Al-Qur'an adalah anugrah terbesar dari Allah SWT untuk umat nabi Muhammad Saw. Dan hanya umat nabi Muhammad yang Allah izinkan bisa menghafal kitab sucinya.
Air mata kebahagiaan mengalir di pipi kedua orang tua ku, ketika mendengar kabar dari pesantren bahwa aku telah menyelesaikan hafalan Qur'an nya 30 juz. Alhamdulillah.
Setelah penantian panjang mereka yang penuh dengan perjuangan dan doa, akhirnya keinginan mereka terwujud.
"Jika engkau ingin menyenangkan Allah maka senang kan lah hati saudaramu".
"Ya Allah aku telah menyenangkan hati kedua orang tua ku. Aku merelakan cita ku pupus tak tergapai demi keinginan kedua orang tua ku, aku ikhlas dengan semua takdir yang telah Engkau tentukan untuk ku.
Ya Allah jika lah masih ada kesempatan untuk ku menggapai cita-cita ku kembali, aku mohon pada Mu ya Allah, mampu kan lah aku untuk bisa mewujudkannya". Aamiin.
Doa yang selalu aku selipkan di setiap sholat wajib juga waktu sepertiga malam ku.
Masya Allah, tanpa terasa lima tahun telah berlalu dengan begitu cepatnya.
Memasuki usia ku yang ke 17 tahun. Usia remaja yang menjelang dewasa, usia dengan jati diri yang sebenarnya. Angka yang sangat spesial bagi para remaja. Begitu juga dengan diri ku sendiri.
Jika saat ini aku berada di sekolah menengah, mungkin tinggal selangkah lagi aku bisa kuliah di fakultas kedokteran, sepeti apa yang pernah ku cita-cita kan.
Tapi semua sudah menjadi ketentuan Allah.
Akan ada waktunya nanti Allah sendiri yang memudah kan segalanya.
Selesai dengan hafalan ku 30 juz, bukan berarti selesai pula tanggung jawabku atas nya. Ini adalah langkah awal untuk ku mempelajarinya, menyampaikannya dan insyallah mengamalkannya.
Seperti dalam hadist Rasulullah yang berbunyi. "Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya".
Itu adalah panutan hidupku saat ini.
Sampai pada umurku yang ke 19 tahun, aku sama sekali belum memikirkan apa kelanjutan tujuan hidupku untuk kedepannya.
Menjalani takdir ku yang sekarang, masih di pesantren dengan tujuan mengabdi serta melancarkan hafalan sampai mutqin luar kepala, insya Allah.
Menjadi seorang dokter? Aku tidak ingin lagi berangan angan tinggi dengan sesuatu yang belum tentu Allah takdir kan untukku.
"Masih ingin menjadi dokter?"
Aku hanya terdiam dan tersenyum saat di hadapkan dengan pertanyaan seperti itu oleh ibuku.
"Nggak tau Bu. Saat ini Fia belum ada pleining apapun untuk hidup Fia kedepannya. Fia hanya menjalani apa yang sudah ada. Tidak ingin bermimpi terlalu tinggi lagi".
Tangan lembut ibu menggapai punggung ku lalu mengusapnya dengan perlahan.
"Maafin ibu sama Abah ya, karena mengikuti keinginan Abah sama ibu, kamu Samapi harus kehilangan impian dan cita-cita mu nduk".
"Jangan di pikirin Bu, Fia sudah bahagia dengan hidup Fia yang sekarang. Jauh lebih bahagia lagi kalau lihat senyuman ibu dan Abah untuk Fia".
Kebahagiaan ku adalah senyuman kedua orang tua ku. Mereka tidak pernah salah dalam menentukan pilihannya untuk ku, selagi itu masih hal yang baik dan berhubungan dengan agama Allah.
Keadaan telah merubah segalanya, sejak aku masuk pesantren.
Rezeki Abah dan ibu mengambil lancar bagai derasnya aliran air, Alhamdulillah.
Perlahan dengan perlahan Abah sudah bisa membeli tanah dan memiliki kebun sendiri sebanyak 2 hektar lahan sawah.
Ibu juga begitu, sampai sekarang sudah memiliki usaha laundry sendiri dan ibu sebagai pemiliknya bukan lagi pekerja nya.
Sedikit demi sedikit mereka mengumpulkan uang untuk biaya kuliah di bidang kedokteran.
Mungkin perrtanyaan itu diajukan karena mereka merasa bahwa uang yang mereka kumpulkan sudah cukup untuk membiayai kuliahku.
"Kalau kamu masih minat untuk menjadi dokter, bilang sama ibu ya, insya Allah ibu sanggup biayai nya".
Tanpa menjawab, aku hanya mengangguk dengan senyuman kecil di bibirku.
Jika melihat keadaan ekonomi mereka sekarang jauh lebih baik dari beberapa tahun yang lalu. Bahkan biaya untuk kuliah kedokteran pun mereka mampu untuk menebusnya.
Tapi kenapa keraguan datang kepada diriku sendiri, bukan karena biaya ataupun restu dari keduanya.
Aku ini seorang Hafizah yang menghabiskan masa belajarnya full di pesantren tahfidzul Quran, tanpa adanya campur kian dengan pelajaran formal. Apa ada orang yang seperti ku langsung diterima di perguruan tinggi tanpa adanya ijazah SMA? Pertanyaan yang membuatku maju mundur untuk kembali mewujudkan cita-cita kecilku. Namun di balik itu, ada satu nasihat Abah yang selalu kuingat sampai sekarang.
"Fia, Alquran itu sudah menyatu dengan dirimu. Kemana kamu melangkah, maka dia juga akan ikut denganmu, begitu juga sebaliknya. Jangan pernah takut dengan keadaan hidupmu ataupun masa depanmu nanti, karena Allah sendiri yang akan menjaga dan menjamin kehidupanmu".
Ya, aku masih sangat mengingatnya.
Jangan pernah takut kehilangan sesuatu yang belum tentu bisa memberi manfaat untuk hidupmu, tapi takutlah jika harus kehilangan sesuatu yang sudah pasti jelas memberi manfaat di kehidupanmu, yaitu Al
quranul Karim.
...****************...
Di pesantren........
"Fia....Fia..."
Tampak seseorang dari kejauhan sedang berlari menghampiriku dengan membawa beberapa kertas di tangan kanannya.
Dia adalah Ulya. Biasa aku memanggilnya dengan sebutan Lya. Dia adalah sahabatku di pesantren, satu angkatan dan satu alumni yang kini mengajar di tempat yang sama dengan Fia, atau diriku sendiri.
"Ada apa Lya? Sampai tergesa gesa gitu larinya".
Tanya aku yang saat itu sedang menyimak hafalan mereka.
"Ana dapat brosur ini dari umi, kata beliau suruh tunjukin sama anti".
Aku pun mengambil brosur nya dari tangan Ulya.
Brosur itu berisi tentang penerimaan mahasiswa atau mahasiswi baru fakultas kedokteran dengan beasiswa full bagi hafiz atau Hafizah 30 juz melalui tes hafalan.
"Masih ingin jadi dokter kan?"
Aku hanya menatap wajah Ulya tanpa berkata apapun.
"Nanti aja ya, biar pikirin lagi".
"Jangan kelamaan mikirnya, soalnya itu kan pendaftarannya terbatas. Ada waktu 3 hari lagi, kalau memang Anti masih berminat bisa diurus secepatnya oleh umi".
Aku hanya menghela nafas lega.
"Insya Allah Lya".
Aku menjawabnya dengan senyuman.
Ya Allah apakah ini adalah jawaban dari doa doa ku selama ini? Beasiswa full tanpa biaya apapun, hanya dengan tes hafalan saja aku sudah bisa kuliah di fakultas kedokteran.
Masya Allah sungguh indah cara Mu ya Allah dalam memberikan yang terbaik untuk hamba Mu.
Jalan sudah terbuka di depan mata, tapi kenapa aku merasa ragu untuk menerimanya.
Ada apa ini ya Allah? Bukan kah ini adalah permintaan ku sendiri? Tapi kenapa aku ragu?
Aku menghela nafas panjang sembari menenangkan pikiran ku sendiri.
Bangga dan bahagia dengan kabar ini, ternyata seseorang yang selalu mendahulukan Allah dengan Alquran akan lebih mulia dari apapun.
Sekarang aku paham dengan alasan Abah selama ini yang memintaku untuk lebih mendahulukan belajar Alquran dari pada belajar ilmu yang lainnya.
"Al-Qur'an adalah gudangnya segala ilmu. Jika ingin faham dengan ilmu yang lainnya, maka belajarlah dan fahami lah Al-Qur'an terlebih dulu". kata Abah sebelum aku melangkah ke pesantren.
Aku pergi menenangkan pikiran ku dengan menghadap kepada Dzat yang maha segalanya.
Aku meminta ketenangan hati dari sang pemilik hati manusia.
"Ya Allah, jika memang ini adalah jalan yang terbaik yang telah Engkau tentukan untuk ku, berikanlah aku kekuatan dan keyakinan untuk menerimanya juga menjalankannya ya Rabb".
Aamiin.
Sore itu, umi kembali memanggilku untuk menghadap pada beliau di rumah beliau yang tak jauh dari pesantren.
Aku sudah punya firasat bahwa ini berkenaan dengan brosur yang semalam dia bawa untuk ku.
Dan ternyata firasatku saat itu benar adanya, beliau memberikan nasihatnya kepadaku seperti ibuku sendiri.
"Nak Fia, umi tahu mungkin pilihan ini cukup berat untuk diri kamu, tapi apa salahnya kalau dicoba dulu. Jalan sudah terbuka, jika dilihat dari umur kamu itu masih muda dan masih banyak waktu untuk kembali belajar. Menurut umi kamu sudah pantas untuk mendapatkannya".
Aku masih diam tanpa berkata apapun dengan wajahku yang menunduk.
"Kata orang tua nak Fia, nak Fia sangat ingin menjadi dokter. Cita-cita dan impian nak Fia dari kecil. Dan umi lihat sepertinya nak Fia punya potensi besar untuk menjadi seorang dokter".
Mendengar ucapan umi yang kedua aku langsung mengangkat wajahku.
"Apa umi meridhoi jika Fia keluar dari pesantren ini untuk kuliah jurusan kedokteran. Lalu bagaimana dengan tanggung jawab Fia sebagai seorang guru?
Apa pantas jika Fia meninggalkan tanggung jawab Fia begitu saja untuk kepentingan diri Fia sendiri? Apa yang harus Fia jawab jika nanti Allah mempertanyakannya pada Fia?"
"Mengejar cita-cita itu bukan berarti lari dari tanggung jawab. Insya Allah umi meridhoi setiap langkah nak Fia, selama itu masih di jalan kebaikan dan tidak melanggar syariat Allah ta'ala. Jangan pikirkan tanggung jawab, selama anak Fia masih di bawah umi, tanggung jawab mengajar itu tidak sepenuhnya dipikul nak Fia sendiri. Masih ada umi di sini dan umi akan menggantikan nak Fia bersama dengan Ulya".
Mendengar ucapan dari umi, setidaknya aku bisa bernafas lega. Tapi kenapa masih ada keraguan dalam hatiku untuk kembali melangkah. Bukannya ini adalah permintaanku sendiri di setiap doaku.
Ya Allah kuatkan lah hamba......
"Tapi dunia luar itu kan keras umi, Fia takut terlena dan lalai dengannya. Sedangkan Fia sendiri mempunyai tanggung jawab yang besar dengan hafalan Fia dihadapan Allah.
Bagaimana jika Fia terlalu fokus dengan urusan baru Fia dan merupakan hafalan Fia?"
"Nah itu dia, tanggung jawab. Jiika nak Fia selalu ingat dengan tanggung jawab nak Fia di hadapan Allah ta'ala, insyaallah umi yakin nak Fia tidak akan berani keluar dari jalur nak Fia sendiri sebagai seorang Hafizah. Allah akan jaga anak Fia sampai kapanpun jika nak Fia masih mendengarkan alarm yang selalu mengingatkan nak Fia, melalui hafalan Qur'an nak Fia".
Jawaban umi begitu membuat diriku semakin kuat dengan pendirian ku. Keraguan itu seakan hilang dan membuatku tidak takut lagi untuk melangkah menggapai cita-citaku yang tertunda.
Terima kasih ya Allah, aku semakin yakin jika ini adalah takdir yang telah Engkau siapkan untukku.
"Bismillah, dengan nama Allah, aku akan memulai semuanya.
Ya Allah tolong jaga dan bantu Fia untuk segala urusan yang ada di dunia ini. Aamiin".
...****************...
Itu adalah sekilas ingatanku tentang masa kecil sampai aku menyelesaikan hafalan quranku 30 juz dan berlanjut studi kedokteran sampai ke luar negeri (Jerman).
sebelum aku pergi meninggalkan kota ini dan kembali lagi ke Indonesia, aku ingin mengingat kembali saat awal perjalananku bekerja di rumah sakit Seoul Korea Selatan, di mana saat itu aku dipertemukan oleh seorang pemuda yang ingin memperkerjakan ku sebagai seorang dokter pribadi keluarganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Delis sapariah
masya allah keren
2023-11-05
0
E Dnisa
jujur, aku adalah seorang yg gampang trsentuh, entah itu menonton ataupun membaca. hari ini aku baru Nemu bacaan yg dari awal aku mulai baca sdah langsung bikin mata bengkak karena nahan tangis.💖💖💖💖
2023-08-27
3