkan.

Tumbal Jalanan Geng Motor Meresahkan.

Terbunuhnya Satya

"Woi, woi, woi."

Craaattt.... Cuuurrrr...

"Aaaaaaa......"

Teriakan Satya memekik menggema di jalanan sepi tatkala jalanan yang sudah beraspal itu baru saja dilewati oleh sekelompok pemuda yang sebagian masih remaja tanggung dengan beberapa motor yang mereka kendarai, sebagian ada yang membawa motornya sendiri dan sebagian lagi ada yang berboncengan.

Tanpa rasa kasihan dan tidak memikirkan resiko yang akan terjadi, sekelompok geng motor itupun melukai setiap orang yang terlihat oleh mereka ketika melewati sebuah jalan yang biasa mereka lewati dengan parang atau pun dengan sebuah celurit.

Darah kental mengalir bewarna merah pekat cerah keluar dari luka sayatan yang cukup dalam yang diterima Satya di bagian dahi, dada, juga lengan kanannya.

Seketika ia mandi darah diiringi oleh suara kepedihan yang direalisasikan lewat jeritannya yang tidak begitu panjang, bahkan dia tidak sempat meminta tolong karena tubuhnya langsung ambruk saat mendapat serangan mendadak itu.

Warga sekitar bukan tidak mendengar jeritan Satya serta suara dari motor para geng motor itu, hanya mereka tidak berani menjadi korban berikutnya.

Mereka takut rumah mereka ditandai dan dalam waktu dekat diserang oleh mereka setelah pernah kejadian di rumah pak Parno Si Kepala Dusun yang lama sehingga menewaskannya.

Upaya memberantas para geng motor dengan melaporkan ke pihak kepolisian sudah dilakukan dan sebagian anggota geng sudah pernah ditangkap sebanyak tujuh anggota.

Tetapi tidak lama kemudian, belum ada waktu satu bulan muncul lagi kelompok geng motor dengan orang yang berbeda, seakan mereka memang mempunyai jaringannya sendiri dan terus menambah anggota baru.

Di rumah, Nina yang sedari tadi menunggu anaknya pulang dari Mesjid yang tak seberapa jauh dari depan gang tak kunjung pulang, biasanya sehabis isya atau paling lama jam setengah sembilan dia sudah sampai di rumah.

Namun sudah pukul sembilan malam lewat Satya belum juga kembali.

"Ya Allah. Duuh, kemana anak itu. Kok belum pulang juga, sih?" Ucap Nina resah yang sedari tadi sudah menunggu Satya di depan rumah.

Sebenarnya hati Nina sudah tidak tenang, apalagi saat mendengar rumor tentang geng motor yang sering lewat di jalanan beraspal depan gang. Nina yang menjadi warga baru pun merasa was-was sendiri dan manut saja dengan apa yang disarankan para tetangganya untuk tidak keluar depan gang setelah lewat Isya, namun Satya sendiri yang suka ngotot mau sholat lima waktu di mesjid. Padahal di dalam gang ada mushollah, namun dia selalu beralasan bahwa di mushollah sudah ramai, dan di mesjid yang tempatnya lebih besar malah sepi, dia hanya ingin menghidupkan mesjid dengan menambah jamaah walau hanya dirinya sendiri.

Karena niat mulia anaknya, Nina tak tega untuk melarangnya, hatinya terenyuh, dia mengizinkan Satya pergi dan hanya bisa mendoakan saja dari rumah.

"Apa adakenduri lagi ya, makanya pulangnya jadi lama?" Batin Nina mencoba berpikir positif.

"Kamu toh, Le. Suka banget kemana-mana ga bawa handphone. Jadi Ibu susah sendiri kalau mau hubungi kamu," omel Nina seakan ada Satya di dekatnya.

Malam kian larut, sudah setengah sebelas malam Satya belum juga pulang ke rumah. Hal itu membuat Nina mau tidak mau harus keluar menjemput anaknya.

Akhirnya setelah mengunci pintu rumahnya, Nina langsung bergerak menuju depan gang.

"Mau ke mana, Kak Nina?" Sapa Wati salah satu tetangganya yang sedang duduk di teras rumahnya bersama sang suami.

"Mau cari Satya, Belum pulang juga jam segini," jawab Nina yang tidak dapat menyembunyikan keresahan juga ketakutan di wajahnya.

"Memangnya Satya tadinya kemana, Kak?"

"Izinnya ke mesjid sedari waktu maghrib tadi, tapi sampai sekarang belum pulang juga dia. Saya lanjut dulu ya?"

Nina langsung pergi meninggalkan depan rumah Wati, tak ada waktu baginya untuk mengobrol. Yang dipikirkannya saat ini hanya ingin bertemu Satya secepatnya.

"Anak itu kemana, coba? Sama tetangga sini juga akrabnya sama orang satu gang, tuh anak bakalan habis ku omelin kalau sempat bertandang di rumah orang sampai jam segini ga ngerti pulang," gerutu Nina.

Sebagai warga baru yang baru dua bulan menetap, belum banyak masyarakat yang dikenalnya, baik Nina maupun Satya. Tapi Nina berfikir karena Satya sering ke mesjid di luar gang mungkin saja dia sudah mempunyai teman orang sekitar mesjid itu.

Semakin jalan keluar gang suasana semakin sepi, terlihat sudah tugu masuk gang mereka yang terbuat dari sembilan batang bambu yang ukurannya sudah disesuaikan, tiga untuk pondasi kiri, tiga untuk pondasi kanan, dan tiganya lagi di bagian tengah atas yang bertuliskan nama gang tempat tinggalnya.

Hingga akhirnya Nina sudah benar-benar sampai di depan gang, suasana terlihat sunyi, seperti kota mati. Hanya terlihat lampu luar setiap rumah dan lampu jalan menjadi penerang baginya.

"Kok mencekam banget ya, ga biasanya daerah semi kota seperti ini, seharusnya di luar gang jauh lebih ramai daripada di dalam gang. Ini kenapa malah terbalik?" Gumam Nina yang terus melangkahkan kakinya menuju mesjid.

Saat ini sambil berjalan Nina berharap ada orang tidur di masjid dan mengetahui di mana keberadaan Satya.

Suana horor begitu meresap di setiap penglihatan Nina, begitu sunyi sehingga membuat bulu kuduknya merinding.

Tempat yang menjadi horor bukan karena makhluk halus, tapi karena sekelompok manusia yang meresahkan manusia lainnya.

Jika ada kendaraan yang lewat pun, mereka mengendarai dengan kecepatan tinggi seolah seperti di jalan Tol sangking sepinya.

Kini Nina sudah hampir mendekati depan mesjid dan tinggal menyebrang jalan saja untuk benar-benar sampai di mesjid.

Nina mengelus kedua bahunya dengan menyilangkan tangannya di depan dada karena dingin juga rasa merinding yang menyelimuti tubuhnya, tiba-tiba matanya melihat sesuatu.

Seseorang tergelatak di tengah jalan dengan posisi seperti janin dalam kandungan.

Dada Nina berdesir, jantungnya mendegup tak karuan. Dia mempercepat langkahnya untuk memastikan siapa yang tergeletak di sana.

"Aaaaaaaa, Satyaaa, Satyaaa. Ya Allah, Allah, tolong anakku. Satyaaaa," jerit Nina begitu histeris, tubuhnya gemetar, tangisnya pecah seketika saat mengetahui bahwa orang yang dilihatnya adalah Satya, anak yang sedari tadi dicemaskannya.

Walau bermandikan darah, walau bau anyir memenuhi rongga hidungnya, Nina masih dapat mengenali anaknya, dipeluk jasad Satya yang telah meninggal karena kehabisan darah, tidak dihiraukannya bau anyir yang begitu menyengat. Dipeluknya Satya seerat mungkin, membuat darah yang masih basah menempel pada pakaian Nina dan juga sebagian menempel di wajah juga telapak tangannya.

"Ya Allah, Nak. Kok kamu tinggali Ibu, Le. Ibu sama siapa sekarang kalau kamu pergi. Tolooooong, toloooooong, tolong anakku, toloooong."

Nina menjerit berulang kali, sehingga seseorang membuka pintu rumahnya yang tempatnya tepat di depan Satya terbunuh.

"Ya Allah, Bu. Anaknya kenapa?" Ucap seorang bapak-bapak dengan wajah keheranan.

"Tolong anak saya, Pak. Ini anak saya kecelakaan."

"Masuk, Bu. Masuk." Ucap Sang Pemilik rumah yang syok.

Namanya Pak Didi, dengan segera dia membantu Nina mengangkat tubuh Satya ke teras rumahnya.

"Sebentar ya, Bu. Saya siapkan alas dulu buat anak Ibu, soalnya dia berdarah-darah."

Nina mengangguk perlahan, dia masih menangisi kepergian putra semata wayangnya yang mengenaskan.

Tidak lama, Pak Didi dan istrinya keluar kembali. Pak Didi langsung mengangkat tubuh Satya sedangkan istrinya menuntun Nina masuk ke rumahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!