Belum jauh perjalanan yang semakin sulit itu, sudah ada kesulitan yang kali ini menghadang mereka.
“Yah hujan.“
Mereka mengeluh.
“Apa kubilang, sulit kan?“
Kebingungan itu bertambah.
Mereka hanya mendekap kepala memakai dua tangan.
Dan itu tak mengurangi basah yang terus mengguyur.
Untungnya dikejauhan nampak sebuah gubug. Kelihatannya milik petani yang menggarap sawah di tengah keheningan daerah tersebut.
“Ayo kesana.“
Merekapun menghampiri tempat tersebut. Sembari berlari-lari kecil dalam menjangkaunya. Ditengah ladang persawahan penduduk nampak suatu gubug terbuka yang begitu syahdu untuk dilewatkan. Kelihatannya tempat itu hanya untuk singgah kalau kebetulan cuaca jelek seperti sekarang ini. Atau untuk istirahat kala makan siang dan melepas lelah.
“Lumayan... Kali ini ada ruang untuk menjadi tempat berteduh.“
Sedikit mensyukuri apa yang kali ini dirasa. Perjalanan melelahkan sedari semalam, rupanya tak cukup untuk menghentikannya. Masih ada nestapa lain yang mesti dirasakan.
“Ya sudah sini. Dekat kenapa. Dingin kan?“ ujar Ronggo mengajak tuan putrinya agar tak berjauhan.
“E basah dan lapar.“ Putri mengeluh sembari memegangi perut.
Si Ronggo anak Merto Lulut itu segera membuka buntalan tempat bekalnya. Dikeluarkan semua isinya. Dan diberikan pada Putri Cipto Rini.
Putri memakan dengan lahap sisa-sisa daging buruan dan ikan yang tak seberapa banyak.
“Bentar aku nyari lagi,“ kata Ronggo melihat Putri kelihatannya belum begitu kenyang. Apalagi memakan daging yang sudah dingin, tentu kurang nyaman di perut.
“Agak reda memang,“ kata Putri.
Hujan mendadak terhenti. Tapi cuaca masih remang-remang, cenderung berkabut. Dan jarak pandang masih belum lega.
“Sini saja,“ kata Ronggo. Dia beranjak menjauh dari tempat sembunyi. Sebentar dia tengak-tengok. Barulah benar-benar meninggalkan tempat berteduh itu.
Putri hanya diam. Semakin sunyi rasa hatinya. Semua benar-benar meninggalkannya kini. Tanpa teman, kerabat dan lainnya. Bahkan orang yang kemungkinan di jodohkan dengannya oleh kedua orang tuanya, supaya melanjutkan generasi, juga tak ada disisi. Dia masih asik di negerinya, Pataruman. Yang mungkin tak tahu kalau negerinya sudah jatuh ke tangan orang lain. Yang menemaninya kini hanya si kerempeng, pengawalnya itu.
Tak lama kemudian Ronggo kembali lagi.
“Dapat apa?“ tanya Putri. Dipandangi orang itu yang datang dengan kesungguhan. Untuk membawa sesuatu juga mengisi kesunyian yang menyelimutinya.
“Pisang mentah,“ ujar Ronggo sembari menaruh apa yang dipanggulnya. Ada pisang yang lumayan berat. Dia dapat ditepi sawah tak jauh dari situ. Hanya ini yang ditemui. Pisang mentah.
“Buat apa pisang mentah?“
“Dimakan lah.“
“Langsung?“
“Bisa. Tapi kurang enak, bahkan keras dan bergetah,“ jelas Ronggo Bintoro. “Lebih dahulu, pisang ini dibakar dalam api menyala. Kalau matang, kekerasannya akan melemah. Getahnya juga hilang. Barulah kita bisa memakannya. “
Berikutnya Ronggo mencoba membuat api unggun. Buat membakar pisang dan menghangatkan suasana. Sulit. Apalagi semua basah oleh guyuran air hujan yang sampai sekarang juga belum sepenuhnya berhenti. Masih ada gerimis manis, yang terus mengguyur.
Kayu yang dibakar diambilnya disekitar gubug. Tak seberapa jauh. Bahkan terkadang mencabut bagian pondok yang sudah rusak. Tampaknya kayu pondok itu sudah banyak yang rapuh. Sehingga nampak kering. Dan bisa dimanfaatkan. Meskipun sulit sekali, namun lama-lama jadi api juga.
Setelah apinya membesar, dimasukkan segepok pisang itu. Dengan menaruhnya pelan-pelan. Dan membuang bagian yang benar-benar tak enak. Batang pisang yang memanjang, juga pisang yang terlalu kecil. Dan terlihat tak ada isinya. Hanya kulit dan ujung pisang saja.
Sembari menunggunya, mereka menghangatkan diri di sekeliling api. Setelah lama dan badan juga telah panas. Setelah agak lama dalam api, pisang itu diangkat pelan-pelan. Nampak bagian luar pisang itu ada yang menyala, bahkan hitam, gosong.
Perlahan diambil dengan mengunakan kayu. Sembari ditiup, di buka isinya. Lalu dimakan pelan-pelan, satu demi satu, lama-lama satu tundun pisang itu menjelang habis.
“Lumayan lah,“ kata Ronggo yang puas akan apa yang dihasilkannya, kini mulai memenuhi perut.
“Enggak enak!“ ujar Putri sembari menghabiskan yang masih tersisa.
Si Ronggo terdiam, lama-lama berusaha mendekat. Putri sedikit geser, memepet pada ruang sempit yang semakin sempit. Namun hujan menghalangi dia, untuk beranjak lebih jauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments