Papi hanya mengangguk. " Kado dari mami tahun lalu." Ucap papi lemah.
" Kenapa cuma satu?" Baju papi banyak loh yang di belikan mami."
" Baju, sepatu, sandal, jam tangan, semua barang papi boleh kamu jual. Uangnya nanti kamu masukkan ke buku tabungan. Papi sudah tidak butuh barang-barang itu lagi." Ucap papi menjawab rasa penasaranku.
" Papi ingin hidup baru. "
Aku mulai paham, tanpa banyak tanya aku mulai memberesi barang-barang yang ku butuhkan. Aku ingin seperti papi, memulai hidup baru tanpa bayang-bayang mami dan mas Dani. Jika papi masih membawa barang pemberian mami, lain hal denganku, aku tidak membawa satu barang pun yang berkaitan dengan mas Dani dan mami. Aku ingin move on, aku ingin hidup normal tanpa bayang-bayang luka masa lalu.
***
Hari ini kami menempati rumah kontrakan baru. Ada rasa sedih dan haru.
" Papi senang?"
" Ya, papi senang. Ini jauh lebih baik."
Rumah jauh lebih sederhana di bandingkan dengan rumah kami yang dulu. Kamar di rumah ini ada dua, satu untuk papi dan satu lagi untuk ku.
Aku mengajak papi melihat kamar yang akan di tempati beliau.
" Ini kamar papi " ucapku. Sengaja aku memberikan kamar utama ini untuk papi. Kamar ini jauh lebih luas dibandingkan dengan kamar kedua di rumah kontrakan ini.
" Nanti kita pasang AC ya, biar papi tidurnya bisa nyenyak. Gak kepanasan." Ucapku lagi.
Papi hanya mengangguk-angguk.
" Kamar kamu yang mana?" Tanya papi tiba-tiba.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. " Ehm.. di situ pi." Aku menunjuk ruang sebelah.
Papi berjalan kearah kamar sebelah.
" Papi yang ini sajalah."
" Loh, kok gitu?"
" Papi kan sudah tua, barang papi gak banyak. Kamar utamanya buat kamu saja, kkamu lebih butuh kenyamanan di banding papi."
" Pi..."
" Sttt. Papi sudah puas menikmati hidup. Ini waktunya kamu menikmati hidupmu." Ucap papi tanpa mau di bantah lagi.
Ah. Papi... Aku terharu jadinya.
Papi memang is the best.
Seiring berjalannya waktu, aku dan papi mulai menikmati hidup. Seiring berjalannya waktu, aku dan papu mulai melupakan mami dan mas Dani.
Di rumah ini kami hanya tinggal berdua. Untuk menghilangkan suntuk aku juga mulai bekerja di sebuah perusahaan. Sedangkan papi menikamati hidupnya dengan mengurus rumah tangga.
Setiap pagi papi akan membuat sarapan untuk kami santap berdua. Papi akan marah jika aku yang menyiapkan sarapan.
Tugasku hanya mencuci baju, kadang papi mencuci bajunya sendiri. Katanya tidak ingin membuat aku susah. Papi juga memberesi rumah ini layaknya seorang perempuan. Rumah ini mengkilat tanpa ada satu debu pun yang menempel.
***
Hari ini aku mendapatkan gaji pertama ku, ada rasa haru akhirnya aku bisa menikmati hasil keringatku sendiri.
Aku berinisiatif untuk mengajak papi malam mingguan. Sudah lama kami tidak menghirup udara malam.
Aku menelpon papi, terdengar sahutan suara papi di ujung telepon.
" Pi, siap-siap ya. Bentar lagi Dita jemput. Gak usah masak. Kita makan di luar hari." Ucapku bersemangat.
Setelah papi setuju, aku pun segera mematikan sambungan telepon. Sebentar lagi waktunya pulang akan tiba, aku segera berkemas.
" Dit, semangat banget mau pulang." Rachel sahabatku menatap heran.
" Mau wakuncar ya.." Meli menimpali sambil cekikikan.
" Ish apaan sih." Aku menggerutu sendiri.
" Gitu aja marah, emang mau kemana?" Meli menyenggol sikutku.
" Ada janji." Sahutku santai.
" Kenalin dong..." Rachel memohon manja.
" Mau aku kenalin sama bokap?" Gurau ku pada Rachel.
" Memang bokap mu masih tampan ya?" Serli si lemot ikut berceloteh.
" Masih dong." Gurauku sambil cekikikan.
" Mau dong jadi ibu tirimu." Serli mulai ngawur.
" Huuuuuu. Maunya." Rachel dan Meli berteriak berbarengan.
Serli hanya tersenyum malu sambil mengaruk kepalanya.
" Aku duluan ya... Bye.." aku melambaikan tangan pada ketiga sahabatku sekaligus rekan kerjaku.
Tidak butuh waktu lama, aku sudah tiba di rumah. Papi sudah menungguku di teras depan rumah dengan tampilan yang luar biasa keren.
" Masya Allah.. papi ganteng banget."
Papi mulai bergaya di depanku, " papi masih tampan?" Tanya papi bangga.
" Iya, papi."
" Terima kasih." Sahut papi ceria.
"Pi, aku mau mandi dulu ya. Bau asem nih." Aku segera menggeloyor pergi masuk kekamar tanpa menunggu persetujuan dari papi.
Tidak butuh waktu lama.
" Taraaa... Ayo let's go papi."
Aku membonceng papi menggunakan motor matic kesayangan ku. Motor matic yang ku beli dari hasil penjualan barang bekas milikku.
Kami bernyanyi di sepanjang perjalanan.
" Allah...terima kasih sudah membuat papi lebih bahagia." Ucapku dalam hati.
Kami memilih duduk di alun-alun taman kota ini. Banyak pedagang yang berjualan makanan. Suasana malam minggu ini ramai sekali. Cahaya bulan bintang menghiasi langit cerah malam ini.
Kami memilih duduk lesehan di atas sebuah tikar. Aku memesan mie ayam bakso kesukaanku dan segelas es teh manis sedangkan papi memesan sepiring sate dan segelas teh manis hangat.
" Kamu ngerayain apa kok traktir papi?"
" Aku gajian, pi." Jawabku jujur.
" Jangan boros-boros dong, di tabung." Ucap papi sambil menyantap sate yang ada di hadapannya.
" Sesekali papi." Ucapku sambil tersenyum.
Setelah perut kenyang, aku dan papi mulai menikmati alunan musik dari pengamen jalanan.
" Ternyata kita sudah lama tidak pernah kemana-mana." Ucap papi berbisik.
" Iya, pi. Papi senang?"
" Iya." Sahut papi.
Semakin malam udara semakin dingin. Papi mulai terasa tidak nyaman.
" Kita pulang yuk, pi." Ajakku sambil menggandeng tangan tua milik papi."
"Kamu sudah puas?"
Aku hanya mengangguk. Kesehatan papi jauh lebih penting di banding perasaanku.
Kami tiba di sebuah parkiran, tak sengaja mataku menangkap dua sosok yang pernah hadir dalam hidupku.
Wanita paruh baya dengan perut membuncit layaknya wanita hamil sedang duduk mesra bersama seorang pria yang pernah mengikat janji setia denganku.
Aku terpaku menatap pemandangan yang ada di hadapan ku.
" Kenapa berhenti, Dit?" Papi menatapku heran.
Mata papi yang mulai rabun jika tidak menggunakan kacamata membuat papi tidak bisa melihat dengan jelas pemandangan yang ada di depannya.
Wanita paruh baya itu sedang di suapi makan oleh suaminya. Berbulan-bulan menutup komunikasi dengan mereka, ternyata Allah takdirkan aku bertemu dengan dua penghianat itu.
Mereka belum menyadari keberadaan aku dan papi. Mereka asyik dengan dunianya.
" Dit.." papi menyenggol badanku.
Aku mengusap ujung mataku yang berair.
Sial. Luka masa lalu itu belum sembuh.
" Dit mana motornya?" Papi mulai cerewet tidak sabaran melihat aku hanya diam berdiri di tempat.
Bagaimana bisa aku mengambil motorku jika harus melewati dua penghianat itu?
Aku menarik napas dalam, berharap sesak didada bisa berkurang.
Aku menggandeng tangan papi, kami berjalan berdampingan. Aku pura-pura tidak melihat mereka. Tapi...
" Aduh."
Kaki papi tersandung batu. Untung saja papi tidak jatuh.
Dua penghianat itu menghentikan aktivitas makannya. Menatap kami.
Aku pura-pura cuek dan tidak mengenal mereka.
" Papi gak papa?" Tanyaku pelan.
" Enggak, tapi kayaknya berdarah deh, Dit."
Papi merunduk untuk melihat kakinya.
" Benarkan Dit, berdarah." Ucap papi.
" Nanti kita obati di rumah ya, pi." Sahutku cepat. Aku segera mengambil motor yang ada disamping mami dan mas Dani.
" Adita..."
Yuk tinggalin jejak di kolom komentar ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments