Tujuh tahun kemudian....
“Aroon, tangkap bolanya.” Jorell sedang bermain lempar bola berasama adiknya.
Mereka berdua hanya selisih satu tahun saja. Saat ini Jorell sudah duduk di bangku setingkat Sekolah Dasar, sedangkan Aroon duduk di bangku sekolah sekelas Taman Kanak-Kanak.
Akh! Aroon berdesis lirih saat dia gagal menangkap bola yang dilempar oleh Jorell.
Bola itu mengenai pipi Aroon yang putih, hingga membuat warna pipi itu berubah.
“Apa kau tak apa?” Jorell langsung menghampiri adiknya.
Dia merasa bersalah meskipun itu bukan salahnya. Salah Aroon yang tak bisa menangkap lemparan bolanya. Tapi Jorell menyayangi adiknya, dia sangat khawatir pada kondisinya.
“Duduklah dulu, aku akan ambil salep untukmu.”
Aroon mengangguk dan duduk menunggu Jorell yang sudah masuk ke rumah.
“Aroon!” Bukan Jorell yang memanggil, namun Darcy.
Pria itu keluar dan berhenti di teras saat melihat Aroon duduk sendiri sembari memegang pipi kiri.
“Aroon, ada apa denganmu? Kenapa pipimu itu?” tanya Darcy ketika mendekat dan melihat ruam merah di pipi putranya.
Aroon menurunkan tangannya sehingga ruam merah di pipinya itu terlihat.
“Ayah, ini tak apa. Aku terluka saat main tangkap bola dengan kakak.” Aroon menjelaskan tanpa nada menyalahkan.
Tapi berbeda dengan yang ditangkap oleh Darcy. Cerita dari putra kandungnya sendiri itu lebih terdengar mirip sebagai aduan baginya.
“Apakah ini ulah Jorell?” tegas Darcy. Seketika dia naik pitam melihatnya.
Melihat anaknya dilukai oleh Jorell, kloning Detektif Carl yang merupakan rivalnya, yang sangat dibencinya.
Aroon diam. Dia malah gemetar melihat ayahnya bicara dengan nada tinggi begitu.
Diamnya Aroon sudah menunjukkan jawabannya sendiri jika Jorell memang sengaja melukai Aroon.
“Jorell, sini kau!” sentak Darcy, ketika melihat Jorell kembali dengan membawa salep di tangan.
“Ya, Ayah.”
“Lihat ini! Apa yang kau lakukan pada Adikmu?”
Darcy menarik baju Jorell dengan kasar lalu menunjuk pipi Aroon yang merah.
“Ayah, jangan salah paham. Kami berdua bermain dan aku sama sekali tidak bermaksud melukai Adik.” Jorell menjelaskan permasalahan yang sebenarnya.
Dia bahkan menunjukkan salep yang diambilnya untuk dia oles pada pipi Aroon.
Namun Darcy tak bisa mendengarkan dan tak mau menerima penjelasan Jorell, meskipun melihat salep itu.
“Bagaimana bisa kau bersikap keras seperti itu pada Adikmu yang masih kecil begini? Kau tahu itu sakit sekali untuk anak kecil seusia Aroon. Jika suatu terjadi pada Adikmu maka kau yang harus bertanggung jawab! Ingat itu!” Darcy kembali menyentak.
Bahkan tangannya pun kini terayun di udara setelah ia melepaskan cengkeraman baju Jorell. Tangan besar itu kemudian mendarat dengan keras di pipi kecil Jorell.
Hiss! Jorell berdesis karena merasakan pipinya panas juga berdenyut nyeri. Bahkan sudut bibirnya sampai bengkak akibat tamparan Darcy yang tak tanggung-tanggung.
“Aroon, ayo masuk. Biar Ayah obati lukamu.” Darcy menarik Aroon ke sisinya.
Sebelum pergi dia beralih menatap Jorell dengan tajam. “Kemarikan salepnya!” Ia mengambil salep dari tangan Jorell dengan kasar.
“Kakak ...” Aroon menatap kakaknya. Sungguh ia tak menyangka ayahnya akan membuat kakaknya meraskan rasa sakit di pipinya.
“Aroon, sudah masuk. Jangan pedulikan kakakmu!”
Darcy sampai menyeret Aroon masuk ke rumah. Karena anak itu nampak berat meninggalkan Jorell.
Jorell duduk di teras rumah menyandarkan punggungnya ke salah satu pilar yang ada di sana. Tamparan keras dari Darcy tak hanya meninggalkan jejak di sana, tapi juga jejak di hati Jorell.
Jejak yang lebih tepatnya seperti luka hantaman. Bukan pertama kali ini ayahnya memukul dirinya, banyak dan dia sampai tak bisa menghitungnya, berapa kekerasan yang sudah dilakukan Darcy padanya.
Beberapa waktu yang lalu, Jorell juga kena marah oleh Darcy hanya karena Aroon jatuh saat bermain sendiri di dekatnya. Dia sedang mengerjakan tugas dari sekolah sepulang sekolah. Jadi tidak terlalu memperhatikan Aroon yang sedang bermain.
Seperti tadi, Darcy memarahinya habis-habisan. menyalahkannya juga memberinya hukuman.
“*Adikmu ini masih kecil. Sudah merupakan tanggung jawabmu menjaga Adikmu. Kenapa kau sampai teledor dan membuat adikmu terluka begini? Untung saja jari tangannya hanya tergores oleh pisau. Bagaimana jika jari tangannya sampai putus sungguhan. Jika aku tak melihatnya, mungkin jari tangan Aroon sudah putus!”
“Maaf, Ayah aku benar-benar teledor. aku berjanji hal seperti ini tak akan terulang kembali.”
“Sudah berapa ratus kali kau berjanji padaku? Tapi lihat, tetap saja Adikmu terluka di bagian lutut saat dia jatuh dan menimpa kaca!”
“Maaf, Ayah!”
“Maaf saja tidak cukup! Kau juga harus merasakan sakit yang sama dengan Adikmu*.”
Bayangan saat Darcy menendang dadanya kembali terngiang dalam pikirannya. Bahkan jejak kaki itu membekas di dada Jorell, berwarna ungu kebiruan dan belum sembuh sampai sekarang.
“Ayah ... kenapa kau selalu menyalahkan diriku?” Jorell menahan rasa sesak di dadanya yang sangat menghimpit hingga dia susah bernapas dan berulang kali menarik napas panjang, untuk mengurangi beban di dadanya.
***
“Jorell mana, kenapa dia tidak ikut makan malam bersama kita?” tanya Betsy, melihat yang ada di meja makan hanya dirinya, Darcy dan Aroon.
“Entahlah, mungkin dia sudah makan duluan,” jawab Darcy acuh. Dia sama sekali tak peduli pada Jorell. Sudah makan atau belum, dia benar-benar tidak peduli. Bukankah tujuan awalnya mengasuh Jorell hanya untuk menyiksanya saja?
Betsy berdiri dari tempat duduknya. Dia lalu menuju ke kamar Jorell.
Terdengar suara gagang pintu tertarik dan pintu terbuka setelahnya.
“Jorell, apa kau sudah makan malam?” Betsy masuk dan menghampiri Jorell yang duduk di lantai dengan tertunduk.
Jorell tak merespon dan hanya menatap sepasang manik mata bulat ibunya. Ada rasa takut tergambar di mata Jorell.
“Ada apa denganmu?” Betsy berjongkok hingga membuatnya melihat pipi Jorell yang bengkak.
Sungguh, dia terkejut sekali melihat pipi Jorell bengkak parah.
“Siapa yang melakukan ini padamu?” tanya Betsy.
Jorell hanya diam tak berani menjawab. Tak mungkin juga dia memberitahukan ibunya itu jika yang memukulnya adalah ayahnya sendiri.
“Apakah ayahmu yang melakukannya?” Jorell menggelengkan kepala meresponnya.
“Lalu siapa yang melakukannya? Apa ada seseorang di kelasmu yang melakukannya?” Lagi, Jorell menggelengkan kepala.
“Katakan.” Betsy mendesak.
“Aku tertimpa kayu balok di belakang rumah, Bu.” Jorell terpaksa berbohong dan mengarang cerita.
Mungkin jika dia menceritakan yang sebenarnya pun, ibunya itu tak akan percaya padanya, dan malah akan membela ayahnya. Jadi tak ada gunanya dia berkata jujur.
Yang penting saat ini ibunya itu mempercayai dirinya, itu saja sudah lebih dari cukup.
“Lain kali hati-hati, jika main. jangan sampai melukai dirimu sendiri. Duduklah, Ibu akan mengobati lukamu.”
Hanya ibunya yang selama ini bisa meredakan sakit di hatinya karena perlakuan ayahnya.
“Betsy! Apa yang kau lakukan? Hentikan itu!” Tiba-tiba saja Darcy masuk ke kamar Jorell.
***
Halo kka semua. Maaf slow update. Karena sedang cari pembaca. Syarat pengajuan skr harus banyk pembaca atau tidak dapat apa²
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
lentera
tega sekali
2023-08-21
1
mata besi
paksa saja biar ngaku
2023-08-20
1
azzam
Jahat sekali darcy
2023-08-20
2