POV AIRA
...~♥♥♥♥♥~...
Hari ini, aku mendapat shift pada sore hari. Aku berangkat dari rumah selepas sholat ashar tadi. Dan kini aku sudah berada di rumah sakit, berniat meletakkan tas dan sweaterku di dalam loker sebelum akhirnya berjaga di bangsal. Di sepanjang lorong rumah sakit yang aku lewati, aku selalu tersenyum setiap kali ada pasien yang menyapaku. Memang aku cukup dekat dengan beberapa pasien dan keluarganya.
Setibanya aku di loker para perawat, aku segera memasukkan barang bawaanku ke dalamnya. Lalu, menutup kembali lokerku dan tidak lupa menguncinya juga. Aku tidak melihat Vika atau pun Angga berada di sana, mungkin mereka sudah berada dibangsal. Sebenarnya sejak satu hari lalu, terhitung dari pertemuan keluargaku dan keluarga tante Elisa. Aku selalu memikirkan kelanjutan dari acara ‘makan malam’ itu. Ditambah dengan sikap menakjubkan yang dilakukan pria kaku bin menyebalkan itu. Makin uring-uringan hati ini, dasar hati baperan.
“Hai, Ra.” Angga menyapa ku, ketika aku sudah berjarak tidak terlalu jauh dari bangsal. Aku membalas sapaannya dengan senyuman.
“Vika mana, Ngga?” tanyaku pada laki-laki itu, ketika tidak melihat kehadiran Vika di sana.
“Lagi ganti selang infus, biasa bocah.” Kepalaku kembali mengangguk menanggapi ucapan Angga. “Eh, nanti malam ke pecel lele yuk.” Ucap Angga mengajakku.
“Pecel lele dimana?” tanyaku sambil mengecek beberapa catatan pasien.
“Tempat biasa, emang dimana lagi sih yang enak tapi murah.” Aku terkekeh menanggapi ucapan Angga. Benar juga, kami itu pencinta makanan enak tapi murah plus mengenyangkan.
“Tapi, Vika lagi diet enggak?”
“Gue yakin dia lagi free, tadi aja ngemil mulu tuh bocah.”
Vika memang paling paranoid dengan timbangan, alasannya karena dia tipe tubuh yang berat badannya mudah bertambah drastis. Berbeda denganku, sebanyak berapa pun aku makan, beratku tetap stabil. Aku juga heran, sampai-sampai ibu mengataiku anak cacingan dulu sewaktu sekolah dasar. Tapi, ya memang dasarnya begitu, jadi diberi obat cacing pun tidak berpengaruh.
“Sebel deh gue.” Ucap Vika yang baru saja kembali setelah melakukan kegiatannya. Kenapa nih anak? Dateng-dateng misuh-misuh.
“Kenapa sih?” tanyaku sembari menarik kursi di sebelahku untuk mempersilahkannya duduk.
“Itu bocah, pencalitan banget enggak mau diem. Akhirnya selang infusnya macet terus.” Vika bercerita dengan menggebu-gebu. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, setelah mendudukkan tubuhnya di kursi.
“Ya namanya anak-anak, Vik. Sabar aja.”
“Eh daripada lo misuh-misuh mulu, mending ikut gue sama Aira.” Ucap Angga menawarkan kepada Vika.
“Emang kalian mau kemana?”
“Gue sama Angga mau ke tukang pecel lele, langganan kita. Ikut enggak? Tapi kalo lo lagi di–“ perkataanku terpotong oleh suara Vika yang menyela dengan semangat.
“Ikut, gue ikut kalian. Udah lama enggak ngerasain makanan enak.”
“Lah, emang lo kemarin-kemarin makan apa?” tanya ku dengan pandangan kearah ponsel.
“Kemarin-kemarin kan gue diet, makan sehat. Kurang sedep.”
Aku berpamitan sebentar kepada Vika dan Angga, untuk pergi ke kafetaria. Sepertinya aku membutuhkan kafein untuk membangkitkan semangatku. Sesampainya di sana aku segera memesan sweet americano, latte dan espressou. Untuk Angga dan Vika. Lalu aku memilih untuk duduk disalah satu kursi yang sudah disediakan di sana. Tiba-tiba aku merindukan Leon, entah kenapa melihat senyumnya membuatku bahagia. Pangeran kecil, yang membuatku merasakan rasanya memiliki adik.
Saat aku asyik mengingat-ingat wajah tampan Leon. Tiba-tiba wajah menyebalkan daddy nya muncul di pikiranku. Kenapa coba harus nongol di situ. Dan seketika aku merasakan beban berat di bahu kananku. Tidak mungkin kan ada hantu rumah sakit yang menempel di sana.
“Suster Aira.” Heeh?! Setannya manggil nama aku.
“Sus–Suster Aira.”
“Hah?!” aku terperanjat dari dudukku untungnya tidak sampai terjatuh, jika iya itu menambah rasa maluku. Aku menoleh menatap sosok yang duduk di seberang meja bundar, yang memisahkan jarak di antara kami berdua. “D-dokter Raka?” aku menanyakan lebih dulu sosok itu, takut-takut makhluk lain.
“Iya, ini saya.” Mendengar balasannya aku menghela nafas lega tanpa sadar.
“Dokter bikin saya jantungan. Untung aja jantung saya enggak pindah ke jempol kaki.” Ucapku dengan tangan berulang kali mengelus dadaku naik-turun.
Kulihat Dokter Raka terkekeh, sampai menampilkan lesung pipitnya yang menawan. Ya Allah, begitu indah ciptaan–Mu. “Maaf suster, tadi saya lihat suster bengong sendirian. Jadi saya tepuk bahunya, takut ada yang mampir.” Ucapnya diakhiri kekehan renyahnya, kruyss.
“Iya, enggak papa kok, Dok. Ngomong-ngomong Dokter ada keperluan apa kesini?” pasti Dokter Raka kesini ada tujuan lain. Tidak mungkin sebatas ingin menyadarkanku dari lamunan yang berkepanjangan. Apalagi sekedar menemuiku, sangat tidak mungkin.
“Saya mau beli kopi. Kalo suster sendiri?” nah kan ketahuan.
“Satu tujuan kita, Dok.” Ucapku sambil tersenyum menatapnya.
“Wah udah satu tujuan aja. Tinggal satu KK nya yang belum, nih.”
“Heh?” aku terpaku di tempat dengan wajah cengo yang sudah tidak terkondisikan.
“Saya duluan ya, sus. Pesanan saya sudah jadi, jangan lupa nanti visit dengan saya.” Dokter Raka bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kasir untuk mengambil pesanan kopinya.
“Ah? Oh ya em.” Aku masih setengah sadar saat menjawab perkataannya. Ah, mungkin aku hanya salah dengar.
“Suster Aira.” Penjaga kasir memanggil namaku, mungkin pesananku sudah selesai. Aku segera bangkit dan membayarnya.
Setelah aku kembali ke bangsal hanya ada Vika, Sedangkan Angga entah ada dimana. Aku menaruh tiga gelas kopi pesananku di atas meja. Dan mendudukkan diriku di kursi sebelah Vika. Kemudian tanganku meraih beberapa berkas catatan pasien yang dipegang oleh Dokter Raka.
“Thanks, Ra.” Aku hanya berdehem membalas ucapan terima kasihnya. “Eh tadi, Dokter Raka kesini.” Ucap Vika memberitahuku, lagi-lagi aku hanya berdehem. “Nanyain lo, katanya nanti lo nemenin dia visit.” Lanjut Vika lagi.
“Tadi ketemu di Kafetaria.” Kali ini aku membalasnya, walaupun pandanganku tetap mengarah pada deretan huruf di atas kertas putih itu.
“Oh–Ehh? Kok ketemu di Kafetaria?” mendengar Vika yang terkejut dengan perkataanku, membuat ku menoleh menatap heran gadis itu. “Tadi dia itu dari arah ruangannya, Ra.” Lanjut dengan sedikit penekanan.
Heh? N–nani?
“Mungkin dia habis dari sini, langsung ke Kafetaria. Kan searah.” Ucapku mencoba menenangkan diriku yang sudah waswas.
Vika menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Enggak kok, jelas-jelas gue liat Dokter Raka balik lagi ke ruangannya.”
“Ya, mungkin lo enggak liat pas dia pergi ke Kafetaria. Udah deh jangan bikin cerita ini jadi cerita horor.” Ucapku dengan kembali menekuni berkas-berkas pasien di hadapanku. “Nanti gue tanya sendiri orangnya.” Kataku lagi.
Hening beberapa saat di antara kami berdua, sampai akhirnya Angga datang. Begitu tiba, laki-laki itu segera mendudukkan dirinya di sebelahku. Dan tanpa izin menenggak minuman yang kubelikan tadi.
“Izin kek, makasih kek. Ini mah maen comot aja.” Cibirku saat melihat Angga tersenyum riang setelah menenggak minuman milikku hingga sisa sepertiga bagiannya.
“Hehe–Thank you, cantik.” Aku mendengus malas mendengar ucapannya. “Eh–Gue dapet kabar, katanya nanti ada kunjungan dari pemilik rumah sakit.”
“Oh, ya? Kata siapa lo?”
“Gue dikasih tau sama anak UGD tadi.”
“Gue penasaran sih, sama pemilik rumah sakit ini. Beliau kan kerjanya dibalik layar, enggak kaya kita-kita.” Aku menganggukkan kepalaku setuju dengan perkataan Vika.
“Emang kapan?” aku bertanya pada Angga si sumber informasi.
“Hari ini.”
“Hah?! Kok, lo enggak bilang sih! Kaca mana kaca.” Vika mulai ribut mencari benda yang dibutuhkannya itu.
“Ngapain lo pake dandan segala?” aku menatap jengah pada Vika yang sudah ribet minta ampun, seolah-olah ia akan bertemu orang penting.
“Harus dong. Gue denger-denger ya, pemilik rumah sakit ini punya anak cowok.”
“Terus?” aku menaikkan satu alisku menatap Vika.
“Ya, siapa tau dia mau sama gue.” Ucap Vika dengan dagu terangkat, merasa bangga dengan dirinya.
“Ngarep.”
“Halu.”
Sergahku dan Angga hampir bersamaan. Kami berdua hanya menggeleng-geleng kan kepala, merasa heran dengan sikap Vika. Memang ajaib betul sahabatku satu ini.
“Semua berawal dari mimpi, lama-lama juga terwujud.” Kini bocah itu berlagak seperti Mario Teguh.
•
»
•
Dan benar saja jam 5 tadi Dokter Raka menghampiriku ke bangsal untuk menemaninya visit. Tentunya aku sudah siap siaga, tanpa menunggu lama aku segera mengekorinya menuju kamar inap. Saat ini kami sedang berada di kamar kelas 3, hanya ada dua pasien yang dipegang oleh Dokter Raka di sana.
“Suster cantik.” Salah satunya anak perempuan ini, yang bernama Gina. Dia menatapku dengan matanya yang bulat dan berbinar menggemaskan.
“Kalo dokternya?” aku iseng saja sih awalnya.
“Dokter Raka juga ganteng. Kalian cocok kalo pacaran.” Dia berkata sambil cengengesan hingga menampil deretan giginya yang tersusun rapi.
“Terima kasih, Gina. Doakan saya bisa dapat suster cantiknya, ya.” Ucapan Dokter Raka diangguki cepat oleh Gina dengan semangat.
“Heh! Kamu tau dari mana pacar-pacaran. Masih kecil juga.” Ucapku sambil mencubit gemas hidung mungilnya. Sebenarnya hanya untuk mengalihkan pembicaraan saja, sih. Kan, malu kalau ketahuan salah tingkah.
“Dari kakak, kakakku tuh punya pacar cantik banget.” Oalah ajaran kakaknya toh. Pernah sih, aku sekali bertemu dengan kakaknya Gina ini. Ganteng memang, tapi gayanya ala-ala anak band gitu.
“Belajar dulu yang rajin, ya. Jangan mikirin pacar-pacaran dulu.” Aku memberikan nasihat pada bocah 11 tahun itu dengan lembut. Gina pun tanpa protes mengangguk menyetujui ucapanku.
“Bagaimana kondisi Gina, dok.” Ibunya Gina yang sejak tadi menyimak obrolan kami dengan senyuman itu, mulai bertanya perkembangan kesehatan putrinya pada Dokter Raka.
Dokter Raka melihat ulang catatan medis Gina. “Trombositnya sudah naik, tinggal kita tunggu hasil esok hari. Jika sudah stabil Gina sudah boleh pulang.” Ucap Dokter Raka menjelaskan hasil pemeriksaannya tadi juga dengan hasil laboratorium.
Ibu Gina mengangguk mengerti dengan penjelasan itu. Saat aku dan Dokter Raka akan melangkah pergi, tiba-tiba Gina memanggil kami berdua. “Suster, dokter.” Aku berbalik kembali mendekati Gina yang duduk di atas ranjangnya. “Kalo aku udah besar nanti, aku mau jadi seperti suster Aira. Cantik dan baik hati, selalu menolong orang.” Aku tersenyum mendengar tekad gadis itu.
“Ibu, Aira mau jadi perawat nanti besar.”
“Kenapa?”
“Agar Aira bisa merawat mereka yang sakit dan menyembuhkannya, seperti suster itu.”
Aku tersenyum mengingat ucapanku dulu pada ibu. Ketika aku harus dirawat di rumah sakit karena demam berdarah. Itulah awal-awal aku bercita-cita menjadi seorang perawat. Dan akhirnya aku mampu mewujudkannya sekarang.
“Kenapa mau jadi perawat? Kenapa enggak mau jadi dokter aja?” aku sedikit terkejut dengan suara Dokter Raka yang berdiri di sebelahku. Sejak kapan dia mulai mendekat? Kok, aku tidak tahu?
“Biar Dokter Raka yang jadi dokternya.” Ketiga orang dewasa di sana tertawa mendengar ucapan polos Gina. Dan setelah berpamitan aku segera keluar bersama Dokter Raka.
Kami berjalan di lorong rumah sakit yang jika sore hari begini sedikit ramai, karena banyak keluarga pasien yang berkunjung. Aku sedikit mempercepat langkahku agar dapat menyamai langkah panjang Dokter Raka. Setelah berjalan bersisian dengannya aku bingung memulai pertanyaanku dari mana. Ingin bertanya, tapi bingung. Tidak diutarakan, bikin dongkol.
“Ada apa, suster Aira?” heh! malah dia yang lebih dulu bertanya.
“Ee–itu, tadi dokter ke Kafetaria tidak?” tanyaku pada akhirnya. Lumayan ngeri kalau yang mengobrol denganku bukan dia.
“Iya, kan tadi kita ketemu di sana.” Aku bernafas lega mendengar jawabannya, hingga tanpa sadar tanganku ikut mengelus dada. “Kenapa memang? Kok tiba-tiba suster bertanya seperti itu.”
“Ah, bukan apa-apa.”
“Jangan-jangan suster takut, kalau yang suster temui itu bukan saya ya.” Kok dia tahu? Apa dia cenayang?
“Saya bukan cenayang, suster. Tapi terlihat jelas di wajah kamu.” Kok dia bisa tahu isi hati aku?
“Saya enggak tau isi hati suster, tapi raut wajah suster mudah dibaca. Ibaratnya seperti buku yang terbuka.” Heh? Memang sejelas itu, ya?
Belum sempat Dokter Raka mengeluarkan kata-kata ajaibnya, aku lebih dulu menyela. “Sudah dokter, saya tau apa yang mau dokter ucapkan.”
“Memang apa?”
“Dokter mau bilang ‘iya’ kan?”
Tiba-tiba dia tersenyum dan terkekeh sejenak menatapku. Benar kan? Aku menelengkan kepalaku ke kanan menatapnya. “Bukan, saya mau bilang ada rambut yang menghalangi matamu.” Dia berbicara dengan tangannya yang menyelipkan beberapa helai rambutku dibalik telinga.
“A-ah! terima kasih, dok.” Sialan, aku salah tingkah.
Dari arah kejauhan netraku menangkap keramaian yang berada di depan bangsal. Entah ada hal apa, aku dan Dokter Raka pun bergegas mendekat. Aku berdiri di sebelah Vika yang berdiri tegap tak tergoyahkan. Benar-benar tegang dan kaku. Aku sedikit mendekatkan bibirku pada telinga gadis itu. “Ada apa?” aku bertanya dengan suara pelan. Aku alihkan arah pandangnya mengikuti Vika, di sana ada sosok yang sangat familiar untukku.
“Tuan Abrar Sadewa.” Vika menjawab dengan tampang lempengnya. Aku hampir tertawa jika tidak mengingat kami sedang berada di keramaian.
“Pemilik rumah sakit ini.” Dokter Raka memperjelas perkataan Vika. Oh, aku baru mengetahui nama pria dewasa yang usianya aku perkirakan sebaya dengan ayah itu, yang tidak lain suami dari tante Elisa.
Jadi, dia pemilik rumah sakitnya?
Wah!
“Nah, mari saya perkenalkan ini Dokter Raka. Dia adalah dokter termuda di sini namun, kemampuannya tidak kalah hebat dengan dokter-dokter senior.” Ucap seorang wanita yang mengenakan setelan jas kantor, yang aku ketahui bernama Sofia.
“Oh! Ada Aira juga, ternyata. Bagaimana kabar kedua orang tuamu?” kok, beliau malah menyapaku? Kan yang dikenalkan Dokter Raka tadi, bukan aku.
Mataku berkeliling menatap reaksi orang-orang yang berada di sana. Pandangan mereka menusuk menatapku. Terlebih Vika, yang dapat aku pastikan gadis itu akan menyerangku dengan seribu satu pertanyaan selepas ini. Dokter Raka pun tidak kalah herannya denganku, yang dikenal atau bahkan terlihat akrab dengan pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja.
Aku tersenyum canggung menatap om Abrar yang berdiri di hadapanku. “Iya, om. Saya kerja di sini. Kabar ayah dan ibu, alhamdulillah baik.”
“Ah! aku baru ingat.” Aku menatap bingung om Abrar yang tiba-tiba berseru seperti itu. “Elisa selalu mencarimu, katanya dia merindukan anak gadisnya. Sekali-kali datanglah ke rumah, dia pasti senang jika kamu datang.”
Heh? Apa nih?!
“Insya Allah.”
“Tidak hanya Elisa, tapi cucuku juga merindukanmu. Dan mungkin saja dia juga mencarimu. ”
Rasanya aku benar-benar ingin tenggelam sedalam-dalamnya ke lautan, setelah menerima tatapan mengintimidasi yang dilayang kan oleh Vika. Ayolah, aku saja terkejut setengah mati. Tidak tahu menahu kenapa om Abrar sampai berkata seperti itu. Ibuuu, tolonggg Aira.
“Kalau begitu, saya permisi Aira. Salam untuk ibu dan ayahmu.” Akhirnya berakhir juga.
“Akan saya sampaikan, om.”
Aku menatap kepergian om Abrar dengan tatapan kosong. Dan tiba-tiba aku merasa merinding, sampai rasanya bulu kudukku berdiri semua. Aku berbalik sedikit melirik sosok yang berdiri di belakangku itu. Vika, gadis itu berdiri menatapku tajam dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. Dari tatapannya seolah aku sudah dapat mengerti artinya. “Lo utang penjelasan sama gue, Khumaira.”
Aku menelan air liurku dengan gugup. Tiba-tiba tenggorokan terasa begitu kering saat ini. Matilah kau, Aira.
•
»
•
Vika benar-benar tidak memberiku kesempatan untuk melarikan diri. Dia langsung menyeretku menuju lapak pecel lele langganan kami, selepas sholat maghrib tadi. Dan gadis itu didukung oleh Angga yang tidak kalah keponya dengan gadis itu.
“Lo bener-bener utang banyak sama gue, Ra.” Ucap gadis itu sembari tangannya menyeretku menuju tempat tujuan kami, yang memang tidak jauh dari rumah sakit.
Sesampainya di sana, kami bertiga langsung mencari tikar yang masih kosong untuk kami duduki. Sebenarnya, aku hanya mengekori Vika yang terus menarik lenganku. Sampai akhirnya dia lepaskan setelah mendapat tempat duduk. Ya, namanya pecel lele kaki lima jadi tempat makannya pun hanya sebatas tikar untuk duduk lesehan. Tapi, justru itu letak kenikmatannya. Benar kan? Lebih enak makan lesehan dengan tangan daripada, makan di kursi dengan sendok dan garpu. Kalau kata Vika, lebih sedap pakai tangan, lebih berasa.
“Jak.” Angga mengangkat tangannya memanggil Jaka. Anak dari pemilik warung pecel lele ini. Kami sudah dekat dengan Jaka sejak kami mulai berlangganan di sini.
“Cepet ceritain.” Kan, apa aku bilang. Vika pasti menagih penjelasanku.
“Gue bingung mau cerita dari mana. Lo tanya aja deh, nanti gue jawab.”
Vika mengurung niatnya yang akan membuka suara, saat Jaka mendekati tempat kami duduk. “Eh! ada, teh Aira. Kirain A’ Angga sendirian aja kayak biasa-biasanya.” Dia menatap Angga sekilas dengan senyuman.
“Keliatan jomblonya banget ya, Jak.” Aku mengikuti jejak Jaka untuk mengejek Angga. Hitung-hitung ngelemesin syaraf-syaraf yang tegang karena tatapan maut dari Vika.
“Mending kalo keliatan jomblonya. Lah ini udah jomblo, sadboy lagi.” Vika juga ikut-ikutan membully Angga.
“Gue diem loh, masih aja kena slepet.” Aku, Vika dan Jaka hanya tertawa mendengar ucapan Angga.
“Jadi mau pada pesan apa?”
“Ayamnya masih enggak, Jak?” aku bertanya lebih dulu, karena jujur saja aku tidak terlalu menyukai ikan.
“Pak, ayamnya masih?” Jaka berteriak bertanya pada bapaknya yang memang bertugas memasak. Yang dibalas oleh pria baruh baya itu dengan mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi.
“Ready, mbak.”
“Ya, udah. Ayamnya dua sama ikan gurame nya satu, terus minumnya biasa es jeruk.” Ucapku menyebutkan pesanan kami bertiga, yang memang menu itu yang selalu kami pesan.
“Mau nambah tempe-tahu enggak?” aku tidak menjawab tapi pandanganku menoleh pada Vika dan Angga, bertanya melalui tatapanku.
“Enggak deh itu aja, Jak.” Akhirnya Vika yang menjawab.
“Oke, ditunggu ya.” Jaka meninggalkan kami bertiga untuk menyiapkan pesanan kami. Aku terus berusaha mengalihkan pandanganku dari Vika, dia terus menatapku tajam.
“Kenapa lo bisa kenal sama pak Abrar?” Vika memulai tanya jawabnya.
“istrinya teman arisan ibu.”
“Cuma itu?”
“Keluarga gue sama keluarga tante Elisa pernah makan malam bareng sekali.”
“Kok bisa?”
Dan berikutnya mengalirlah ceritaku. Dari awal bertemu keluarga tante Elisa, berlanjut dimana aku bertemu wanita itu di butik ibu, sampai pada sesi makan malam waktu itu. Vika dan Angga hanya diam mendengarkan tanpa niatan untuk menyela. Kan kalau lagi cerita dipotong-potong enggak enak.
“Oalah, gue kirain.”
“Kirain apa?!” aku balik menatap tajam Vika yang beberapa detik lalu menatapku seperti itu.
Gadis itu malah cengengesan tidak jelas. “Gue kira lo simpanannya. Secara ya kan beliau orang terpandang, punya jabatan, uang banyak. Pasti godaannya wanita.”
Aku membenarkan ucapan Vika. Memang terkadang laki-laki suka lupa daratan saat sudah memiliki kekuasaan dan uang. Istilahnya harta, takhta, wanita. Memang cobaan dunia, saudara-saudara.
“Tapi, kalo untuk itu gue enggak percaya sih. Karna kalo gue liat-liat dari interaksi om Abrar sama tante Elisa tuh, lengket banget kek prangko. Kayak dua-duanya tuh sama-sama bucin, gitu.” Aku menyanggah perkataan Vika sesuai fakta yang kulihat saat bertemu kedua orang itu.
“Udahan ghibahnya. Mending sekarang kita makan.” Tiba-tiba suara berat Angga menyela di antara pembicaraanku dan Vika. Ketika Jaka sudah kembali datang dengan nampan berisi pesanan kami.
“Eh! Kita tuh enggak ghibah. Cuma berbagi pandangan dan berdiskusi.” Ucap Vika yang tidak terima.
Aku hanya tersenyum dengan kepala menggeleng pelan. Merasa lucu saat kedua teman ku itu bertengkar. Dan entah kenapa aku berdoa dalam hati, agar mereka dapat bersama. Semoga saja.
...~♥♥♥♥♥~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments