"Satya, anakkuuuu huuu," Tangisan menyayat hati terus terdengar dari mulut Nina, istri Pak Didi tetap setia membantu menenangkan Nina walaupun dia juga ikut menangis karena tak tega melihat Nina apalagi Satya.
"Sabar, Bu. Yang kuat. Besok kita antar anak Ibu ke rumah ya," ucap Murni, istri Pak Didi.
Salah satu pintu terbuka, tampak seseorang terkejut melihat ada mayat bersimbah darah tergeletak di dalam rumah. Dia adalah Susi, anak dari Si Pemilik rumah yang baru keluar dari kamar.
"Iii itu, si siapa, Bu?" Tanya Susi tergagap ngeri.
"Anak Ibu ini. Habis kena begal."
"Apa suara jeritan yang sempat Susi dengar tadi Bu?"
"Ibu ga tau, Sus. Karena sepi Ibu suka tidur cepat karena sudah melakukan banyak aktivitas di siang hari."
Susi berjalan dan duduk di samping Ibunya.
"Emang kamu dengar apa, Nak?" Kini Pak Didi yang bertanya sembari membersihkan darah pada jasad Satya.
"Suara teriakan waktu geng motor lewat, Pak. Namun sesaat aja. Susi ga berani lihat, takut."
"Kalau mereka lewat Bapak dengar, tapi rasanya seperti mimpi, sadar ga sadar karena Bapak sudah tidur, Bapak terbangun karena mendengar Ibu ini minta tolong."
"Apa para geng motor itu tidak pernah diberikan efek jera, Pak?" Nina bertanya sembari terisak-isak, masih ingin menangis namun banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan pada Si Pemilik Rumah.
"Sudah, Bu. Mereka terkenal banyak. Ibarat kata mati satu tumbuh seribu. Sudah ada beberapa yang tertangkap bakalan muncul lagi." Jelas Pak Didi.
"Benar, Bu. Warga sekitar juga tidak berani mengambil tindakan sendiri, trauma dengan mendiang keluarga Pak Parno yang kami yakini itu pasti ulah para anggota geng motor itu karena tahu teman-temannya dilaporkan, karena Pak Parno yang menyeret mereka ke kantor polisi bersama beberapa warga," sambung Murni.
"Memangnya apa yang terjadi pada keluarga itu, mereka diapakan?"
"Seram, Bu. Keluarganya dibantai, mayatnya di letakkan di halaman rumah, terus setelah itu mereka bakar rumahnya."
"Kenapa polisi tidak mengusut tuntas kasus ini? Ini sudah termasuk kejahatan besar dengan anggota mereka yang banyak."
"Kami takut, Bu. Semakin dilapor semakin diteror," jawab Pak Didi, kini dia selesai membersih luka pada Satya, hingga jelas lah bagaimana luka itu menganga lebar.
Susi yang melihat hal itu meringis ngeri, merasa luka itu ada padanya.
"Bu, anaknya kita tutup saja, ya?" Usul Pak Didi.
"Saya mau dibawa pulang saja, Pak."
"Kami ga berani, Bu. Takut geng motor lewat lagi, kami sudah biasa menampung para korban sampai pagi, para geng motor itu biasanya kalau sudah lewat pasti lebih dari sekali."
"Kenapa tidak diadakan patroli saja oleh para polisi, Pak."
"Sudah pernah, namun karena tidak ada lagi warga yang melapor lama-lama polisi tidak melakukan patroli lagi. Dan geng motor itupun kembali."
Nina terdiam, dia tidak habis pikir, semengerikan itu para anggota geng motor sehingga membuat warga takut.
"Biasa mereka lewat kapan saja, Pak. Dan biasanya di jam berapa?"
"Tidak tentu dan tidak pasti, Bu. Kalau mereka sudah lewat, mereka tidak kasih ampun orang yang lewat selain mereka. Ini mending anak Ibu begitu di serang dibiarkan, dulu sampai pernah ada yang diseret ke aspal sampai jenazah tidak terbentuk lagi."
"Mereka kejam, mereka hanyalah pengecut yang beraninya keroyokan. Kemana orang tua mereka, kenapa tidak diawasi anaknya kemana dan pergaulannya, tidak ada kata mending juga Pak kalau sudah kehilangan nyawa," ucap Nina emosi. Kini dia sudah tidak menangis lagi tapi tetap saja hatinya bersedih.
Di tempat lain, sekumpulan pemuda terlihat konvoi di jalanan dengan beberapa jenis senjata tajam dengan berbagai ukuran.
Mereka tampak bersenang-senang seolah jalanan hanyalah milik mereka. Apalagi banyak masyarakat yang takut pada mereka.
Hingga mereka berhenti di suatu tempat seperti bangunan yang luas, cukup menampung banyak orang.
"Pulang lah kalian sebelum pagi. Pastikan orang-orang tidak mengetahui kalian adalah bagian dari anggota kita, lakukan aktivitas seperti biasa. Yang masih sekolah ya sekolah, yang bekerja silahkan bekerja. Sampai jumpa di malam-malam berikutnya," ucap seorang laki-laki yang biasa dipanggil ketua oleh para anggota geng motor.
"Siap ketua, ingat. Kode klakson yang harus dibunyikan sehingga saat kalian mengendarai motor sendirian anggota yang lain tau kalau itu adalah kita. Jadi jangan sampai menyakiti." sambungnya lagi.
Para orang-orang yang disebut sosok ketua sebagai anggota segera menyimpang senjata tajam mereka lalu pulang ke rumah masing-masing.
Hanya tinggal beberapa orang saja yang selalu menemani ketua.
"Bagaimana konvoi kalian di jam delapan malam?" Tanya ketua.
"Ya gitulah, Boy. Aman-aman aja, sudah sepi. Orang-orang selalu memberi jalan pada kita, bukan?"
Empat orang yang tertinggal di markas tertawa kekeh, merasa hebat dan tidak terkalahkan. Keempat orang inilah yang mengatur para anak-anak remaja untuk berbuat kejam di jalanan.
"Kami tadi sempat menyerang seseorang di desa Bambusa, sepertinya dia warga baru yang tak tahu peraturan. Para cecunguk itu langsung ku suruh serang sebagai tanda kesetiaan mereka pada kita."
"Ya, Bagus itu. Sebaiknya kita pulang sekarang. Aku ga mau diomelin orang tua. Bising, kalau bukan karena warisanku banyak aku malas pulang," ucap Boy ketua geng motor.
Akhirnya markas sepi, markas yang tidak diketahui banyak orang kalau bangunan itu dipakai untuk sarang penjahat.
Pagi menjelang, orang-orang sudah memadati rumah Pak Didi untuk melihat Satya saat akan di tandu untuk dibawa ke rumah Nina.
Nina kembali menangis, masih belum percaya jika Satya kini sudah berbeda alam dengannya.
Sampai di rumah, Nina langsung di sambut Wati yang subuh hari sudah mendengar pengumuman mengenai Satya.
Wati memeluk Nina erat dan mereka menangis bersama membuat suasana semakin berduka.
Teman-teman sekolah Satya juga sudah datang dan menangis melihat temannya yang dianggap alim itu meninggal dengan tragis, begitu juga para aktivis mesjid depan gang, mereka turut hadir untuk mendoakan Satya.
Hingga akhirnya Satya selesai dimakamkan, dan hanya tertinggal Nina sendiri yang masih menemani Satya di depan kuburnya yang masih basah dan harum bunga-bunga.
"Satya, Ibu sekarang sendiri. Ibu ga tau bisa kuat tanpamu atau tidak. Maafkan Ibu terlambat menyelamatkanmu, Nak,"
Dipegang pusara yang ada tulisan nama Satya, Nina kembali terisak. Semua memori bersama Satya seolah datang kembali membuat hatinya makin perih dan dadanya semakin sesak.
Hingga ketika Nina sudah tenang, ia segera bangkit dan meninggalkan makam, dengan wajah yang begitu sembab.
Wanita yang masih tiga puluh tahunan itupun berjalan dengan tatapan nanar, sesekali matanya mengembun dan berakhir dengan jatuhnya air mata.
"Aku pindah ke desa ini hanya ingin melanjutkan hidup bersama anakku Satya, membahagiakannya hingga ia dewasa. Setelah Ayahnya ketahuan punya istri selain aku yang entah kapan dinikahinya, bahkan anaknya dari istrinya selain aku itu sudah dua yang satu lebih tua dan yang satu sebaya Satya, entah siapa yang menjadi istri kedua aku tak tahu. Niat pindah untuk menenangkan hati, kenapa malah harus kehilangan kamu, Nak?" Batin Nina menyimpan kesedihan hidupnya sambil terus berjalan hingga sampai ke rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments