“Terus Putri... Kita harus terus lari. Menjauhi kejaran mereka.” Ronggo terus berusaha menyeret sang putri agar tak berhenti dahulu. Disini kurang aman. Jangan-jangan musuh masih terus mengejar. Dan dia akan menangkap dengan segera, andai langkah mereka tak terus pergi menjauh sejauh-jauhnya.
Putri Cipto Rini nampak sudah sangat lelah dan ingin istirahat. Sekian lamanya serta merasa sudah jauh, tapi tak kunjung berhenti, membuat dirinya hampir-hampir tak kuasa bergerak. Namun demi keselamatan, agar tak tertangkap, mereka mesti terus lari lebih jauh lagi.
“Yang lain bagaimana?” Putri Cipto Rini khawatir akan keselamatan para saudara yang ditinggalkan dalam pengeroyokan itu. Dia bahkan melihat sendiri, ada yang tertangkap bahkan sudah ada yang luka.
“Kayaknya mereka sudah binasa,“ ujar Ronggo pesimis. Dia juga merasa demikian. Musuh demikian ganas. Tak bisa melihat nyawa sedikitpun. Asal nampak sudah langsung main tebas saja. Itu yang membuat dia yakin kalau para kerabat keraton, sudah dibinasakan.
“Aduh...“ Putri mengeluh. “Kamu kembali sana! Menyelamatkan mereka,“ perintahnya pada Ronggo yang dipercaya mengawal mereka sebelum ini. Ditangan dia semuanya mesti terselamatkan.
“Bagaimana sih? Kan kamu tahu sendiri mereka hebat-hebat dan saudaramu belum tentu selamat juga,” terang Ronggo. Enggan rasanya, kalau harus berurusan dengan kekerasan. Lebih nyaman kalau tidur di kasur yang empuk. Kalau tidak duduk ongkang-ongkang kaki diatas kursi goyang pada teras depan rumahnya yang sangat mengantuk kan itu.
“Kamu kan terkenal sangat sakti dan tak ada orang yang berani melawan mu,“ ujar Putri Cipto Rini. Dan kini dia semakin yakin kalau orang ini benar-benar sakti. Buktinya yang lain pada tewas dalam merana, dia masih hidup dan diberi umur sangat panjang.
“Siapa bilang?“
“Semua orang,“ ujar Cipto Rini. “Sebagai keturunan Merto Lulut, yang biasa memancung orang, pastinya kamu juga mempunyai kelebihan yang beda dengan orang-orang sekitar kan?”
“Ada-ada saja orang-orang itu,“ ujar Ronggo. “Yang sakti kan bapak saya. Makanya dia menjadi Merto Lulut. Kalau aku ya tidak lah. Kumis saja belum punya. Ayahku kan kumisnya melintang hebat.”
“Jadi nasib mereka bagaimana ini?“ Putri nampak khawatir sekali. Masih berharap keluarganya kembali secara utuh. Dan bisa bercengkrama lagi dalam suasana segar menyenangkan. Makanya sebisa mungkin dia akan membebaskan mereka.
“Kalau suasana sudah aman, kita selamatkan mereka,“ ujar Ronggo memberi kata-kata menenangkan. “Itu juga....“
“Apa..... Apa....“
“Kalau.....“
“Kalau apa?“
“Kita tak keburu dipenggal mereka. Hehe.....“
“Sempat-sempatnya ngekek!“ Putri Cipto Rini mangkel. Dimana pikirannya masih mengenang kerabatnya yang bakalan dipancung musuh, juga keamanan dirinya yang sangat minim, menambah pikiran semakin ruwet.
“Daripada pusing, mendingan dibawa tertawa saja. Melupakan segala kengerian.“ Ronggo Bintoro berkata sembari senyum-senyum.
Mereka terus berjalan menembus jalanan sulit, yang nampak hanya sekali dua kali saja terlewati orang pergi ke hutan. Kali ini tak perlu berlari. Dimana nafas juga telah menurun, tenaga habis, maka jalan biasa akan lebih nyaman. Kelihatannya juga sudah lumayan jauh dari para pengejar. Tak nampak sedikitpun. Bahkan kelebatan orang juga tak terlihat kala menyibak dedaunan liar.
Ah!
“Apa Putri?“ Ronggo terkejut mendengar teriakan Cipto Rini.
“Jalannya sangat sulit, aku sering terperosok tanah yang berlubang-lubang ini.“
“Hati-hati jalannya.“
Sebagai kerabat istana tentu suasana demikian tak biasa dilalui. Biasa dengan lantai istana yang berkilat, atau jalanan kota yang demikian mulus, tertata rapi.
“Kita terus berjalan dulu, hingga benar-benar jauh dan para pemburu tak mampu lagi menangkap kita dan baru kita cari makan.“
“Iya.“ Putri diam. Hanya terus mengayunkan langkahnya. Mengimbangi langkah-langkah Ronggo Bintoro yang meskipun sama-sama lelah, tapi masih bisa cepat.
“Tahan sebentar. Didepan sana kita istirahat,“ kata Ronggo lagi.
“Tapi jangan cepat-cepat.“
Ronggo Si Anak Merto Lulut terhenti untuk menunggu tuan putrinya. Bahkan sebentar kemudian menuntun untuk mengimbangi langkah.
“Nah kita lewat hutan itu. Agak aman. Disana tumbuhan nya agak rapat dan para prajurit pemberontak itu bakalan kesulitan kalau terus memburu kita, bahkan jangan-jangan mereka yang nanti akan kita incar jantungnya. Kalau terus kemari.“
Dalam senyap itu mereka terus melaju.
“Nih sampai hutan,“ ujar Putri.
Agak lega diantara pohon-pohon besar rimbun juga tertutup oleh kabut yang menggidigkan ini. Dingin, seram.
“Kita melintasi hutan ini. Dan diseberangnya nanti kita cari tempat berteduh yang nikmat. Mereka tentu masih mengejar. Andai tidakpun, maka untuk tempo tak berapa lama, kita bakalan ketemu. Karena jaraknya masih dalam jangkauan mereka. Mendingan kita terus menjauh dulu agar tak mudah ditemukan.”
Mereka terus lari. Menjauh, sejauh-jauhnya. Dari para musuh yang mengejar keberadaan keseluruhan dinasti, tentu untuk menghentikan mata rantainya.
Hingga nanti berhenti pada suatu tempat yang membuat mereka nyaman.
Namun sesaat Putri meminta berhenti untuk istirahat sejenak dan berikutnya mesti menjauh lagi. Agar tak terdeteksi. Dan rencananya bakalan berpindah-pindah lokasi.
“Nah disini saja Putri,“ kata Ronggo Bintoro menemukan lokasi yang sekiranya strategis buat menenangkan diri, lumayan lama. Sebelum mereka pergi lagi.
“Gua?“
“Heeh..... Bagus ini untuk melepas lelah.“
Mereka menemukan suatu lokasi aneh yang ada di sekitar mereka yang keadaannya sunyi sepi. Mereka masuk dalam relung terlindung itu.
Ronggo meneliti sebentar tempat tersebut, mana tahu masih ada binatang berbahaya semisal ular, harimau putih dan yang lainnya.
Setelah benar-benar aman, mereka menempatkan diri pada posisinya yang demikian nyaman. Putri terdiam di sudut gelap dinding gua yang dingin.
Ronggo Bintoro anak si Merto Lulut tak bisa diam. Resah. Dia masih merasa takut terkejar musuh. Mana dirinya masih membawa anggota kerajaan yang masih hidup lagi. Pasti bakalan terus diburu.
Karena memikirkan hal-hal yang tidak-tidak, dalam benak kotornya itulah, akhirnya dia beringsut mendekati si putri untuk melampiaskan hasrat bejadnya.
“Putri cantik deh malam ini,“ ujarnya. Dirinya terus mendekati si cantik. Disini tak ada siapa-siapa, yang ada hanya si cantik, yang dia jaga.
Putri kaget melihat perubahan sikap pengawalnya ini. Dia mulai ketakutan dengan kelakuan yang tak biasa dari penjaganya itu.
“Paman jangan,“ ujar Cipto Rini. Putri sang adipati yang demikian mempesona dan tengah ranum-ranumnya itu terus saja bergidik ketakutan. Yang berawal dari penyerangan musuh, hingga sampai di tempat menyeramkan ini, terus tak berhenti rasa gundahnya itu. Bahkan kini bertambah.
Ronggo terus mengekeh dan tak perduli, dirinya terus mendekati putri yang masih tersudut di dinding dan berikutnya tak bisa bergerak. Berikutnya langsung main sergap.
Hal ini membuat Putri semakin panik.
“Hehehe... tenang saja putri,“ ujar Ronggo menghibur. Atau lebih tepatnya menenangkan, sedang dia terus mendekat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments