Pagi berjalan semakin pasti. Ronggo kembali mendekati putri yang nampak lesu.
“Makan Putri,“ katanya menawarkan sesuatu.
“Tidak mau!“
“Kenapa?“
“Aku benci kamu!“ ujar Putri dengan ketus.
“Alah begitu saja ngambek. Nanti kalau istana direbut lagi, paling kamu juga sudah melupakanku. Mana ada orang kaya suka sama bawahan,“ ujar Ronggo.
Putri terus terdiam.
“Benar.... tidak mau makan?“ Ronggo masih berusaha menawarkan sesuatu pada sang putri yang lagi mogok makan.
“Tidak ya tidak!“ Putri masih merajuk.
“Ya sudah. Biar daging ayam liar ini ku habiskan sendiri, kalau memang tidak mau,“ kata Ronggo Bintoro, anak dari Merto Lulut, seraya terus menghabiskan hasil buruannya tadi.
“Dasar!“
Putri terus ngedumel. Berikutnya terdiam, dengan tubuh lesu. Dia hanya bisa menatap kegelapan gua sembari bersandar pada dinding kerasnya. Sembari ketakutan kalau kalau si pengawal durjana itu sewaktu-waktu mendekat dan minta sesuatu.
Ronggo asik saja. Berusaha untuk acuh. Karena sudah tahu resikonya. Kembali ke istana juga sudah tidak mungkin. Istana sudah direbut. Mau mencari kehidupan di masyarakat palingan nanti hanya akan menjadi orang biasa lagi.
Makanya untuk meninggalkan kegundahannya itu, dia mencari hal-hal aneh. Sembari mencari keselamatan diri. Dengan tanpa memperhatikan sekitarnya.
Dia terkadang naik keatas pohon yang tinggi untuk mengintai musuh kalau-kalau terlihat. Dari suatu ketinggian pasti jelajah penglihatannya bakalan lebih luas. Tentunya dibandingkan bila hanya berdiri saja di tanah yang datar.
Setelah yakin tak ada musuh, kemudian dia berusaha membuat semacam tombak yang nantinya bakal menjadi sebuah senjata mengerikan. Buat musuh maupun untuk berburu menari makanan. Dibuatnya peralatan itu dari kayu atau bambu yang kuat. Yang jelas ada di sekitaran hutan yang senyap itu.
Dengan bilah pegangan sepanjang dua meter. Bahkan ada yang ukuran panjangnya lebih. Dibuatnya lebih dari satu. Nanti kalau ada hewan buruan liar atau bahkan musuh yang berani mendekat, bakalan langsung dilemparnya. Hingga alat tajam itu akan menghentikan langkah musuh tersebut.
Berikutnya membuat panah, sebagai senjata yang lain, sebagai sarana berburu dan meramu. Dibuatnya dari tambang bambu yang dililit dan dipilin membentuk tambang yang kuat. Untuk alat pelontar anak panahnya.
Diwaktu lain membuat alat jebakan. Baik untuk musuh yang kebetulan merambah ke daerah tersebut. Maupun untuk binatang buruan yang bakalan mendekam dalam perut lembabnya. Nanti kalau musuh terkena Jebakan yang terpasang, bakalan resiko terburuk akan binasa. Jika hewan yang tertangkap tentunya akan langsung menjadi santapan rohani dan jasmani hingga menambah kekuatan.
Untuk mengisi waktu lain dan mencari makan dilanjutkan memancing ke sungai. Jika enggan tubuhnya basah, maka hanya mematung saja ditepian sungai. Tapi kalau merasa naman dengan udara dinginnya, dia bakalan langsung turun dengan menggunakan perangkap dari jalinan bambu sebagai bubu. Dengan cara ini biasanya dapat ikannya lebih banyak.
Sejauh ini Cipto Rini masih sebel. Dia tetap enggan makan. Tak enak rasanya di lidah. Yang teringat hanya kejengkelan sama manusia satu itu. Tentu saja marah sama rekan kerja yang ternyata menjadi duri dalam daging itu, yang hanya mencari enaknya sendiri, tanpa memandang enaknya orang lain, bahkan enaknya makanan. Dan ingin rasanya dia menghukum sangat berat kepada si pengawal keparat tersebut. Atau pergi sejauh mungkin dari tempat yang paling tak mengenakkan ini. Tapi mengingat kali ini dia hanya sendirian, yang pastinya bakalan bertambah sunyi kalau melakukan hal buruk itu. Kesepian di hutan, juga resiko menghadapi musuh tak ada kawan.
“Paman!“ ujar Putri memanggil pengawalnya.
“Aduh... jangan panggil paman lah...“ kata sang Ronggo.
“Terus aku harus memanggilnya Aa, begitu?“ ujar Putri mengernyitkan bibir.
Dengan tersenyum Ronggo bilang, “kenapa putri sayangku?“
“Ayo kita segera menyerang istana,“ ujar Putri.
“Mana berani,“ jawab Ronggo dengan enteng. Dia tentu tak akan mampu. Sudah pasti. Jangankan satu istana yang besar dan megah, yang pastinya banyak pengikut. Satu orang prajurit utama pemberontak, juga belum tentu mampu menjatuhkannya. Mereka sakti-sakti, dia sendiri tak lebih dari sekedar bocah yang hanya bangga pada orang tuanya yang sudah melahirkannya ke dunia dengan tak memberi kesaktian sedikitpun, namun harus puas, karena mereka juga telah membuatnya menjadi sebesar ini. Bayangkan, kalau orang tuanya bukan orang hebat, mungkin dia tak bisa menikmati kehidupan mewah di istana, dan hanya diam dengan para gembel kota yang tidur diemperan rumah pejabat, atau justru terlunta-lunta di hutan belantara, tinggal bersama celeng dan lutung.
“Loh.... kenapa begitu?“
“Kan tahu sendiri. Kita tak ada kawan, cuma berdua, mana kuat?“
“Tadi malam, kau kuat berbuat begitu!“
“Ah... jangan diungkit hal yang menyakitkan begitu ya... “ ujarnya beralasan. Kali saja cuma alasan untuk suatu keengganan melawan musuh yang memang sakti-sakti itu. “Jangan menyerang istana dulu yah, kita mesti menunggu waktu yang tepat,“ ujar Paman Ronggo Bintoro terus berusaha membujuk sang Putri Cipto Rini agar tetap bersamanya sehingga bisa lama berduaan di tempat yang dingin dan romantis itu. “Lebih baik kita disini yah... yah.“
“Iih... Paman! Jangan macam-macam ya. Ayo kita berangkat!“
Namun sang putri sudah tak sabar, dia ingin segera kembali ke istana dan bisa memukul mundur musuh, mengalahkan mereka. Untuk berikutnya menjalani kehidupan wajar seperti kejadian sebelum terjadi bencana itu. Kini semuanya bertambah sengsara. Selain sepi, juga kekurangan berbagai keperluan sehari-hari. Tanpa makanan layak, pakaian bagus, juga mesti berteman dengan nyamuk-nyamuk nakal dan lintah-lintah yang siap menguras habis darahnya.
“Iya.. sebentar.“ Akhirnya mau tidak mau Ronggo mesti mengikuti kemauan tuannya. Meskipun di hati masih ogah-ogahan. Lain waktu bakalan mencari alasan yang lebih tepat.
Yang dipikirkan Cipto Rini, kali ini mesti berjuang menggapai apa yang dahulu sudah menjadi miliknya dan kali ini harus kembali menjadi haknya untuk melindungi segenap kawula.
“Kita mesti mencari bantuan dalam merebut istana. Kalau sekiranya kali ini tak kuat,“ ujar Putri. Dia tak tahu seberapa besar kekuatan yang masih dimiliki dan masih bersedia membantu istana.
Mereka bersiap pergi, “ini bawa senjata rakitan yang aku buat.“
“Buat apa?“ tanya Putri.
“Buat membunuh musuh, membela diri, juga menusuk mereka kalau ada yang hendak memperkosamu,“ terang Ronggo.
“Kamu yang gua tusuk kalau begitu!“
“Lo... kok bisa?“ Ronggo hanya bisa menggaruk-garuk jidat.
Putri sedih banyak yang hilang untuk waktu-waktu ini. Istana, keluarga, kebahagiaan, bahkan kepercayaan yang dimiliki selama ini demikian mudah lenyap. Apalagi kini, dia hanya bersama seorang pengawal yang demikian diragukan kesetiaannya dan akan selalu membawa bencana, sejauh semua belum tuntas direbut kembali.
Akhirnya mereka meninggalkan tempat itu, tempat dimana sekian lama mereka melindungi dari segala perubahan cuaca dan berbagai keganasan alam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments