Teman ibu

POV AIRA

...~♥♥♥♥♥~...

Sinar mentari pagi memasuki sela-sela hordeng kamarku yang beterbangan terbawa angin, mungkin semalam aku lepa menutup pintu balkon. Aku menggeliat dalam tidurku dan segera bangkit mendudukkan diriku yang masih setengah mengantuk. Hari ini aku tidak ada shift kerja setelah sebelumnya mendapat giliran jaga malam. Jadi aku sedikit malas untuk bangun di pagi hari seperti ini.

Aku mendengar langkah kaki mendekati kamarku dan kemudian berganti dengan suara ketukan pintu. “Aira, bangun sayang.” Ucap seseorang dibalik pintu, yang aku yakini adalah ibu.

“Iya, bu. Sebentar lagi.”

“Jangan lama-lama, ayahmu udah nungguin di meja makan.” Setelah mengatakannya, sepertinya ibu berjalan meninggalkan kamarku yang masih tertutup rapat. Terbukti dari suara langkah kakinya yang kian menjauh dan menghilang.

Setelah selesai mengumpulkan nyawaku yang berhamburan. Aku mencepol asal rambut panjangku, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan menggosok gigi. Kemudian melangkah keluar kamar dan menuruni anak tangga untuk menemui kedua orang tuaku.

“Pagi ayah, ibu.” Sapaku sembari mengecup singkat pipi keduanya.

“Pagi, sayang.”

“Pagi.”

Aku mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan ibu. Lalu, aku menyendok satu centong nasi goreng udang buatan ibu. Jujur saja, aku belum terlalu mahir memasak. Tapi, sedikitnya pahamlah tentang bumbu-bumbu dapur. Aku lebih suka memasak hal-hal yang simple, seperti indomie seleraku. Kok, jadi iklan?

“Enggak masuk kerja, Ra?” ayah bertanya kepadaku setelah melipat rapi koran paginya.

“Enggak. Masih libur, yah. Kan habis dapet shift malem.”

“Oh, ya udah. Nanti tolong temani ibumu ke butik. Katanya salah satu karyawannya sedang libur.”

“Siapa, bu?” aku beralih bertanya kepada ibu yang selesai menyiapkan piring untuk ayah.

“Itu mbak Intan, lahiran anak kedua.” Jawab ibu santai.

“Wihh, Ziko udah punya adek aja. Aira kapan ya, bu?” ucap ku sedikit menggoda ibu.

“Ngawur, ibu udah tua begini kok disuruh ngasih adik. Ya, kamu yang seharusnya ngasih cucu ke ayah sama ibu.”

Aku mendadak diam dengan mulut terkunci rapat. “Salah ngomong, nih” aku memelas dalam batin.

“Aku masih muda loh, bu. Baru juga umur 24 tahun.” Aku mencebik kesal.

“Itu terus jawabannya. Temen kamu aja yang satu SMA dulu, dia udah punya anak dua. Lah, kamu masih jomblo aja.”

“Si Ainun kan lahiran kembar, bu. Kalo dapetnya satu ya, anaknya masih satu.”

“Ngeles mulu kerjaan kamu, Ra. Intinya dia udah lebih unggul dari kamu.”

“Dikira lomba kali unggul. Ini anak loh, bukan piala.”

“Udah, bu. Mungkin, Aira belum nemu yang cocok aja.” Aku tersenyum bangga pada ayah, yang selalu mengerti perasaanku. Tapi, senyum itu seketika luntur setelah mendengar kelanjutan perkataannya. “Dulu, waktu dia bawa mantan pacarnya kesini. Ibu malah enggak ngerestuin.”

“Ngapain pake dibahas lagi sih, yah.” Batinku sudah meronta-ronta.

“Ya, mana mau ibu punya mantu begajulan begitu.” Aku meringis ngeri mengingat emosi ibu saat bertemu mantanku itu. Memang benar, dia anak badboy yang urakan dan suka tawuran. Aku juga bingung kenapa dulu sempat menyukai laki-laki seperti itu. Tapi, ya namanya masa remaja. Kalian pasti satu pemikiran denganku, bukan?

“Udah, bu. Mending ibu banyak-banyak berdoa, supaya anak ibu yang cantik ini cepet keliatan hilal jodohnya.” Ucapku sambil merapikan alat makan yang aku gunakan. Kemudian bangkit dari kursi untuk membawanya ke dapur. “Aku mau mandi dulu, siap-siap nemenin ibu negara.” Pamitku kepada keduanya dan berlalu menaiki anak tangga.

Di dalam kamar, aku tidak langsung membersihkan diri dikamar mandi. Tapi, aku memilih untuk menjatuhkan tubuhku di atas kasur dan meraih ponselku yang tergeletak di atas nakas. Berselancar sebentar di media sosial, lalu membuka beberapa notifikasi yang masuk di sana. Salah satunya dari Ara, teman SMA ku yang kini menjadi sekretaris CEO.

 

...Kin...

Lo libur ya hari ini?

Gue lagi di rumah sakit, nih.

^^^Iya^^^

^^^Ngapain lo?^^^

Nganterin berkas ke si boss.

Btw, lo tau enggak Suter tercantik di rumah sakit?

^^^Gue(≧∇≦)/^^^

Sialan, gue serius.

^^^Kagak tau.^^^

^^^Kenapa emang?^^^

Itu anak si boss, kayaknya

kesemsem sama itu suster.

^^^Ah elah gue kirain apaan.^^^

^^^Udah biarin aja, nanti juga^^^

lupa namanya bocah.

 

Tanpa menunggu lagi balasan dari Ara, aku segera meraih bathrobe kemudian memasuki kamar mandi. Aku berniat untuk berendam beberapa menit. Toh ibu belum gembar-gembor memanggilku, jadi aku masih memiliki banyak waktu. Sksk

Tapi ternyata perkiraanku salah. Tidak berselang 5 menit setelah aku berendam dalam bathtub, ibu sudah menggedor pintu kamarku dan terus meneriaki namaku. Aku bergegas menyelesaikan acara mandiku. Kemudian segera mengenakan pakaian dan berdandan sedikit. Walau pun kenyataannya tanpa make up pun wajahku tetap glowing, shimmering, splendent. Enggak ding, bercanda.

Aku menuruni tangga dengan menenteng flat shoes yang akan kugunakan nanti. Lalu, meluncur untuk menemui ibunda ratu, yang aku yakini sudah siap menyemprotku dengan jurus ceramahnya. Aku memilih untuk mengenakan celana jeans hitam dengan atasan baju model sabrina.

Dan seperti dugaanku, ibu sudah menungguku sembari berkacak pinggang. Dan matanya yang mendelik tajam menembus bola mataku. Aku hanya meringis dan cengengesan melihat ibu.

“Ngapain aja kamu? Lama banget, bertelor?”

“Udah, bu. Marah nya nanti aja, udah telat ini.” Ucapku menghentikan sesi tanya jawab yang apabila aku ladeni, tujuh hari tujuh malam pun tidak akan selesai.

“Kan, kamu yang lelet.”

“Iya-iya, Aira yang lelet. Makanya, ayo buruan berangkat.” Kali ini ibu menurut tanpa mengomel lagi. Hari ini aku bertugas menjadi sopir untuk ibu. Setelah ibu memasang seatbelt nya dengan benar, aku segera menaikkan rem tangan dan menginjak pedal gas. Membawa mobil kami keluar dari pekarangan rumah.

»

Hufft

Entah sudah ke berapa kalinya aku menghela napas. Sejak aku menginjak kan kaki di butik ibu. Benar-benar membosankan, mana cuma duduk-duduk doang, menjaga kasir. Karena, hanya itu yang bisa kulakukan untuk membantu ibu. Jangankan menggambar desain gaun, nama-nama bahan saja aku tidak tahu. Terlebih gambarku selalu jelek sedari sekolah dasar.

“Permisi, nyonya Airin nya ada?”

“Ada, sebentar saya panggilkan.” Aku meletakkan ponsel yang sejak tadi kupegang, lalu bangkit sambil sedikit mengangkat wajahku untuk menatap sang tamu. Kemudian berniat memanggil ibu di dalam ruangannya. Namun–

Loh?

“Suster Aira?” sepertinya wanita di hadapanku sama terkejutnya dengan diriku. Terlihat dari mata nya yang membulat dengan jari telunjuk yang mengarah padaku. Namun, tidak berselang lama hanya beberapa detik lalu ekspresi itu berubah menjadi sebuah senyuman.

“Tante Elisa.” Panggilku kepada wanita yang berdiri di hadapanku yang terhalang oleh meja kasir, yang membatasi jarak di antara kami.

“Kamu kerja di sini juga?”

“Enggak, tan. Ini butik punya ibu.”

“Oh, jadi kamu anaknya Airin.”

Heh? Kok tante Elisa kenal sama ibu? Mungkin pelanggan tetap ibu kali, ya? “Iya, tante. Sebentar ya, saya panggilin ibu dulu.” Baru aku akan berbalik dan melangkah menemui ibu. Tapi, orangnya sudah ada di belakangku dengan bola matanya yang berbinar, di ikuti sudut bibirnya yang terangkat dengan sempurna.

“Ya, ampun. Udah nyampe aja kamu, El.” Ibu berjalan melewatiku dan langsung memeluk tante Elisa. Ditambah dengan cipika-cipiki ala mommy-mommy sosialita.

“Heehh? Apa gue doang, yang enggak tau emak gue punya temen?”

“Kebetulan tadi lagi di dekat sini, jadi cepet nyampe nya.” Kalo dilihat-lihat sih, memang umur mereka tidak beda jauh. Tapi, kok rasanya kayak bumi kecil banget ya.

Ibu menganggukkan kepalanya paham. “Oh, ya–ini kenalin anak perawanku, namanya Aira.” Ibu menarikku agar berdiri bersisian dengannya.

“Ya, enggak usah pake penekanan juga.” Batinku kesal.

“Udah kenal, kok.” Tante Elisa menarik sudut bibirnya, tersenyum lembut padaku. Sedangkan aku hanya bisa cengengesan tidak jelas. “Cantik anak kamu, Rin.”

“Makasih tante.” Ucapku malu-malu.

“Halah, percuma cantik kalo enggak laku-laku.”

Astaughfirullah. Ini ibu, kayaknya punya dendam kesumat sama aku deh. Paringi sabar ya gusti. Aku mengelus dada dramatis setelah mendengar perkataan ibu.

“Belum ketemu jodohnya aja.” Ah tante Elisa, aku meleleh ini.

“Kamu ada keperluan apa kesini?” ibu bertanya hal lain dan melupakan pembahasan mengenai kejombloanku.

“Biasa, mau ngambil pesanan jas mas Abra sama Elhan.” Tante Elisa mendudukkan dirinya di sofa empuk di depan ruang ganti. Bertepatan dengan aku yang akan meletakkan jamuan pada tamu kami ini.

“Maaf, tante. Adanya cuma air putih. Soalnya ibu bossnya belom nyediain coffeshop.” Ucapku sedikit menjaili ibu.

“Kamu kira ini mall apa?” Sungut ibu yang baru saja keluar dari dalam dengan membawa dua jas yang masih terbungkus rapi.

Ibu meletakkannya di atas meja kasir, setelahnya ikut bergabung dengan tante Elisa. Sedangkan aku memilih menyingkir di kursi kasir dan memainkan kembali ponsel milikku yang sempat aku campakkan. Dua wanita paruh baya itu asyik berceloteh membahas banyak hal, mulai dari fashion, make up, perabotan rumah tangga, sampai pada finalnya.

“gimana anak kamu, El? Udah punya calon?” hm, aku mencium bau-bau tidak sedap ini.

“Belum, dia masih monoton aja. Sibuk kerja dan ngurusin anaknya.” Oh duda. Eh! Kok, gue nyimak?

“Kenalin lah sama Aira. Aku sebenernya takut dia jadi perawan tua, kalo kelamaan jomblo.” Nah kan, apa aku bilang. Memang ibu tuh enggak pernah berniat menjunjung tinggi anaknya. Selalu dijatuhkan sejatuh-jatuhnya ke dasar palung Mariana.

Eh, sebentar. Anak tante Elisa, punya anak satu, duda. Apa iya? yang dimaksud itu, pria menyebalkan yang ada di rumah sakit waktu itu? Tapi, mungkin saja tante Elisa punya dua anak. Lagi pula dia tidak terlihat mirip dengan anak laki-laki itu. Mungkin saja yang dimaksud itu, anak tante Elisa yang lain. Dan pria waktu itu, adalah adik atau kakak dari ayahnya Leon.

“Gimana kalo nanti malam kita adain makan malam bareng?” saran tante Elisa.

“Boleh, Aira juga lagi enggak kerja.” Balas ibu menyetujui saran tante Elisa dengan kegembiraan yang terpancar hebat di wajahnya.

“Bu, besok kan aku masuk pagi.” Ucapku sedikit memelas, siapa tahu kali ini berhasil. Walau pun aku sedikit ragu, ibu akan luluh oleh bujuk rayuku.

“Makan malam kan, enggak bakal sampe tengah malem, Ra. Paling jam 9 atau 10 juga udah pulang.” Kan, apa aku bilang?

Aku hanya terdiam tidak lagi menjawab perkataan ibu. Karena, keputusan ibu sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Apa mau dikata, ya kan? Lagi pula ini cuma acara makan malam biasa, hanya sebatas silaturahmi. Enggak papa Aira, tenang aja lo masih punya peluang nikah sama mas SongKang. Semangat.

»

Dan disinilah aku sekarang, di parkiran salah satu restoran bintang lima di ibukota. Aku melangkah dengan perlahan, sedangkan ayah dan ibu sudah lebih dulu berjalan di hadapanku. Kedua orang tuaku itu menemui seorang pelayan lebih dulu, sebelum akhirnya dibawa ke salah satu meja yang sudah di booking oleh tante Elisa.

Sepertinya ibu terlalu bersemangat, sampai kami datang lebih dulu sebelum orang yang mengundang datang. Tidak berselang lama, keluarga tante Elisa akhirnya datang. Namun, hanya mereka berempat. Tante Elisa, Leon, dan dua pria dewasa. Dan yang terlihat seumuran dengan ayah, yang kuyakini dia adalah suami dari tante Elisa. Yang satunya lagi, tentu si pria menyebalkan itu.

Lalu, aku celingak-celinguk mencari seseorang yang mungkin akan menyusul di belakang mereka namun, nihil. “Tante, anak tante yang satu lagi mana?” tanyaku pada akhirnya.

“Loh?” kulihat tante Elisa terkekeh pelan. “Ini anak tante.” Ucap tante Elisa sembari tangannya menepuk bahu pria itu.

“Eh? Bapaknya Leon?”

“Ini daddy nya Leon, cuctel.” Aku menunduk menatap Leon yang berdiri di sebelah pria itu, dengan tangan yang berpegangan pada celana bahan daddy nya. “Ganteng kan?” bocah itu menampilkan gigi susunya yang baru tumbuh beberapa.

“J-jadi dia yang tante maksud?”

“Iya.”

Wah, rasanya aku ingin cepat-cepat menghilang dari muka bumi ini. Atau sekedar bumi terbelah dua dan menelanku hidup-hidup. Aku benar-benar ingin menghilang dari hadapan mereka semua. Selain karena malu dengan pertanyaanku sendiri, aku juga malu dengan ekspetasi dan pikiranku tentang anak tante Elisa yang lain.

“Ayo silakan duduk, kita mulai saja makan malamnya.” Ucap tante Elisa mempersilahkan kami untuk duduk kembali.

“Iya, oma Leon udah lapel.” Perkataan Leon membuat semua orang dewasa disana tertawa lirih, kecuali aku dan pria itu.

Aku masih diam, sibuk dengan pikiranku. Sampai ketika ibu menanyakan makanan apa yang ingin ku pesan, aku masih tetap diam. Dan berakhir ibu yang memesankan makanan untukku. Sembari menunggu pesanan kami datang, aku mendengar ibu dan ayah sibuk berbincang-bincang dengan tante Elisa dan suaminya.

“Ra, itu ditanyain tante Elisa.” Ibu menyenggol tanganku yang berada pada sandaran tangan di kursi.

“Hah? Eh? Ada apa tante?” tanyaku gelagapan.

Tante Elisa tersenyum lembut ke arahku, sebelum berkata. “Gimana dengan pekerjaan kamu?” beliau mengulangi pertanyaannya yang sebelumnya tidak aku dengar.

“Oh. Itu menyenangkan sih, tan. Apalagi ketika melihat anak-anak yang tersenyum gembira, saat kembali pulang ke rumah mereka dalam keadaan sehat. Seperti kebahagiaan dan rasa syukur yang mereka rasakan, aku turut merasakannya.” Ucapku dengan sudut bibir terangkat, mengingat momen-momen di rumah sakit.

“Kamu suka anak kecil ya, Ra? Terus kamu enggak ada capek gitu.” Di meja makan itu hanya aku dan tante Elisa yang berbicara. Bahkan ibu pun lebih memilih untuk menyimak seperti yang lainnya. Sementara Leon, bocah itu sibuk dengan game di ponselnya.

“Suka tante, soalnya aku juga enggak punya adik. Enggak ada yang bisa di jail–aduh!” Aku mengaduh kesakitan kala ibu melancarkan serangannya pada lenganku. “Kalo dibilang capek. Ya pasti, tan. Namanya juga kerja, tapi kalo inget pekerjaan yang aku kerjakan untuk menyelamatkan hidup orang lain. Rasanya capek itu hilang begitu aja.” Aku tidak berbohong atau melebih-lebihkan, karena memang itu yang aku rasakan.

“Ada niatan menikah, Ra?” tante Elisa kembali bertanya.

Entah kenapa, aku lebih dulu melirik pada pria dewasa yang berada di hadapanku—sebelum aku menjawab pertanyaan dari tante Elisa—yang ternyata juga sedang menatap diriku. Membuat kami terlibat saling menatap satu salam lain dalam beberapa detik. “Ada sih, tan. Tapi, calonnya yang belum ada. Lagi pula aku masih pengin berkarier dan mengabdikan hidupku.” Ucapku pada akhirnya.

“Loh? Kan setelah menikah juga tetap bisa bekerja.” Suami tante Elisa ikut bertanya setelah mendengar jawabanku atas pertanyaan istrinya.

Aku membenarkan posisi dudukku, menegakkan tubuh saat dirasa obrolan kami mulai serius. “Iya, om. Tapi, saya sudah berkomitmen untuk berhenti bekerja setelah menikah. Karena, saya ingin menjaga dan mengurus keluarga saya dengan baik. Memantau dan mengetahui setiap tumbuh kembang anak saya nanti. Dan saya tidak bisa menyerahkan itu semua kepada baby sitter atau asisten rumah tangga.” Aku bernafas lega setelah menyelesaikan perkataanku. Rasanya seperti sedang ada di ruang sidang dulu.

“Jawaban yang cerdas.” Aku cukup tersanjung dengan pujian suami tante Elisa. Dan kulihat para orang tua di sana tersenyum menatap diriku.

“Leon enggak tau yang cuctel omongin tapi, cuctel kelen.” Ucap Leon dengan mengacungkan ibu jarinya di depan wajahnya sambil tersenyum riang menatapku.

“Thanks, boy.” Balasku yang semakin membuat senyumnya kian mengembang.

Kami menghentikan perbincangan sesaat, setelah pesanan kami datang. Leon yang terlihat paling semangat untuk menyantap makan malamnya. Dan disela-sela makanku, aku merasa seperti diperhatikan oleh sepasang mata dengan intens. Jangan bilang restoran ini berhantu. Enggak mungkin, kalo benar yang ada cerita ini berubah jadi genre horor.

Aku sedikit bersandar pada kursi, kemudian meminum air putih milikku untuk menenangkan diriku. Dan tanpa disengaja mataku menangkap sepasang mata yang terus menatapku dengan tajam. Karena saking terkejutnya, aku sampai menyembur semua air yang berada di dalam rongga mulutku.

Byurrr

Tapi, bukan pria itu yang terkena semburanku. Melainkan Leon yang sedang menyambut suapan dari omanya. Kedua bola mataku membola tanpa sadar. Tangan kananku refleks menutup mulutku yang terbuka lebar. “Sorry.” Gumamku pelan.

“Cuctel, Leon udah mandi. Kenapa disilam ail lagi.” Leon terlihat kesal dengan pakaiannya yang basah.

Aku bangkit dan mendekati kursi yang diduduki oleh Leon. “Aduh–tante minta maaf, ya.” Ucapku dengan tangan yang sibuk mengelap kemeja Leon dan rambut nya yang basah.

“Di mobil ada pakaian ganti milik Leon. Kamu bisa mengambilnya, kan?” tanya tante Elisa, aku hanya memberikan anggukkan kepala sebagai jawaban. Aku langsung menggendong Leon dan berniat membawa bocah itu untuk mengganti pakaiannya.

“Anda ingin membuka pintu mobil tanpa kunci?” Tanya seseorang di belakangku dengan nada bicara yang terdengar sangat menyebalkan di telingaku.

“Kalo begitu, boleh saya minta kunci mobilnya?” tanyaku pada sosok menyebalkan itu. Tanganku menengadah di hadapannya.

“Biar saya saja. Takut-takut mobil dan anak saya akan anda bawa kabur.” Seketika rahangku jatuh setelah mendengar perkataannya, menatap tidak percaya pada orang itu. Bahkan dia berjalan lebih dulu, membuatku harus mengekorinya di belakang dengan anaknya dalam gendonganku.

“Benar-benar laki-laki yang menyebalkan. Aku berdoa, semoga yang menjadi jodohnya bisa tahan dengan sifat menyebalkannya itu.”  batinku kesal.

...~♥♥♥♥♥~...

Terpopuler

Comments

Nurhartiningsih

Nurhartiningsih

cerita yg bagus....semoga bagus sampai end

2023-09-16

0

Claaudyy Claa

Claaudyy Claa

guddd joobb:>

2023-07-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!