Hari terus berganti, hingga sudah seminggu setelah kepergian Satya Nina sudah tidak terlalu sedih lagi.
Namun belakangan warga satu gang sering memergoki Nina berada di depan tugu kala malam dan sering pulang saat menjelang pagi.
Warga merasa Nina sudah stress karena kehilangan Satya, sehingga warga memakluminya dan membiarkannya saja selagi tidak mengganggu dan meresahkan.
Kala siang Nina melakukan aktivitasnya seperti biasa sebagai seorang penjahit.
Walaupun dianggap stress, Nina masih normal jika di ajak bicara dan ramah. Bahkan dia memiliki beberapa tempahan jahitan.
Kini sudah hampir dua bulan Nina selalu saja keluar malam dan duduk-duduk sendirian di depan tugu gang semenjak kematian Satya.
"Kasihan ya Si Nina, semenjak kematian anaknya dia jadi sering di depan gang, apa yang ditunggu coba?" Ucap salah satu ibu-ibu yang sedang belanja di warung sambil memilih-milih sayuran.
"Iya, kan? padahal dia cantik, ga nampak kalau sudah punya anaknya. Padahal umurnya setara kita-kita, kan? Sepertinya sebelum tinggal di sini dia orang kaya yang rajin perawatan."
"Aku takut dengan kebiasaannya kayak gitu buat dia jadi ga sehat, mana bagus setiap hari begadang."
"Jangan salah, Bu. Biasanya orang-orang yang kena gangguan jiwa fisiknya kuat-kuat."
"Husstt, kalian ini. Wong aku lihat Nina masih waras kok. Diajak ngomong masih nyambung," ucap pemilik warung.
"Itu makanya, dia ga gila. Cuma stress aja kehilangan anak."
Sementara itu, di Markas geng motor yang bernama Deadman sudah banyak para remaja tanggung hingga yang dewasa berkumpul.
Deadman berencana akan konvoi melewati desa Bambusa lagi seperti biasa, melihat-lihat apakah ada orang yang berani menantang mereka atau tidak, jika ada mereka akan menyerang dan menghabisinya seakan nyawa sudah tidak ada harganya lagi.
Dan berniat jika ada pengendara atau pejalan lain yang lewat juga akan turut mereka basmi sebagai bagian dari senang-senang mereka.
Begitulah jika hati sudah tidak berfungsi, cenderung merusak dan meresahkan. Merasa hebat namun sebenarnya hanyalah pengecut karena beraninya keroyokan.
"Oke, semuanya. Jam seperti biasa, ya. Biasanya orang-orang masih lewat sebelum jam sembilan. Bersenang-senanglah di jalan, jika ada pengendara lain sikat, ambil motornya untuk masuk kita. Dan aku akan di sini karena harus bersenang-senang dengan para wanita, hahaha," perintah Boy kepada puluhan anak buahnya.
Dari puluhan anggota, hanya sebagian saja yang ikut turun konvoi, sebagian berpesta minuman juga narkotika lengkap dengan wanita.
Mereka yang turun ke jalan mengambil senjata kebanggaan mereka yang selalu ditakuti masyarakat. Mulai dari parang yang panjang, hingga celurit yang berukuran besar.
"Go go go," teriak pemimpin konvoi.
Deru suara motor terdengar riuh menjauhi markas, dengan urakan dan merasa hebat mereka mengemudikan motor dengan ugal-ugalan.
"Ngebut guys, wooooh. Angkat senjata kalian." Teriak Sang Pemimpin konvoi.
"Sepi, sepi, kita hebat. Kita hebat," teriak mereka yang merasa bangga karena tak ada seorang pun yang lewat selain mereka.
Warga Desa Bambusa khususnya yang rumahnya di pinggir jalan sangat risih mendengar teriakan itu, tapi mereka tidak berani keluar karena tidak ingin diserang.
Ngeng.... Ngeng..... Ngeng....
Bruuuuuummmm....
Dengan kecepatan tinggi mereka saling beriringan menguasai jalanan.
Hingga akhirnya para pemotor bagian depan banyak yang tiba-tiba terjatuh.
"Aaaaaaa, aaaaa, tolooooong."
Brak.... Brak.... Brak...
Tidak ada satupun pengendara yang tidak terjatuh di kawasan sepi yang samping kiri kanannya hanya pepohonan serta semak belukar saja. Tidak ada rumah, letaknya hampir satu kilo meter dari pemukiman Desa Bambusa.
"Tolong, sakiiit."
"Adooooh. Aku ga mau mati."
Ramai teriakan mereka terdengar, sebagian diantaranya sudah tewas dengan usus terburai, ada pula yang kepalanya hampir terpenggal, dan juga ada yang tubuhnya terbelah jadi dua.
Mereka semua tersangkut kawat berduri yang dipalang di tengah jalan dengan tiang pondasi masing-masing berada di sebrang jalan. Persis seperti jemuran di tengah jalan.
Sepasang mata melihat kejadian itu dibalik sebuah pohon. Ia menyeringaikan sebuah senyuman seakan puas melihat kematian dan teriakan kesakitan para remaja itu.
Merasa beberapa anggota semakin tak berdaya, orang itu keluar dari persembunyiannya, mengambil sebuah parang panjang yang tergeletak lalu menghabiskan mereka satu persatu yang masih hidup.
Parang itu kemudian dipegangkan kepada salah satu korban yang sudah tewas untuk menghilangkan jejaknya.
Jemuran kawat berduri dilepas, kini orang itu memeriksa handphone mereka masing-masing dan mengambil salah satu handphone yang tak bersandi atau berpola.
Kemudian dia segera pergi meninggalkan mayat-mayat para geng motor.
Keesokan harinya, warga desa Bambusa tentu saja menjadi heboh atas banyaknya mayat di tengah jalan, belasan orang tewas mengenaskan, benda tajam berserakan diantara mereka, satu yang tak terlihat. Kawat berduri serta tiangnya.
Banyak warga dari desa lain yang ikut meramaikan melihat pemandangan tak biasa. Polisi dan tim medis pun turut hadir untuk mengevakuasi korban.
"Mereka ini para geng motor itukan? Alhamdulillah, mampus kalian. Tanpa susah-susah ngebasmi, kalian mati sendiri." Umpat salah satu warga.
Nina dan Wati juga orang-orang satu gang ikut melihat.
"Ya ampun, masih muda-muda sekali mereka. Kok maulah ikut-ikut geng motor. Matinya mengenaskan lagi. Kasihan," ucap Wati yang hatinya miris melihat para mayat yang kebanyakan remaja laki-laki tanggung.
"Ga perlu dikasihani, mereka berani berbuat berani bertanggung jawab. Mereka tidak akan seperti itu kalau tidak meresahkan," jawab Nina datar, tatapannya tajam pada mayat-mayat yang satu persatu mulai dimasukkan ke kantong jenazah.
Para polisi masih menyelidiki apa yang terjadi, dan apakah ada pelaku utama. Karena bagi mereka, pembunuhan tidak dibenarkan walau pada penjahat sekalipun.
Warga yang ditanyai polisi mempunyai jawaban yang hampir sama semua. Mereka tidak tahu menahu tentang kasus itu.
"Jadi Bu Nina ga tau juga, ya?" Tanya seorang polisi yang mengintrogasinya.
"Enggak, Pak. Aku kan tinggalnya di dalam gang. Sedangkan ini saja jauh dari permukiman tapi aku senang mereka mati seperti itu, anakku mati juga karena mereka," jawab Nina yang malah tersulut emosi.
"Sudah, Kak. Sudah, jangan diingat-ingat lagi. Kasihan Satya nanti," ucap Wati menenangkan.
Polisi memaklumi, dan kembali bertanya pada yang lain.
"Apakah orang-orang ini semua sudah keseluruhan anggota para geng motor itu ya? Kalau memang semua kita bisa meramaikan desa lagi. Apalagi waktu malam," seru seorang warga.
"Ga tau, tapi bukannya mereka banyak. Pasti belum ini. Aku yakin. Kita lihat aja sebulan ini. Kalau tidak terdengar geng motor lewat lagi, berarti benar. Desa kita sudah aman."
"Iya juga, ya. Ga bisa senang dulu kalau begini."
Kabar kematian anggota Deadman yang konvoi sudah terdengar oleh Boy Si Ketua geng. Dia kaget dan bingung, kenapa bisa terjadi.
"Aku juga ga tau Boy, tadi aku ke sana dan warga yang diwawancarai pun pada bingung, otomatis itu pasti bukan perbuatan mereka."
"Terus perbuatan siapa kalau bukan orang-orang sekitar yang dendam dengan kelompok kita? Pasti salah satu dari mereka." Geram Boy dengan menendang meja di depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments