MY LOVELY GIRL

MY LOVELY GIRL

Sebuah pertemuan

POV : AIRA

...~♥♥♥♥♥~...

Kuregangkan otot-otot tubuhku yang terasa pegal setelah seharian diajak bekerja. Untungnya malam ini bangsal sedikit tenang. Oh ya! Sebelumnya perkenalkan, aku Mesha Khumaira Sharma atau biasa dipanggil Aira. Nothing special about me, hanya seorang gadis berusia 24 tahun, yang mengabdikan dirinya kepada negara sebagai salah satu tenaga medis. Ya, aku bekerja sebagai seorang perawat di bangsal anak.

Jika berbicara tentang pekerjaanku. Aku bekerja dalam memantau keadaan pasien, terlibat juga dalam perencanaan perawatan pasien, hingga memberikan edukasi tentang manajemen penyakit. Walaupun terkadang melelahkan, tapi aku cukup menikmati semua itu. Terlebih saat melihat anak-anak yang kembali ke rumah mereka dengan tubuh sehat dan senyum di wajah mereka, itu membuatku sangat bahagia. Dan karena pada dasarnya aku menyukai anak kecil, sehingga aku memilih ditempatkan di bangsal anak.

Oke, kembali pada situasi saat ini. Kini aku sedang mengistirahatkan tubuhku setelah melakukan visit dengan Dokter Raka, dokter idola di rumah sakit ini. Hari ini, aku mendapat shift malam dan untungnya aku mendapat giliran jaga bersama salah satu teman dekatku.

“Udah selesai visitnya, Ra?”

Panjang umur. Itu salah satu teman karibku, Vika namanya. Gadis berhijab yang sudah menjadi teman seperjuangan ku sejak masa SMA. Aku menoleh menatap Vika yang baru saja datang. Sepertinya dia baru saja dari kafetaria, dilihat dari dua gelas kopi yang dibawanya. Dia tidak sendirian ada Angga yang mengikutinya. Sebenarnya ada rumor yang menyebar luas di seluruh penjuru rumah sakit. Rumor yang mengatakan bahwa laki-laki itu menyukaiku. Tapi, entah benar atau tidaknya rumor itu aku tidak tahu. Karena, di antara aku dan Angga tidak pernah membahasnya dan tidak peduli juga dengan gosip-gosip itu.

“Iya, baru aja. Kalian dari kafetaria, ya? Kok, enggak ngajak-ngajak gue?” Memang jika dengan mereka, aku selalu berbicara dengan lebih santai. Berbeda jika dengan rekan-rekan perawat yang lain.

“Kita enggak ngajak lo, karena lo lagi visit. Kelamaan. Enggak ikut juga, lo tetep dapet bagian nih,” ucap Vika sembari memberikan segelas kopi kepadaku, lalu dia mendudukkan dirinya di kursi sebelah kananku. Sedangkan Angga duduk di kursi sebelah kiri.

“Ah, my bestie. Tau aja gue lagi ngantuk-ngantuknya. Thanks ya,” ucapku berterima kasih, lalu segera aku sambar gelas kopi itu dengan gembira. Siapa sih, yang enggak suka traktiran. Ya, kan?

“Dokter Raka mana, Ra?” tanya Angga sembari memberikan sandwich ke arahku.

Aku menerimanya dengan suka cita dan tidak lupa berterima kasih, “Ya, di ruangannyalah.”

“Tumben. Biasanya nongkrong dulu di sini,” ucap Vika.

“Ngapain? Dari pada nongkrong di sini mending di ruangan dia, lebih enak,” balasku agak bodo amat sebenarnya.

“Ya, ngapain lagi? Kalo enggak PDKT sama lo.”

“Enggak usah ngarang deh, Vik.”

Vika memutar kursinya agar menghadap kepadaku. “Gue serius, ya. Kapan sih, gue bercanda sama lo?” Gadis itu terlihat tak main-main dengan ucapannya, tapi aku menolak untuk percaya.

Bukan. Jika kalian berpikir karena aku tidak percaya dengan Vika, kalian salah. Aku lebih tidak percaya dengan diriku sendiri. Bagaimana tidak, dokter Raka tuh ganteng, dia bisa dapat wanita cantik di luar sana. Kalau ibu sering bilang mah, tinggal tunjuk saja dapat. Mana mungkin dia menyukaiku yang seonggok remahan gorengan.

“Kalo Aira enggak mau sama Dokter Raka. Gimana kalo sama gue aja? Lagi dikejar deadline sama mama, nih.” Tiba-tiba Angga berbicara, menyahuti pembicaraan kami.

Aku menatap laki-laki itu tak percaya. Jika benar ini sebuah lamaran, sangat-sangat tidak romantis. Bayangkan saja, di bangsal dengan segelas kopi dan sepotong sandwich. Ditambah ada makhluk lain di antara kami berdua. Maksudku, Vika. “Lo bisa aja bercandanya.” Aku menggeplak punggung Angga dan tertawa berusaha menghindari kecanggungan di antara kami.

Angga tidak menanggapi, hanya bergeming di tempatnya. Namun, sekilas aku melihat air mukanya yang berubah sendu setelahnya.

“Deadline? Emang lo umur berapa?” Aku berterima kasih pada Vika yang memilih membahas Angga dibandingkan aku.

“28, tahun ini.”

“Pantes, sih. Udah hampir bangkotan soalnya.” ucap Vika sarkas seperti biasanya. Yang segera kuhadiahi sikutan di lengannya, membuatnya mengaduh kesakitan.

Lalu, aku mendengar tawa kecil dari Angga. “Bener yang dibilang sama Vika, Ra. Makanya, sekarang mama lagi hype-hype nya jodohin gue sama anak temen-temennya.”

“Gue doain jodoh lo cepet keliatan hilalnya, ya.” Aku menepuk-nepuk bahu Angga. Menguatkan laki-laki itu yang sedang dikejar setoran. Setoran cucu sksk.

Di saat waktu sudah hampir mendekati tengah malam, ditambah hawa sejuk angin malam yang menemani kesunyian di antara kami bertiga. Tiba-tiba ada laporan jika ada pasien baru yang akan mengisi kamar VVIP. Dan setelah perawat yang berjaga di UGD mengisi administrasi kamar. Kemudian disusul dengan OB yang membersihkan dan mempersiapkan kamar yang akan digunakan.

Tidak berselang lama dari itu. Perawat UGD yang sebelumnya mengisi administrasi datang bersama beberapa perawat lain, mereka mendorong brankar yang membawa pasien untuk kami pindahkan ke kamar inap. Dan dapat kulihat ada seorang anak laki-laki yang terbaring lemah di atasnya. Di belakang mereka ada dua pria dewasa dengan setelan jas mahal yang dikenakannya, dan seorang wanita paruh baya yang tidak henti-henti meneteskan air mata. Dengan salah satu di antara pria dewasa itu, merangkul sang wanita dan membimbingnya untuk berjalan dengan baik.

Tanpa berkata-kata, aku meraih sebotol air mineral yang memang disediakan disana untuk para perawat. Kemudian aku menepuk pelan bahu Vika, yang langsung membuat gadis itu menatapku. “Gue samperin ibu-ibu itu dulu, lo tolong urus yang lain,” ucapku pada Vika. Aku memutuskan untuk ikut menenangkan wanita tadi.

“Oke, serahin ke gue sama Angga.”

Setelah mendengar perkataan Vika, aku segera melangkah menuju kamar si pasien baru itu. “Permisi,” sapaku pada beberapa orang di ruangan itu. Mungkin karena mereka sedang sibuk dengan anak laki-laki itu, sehingga tidak ada yang mendengar ucapanku.

Aku memilih untuk mendekati seorang wanita yang terduduk seorang diri di sofa ruangan. Terlihat raut kelelahan di wajahnya namun, kekhawatiran lebih mendominasi. Aku menduduki sofa yang sama dengan wanita itu. Kemudian menyodorkan botol air mineral yang kubawa tadi, “Tante, silakan diminum dulu,” ucapku yang membuat atensinya beralih kepadaku.

“Terima kasih, sus.”

“Mari saya bukakan.” Aku membantunya membuka tutup botol, lalu memberikannya kembali kepada wanita itu. “Adiknya enggak papa, insya Allah cepat sembuh. Tante tenang aja ya, saya akan menjaga adiknya dengan baik,” kataku mencoba menenangkannya dan sepertinya berhasil, terlihat dari senyumnya yang mengembang di wajah cantiknya.

“Iya, saya percaya suster. Kalau boleh tau nama suster siapa?” tanyanya kemudian, mungkin beliau tidak menyadari name tag di seragamku. Tapi tak apa, aku akan memperkenalkan diri.

“Nama saya, Khumaira panggil saja Aira.” Aku memperkenalkan diri dengan singkat. Tidak lupa dengan senyuman sebagai sopan santun.

“Suster Aira. Namanya cantik seperti suster,” ucapnya memujiku. Ah, kan jadi malu.

“Terima kasih, tante. Tante juga masih terlihat cantik dan awet muda,” balasku sedikit malu-mali.

“Ah, nak Aira bisa aja. Tante itu sudah tua dan keriput begini.”

“Beneran, tante. Tante itu masih kelihatan cantik, saya tidak bohong.”

Ketika aku sedang asik bercengkerama dengan wanita itu, yang aku ketahui bernama Elisa. Tiba-tiba salah satu seorang pria berjaz itu menghampiri kami. Wajah nya terlihat tampan ralat, sangat tampan. Tapi, wajah itu kaku tanpa ekspresi apa pun di sana. Seperti dia sama sekali tidak memiliki emosi yang dapat digambarkan.

“Mommy,” ucapnya, mungkin memanggil tante Elisa. Oh, Tuhan! Mendengar suaranya saja, sudah membuatku jatuh. Ck, lemah banget nih hati.

“Yes, son?”

“Pulanglah dulu dengan daddy, aku yang akan menjaga Leon.” Perintahnya langsung tanpa ingin membuang-buang tenaga untuk menjelaskan hal lain.

“Apakah Leon sudah baik-baik saja?” Saat kulihat dirinya mulai gelisah lagi. Tanganku menyentuh punggungnya pelan dan tanganku yang lain menggenggam erat tangan wanita itu.

“Leon akan baik-baik saja, tante. Aku akan menjaminnya, dia akan menyambut anda dengan senyumannya. Dan sebaiknya tante juga beristirahat untuk menjaga kesehatan anda. Atau Leon akan sedih jika ketika dia sadar nanti, neneknya jatuh sakit karena mengkhawatirkannya,” ucapku dengan senyum mengembang di wajahku.

“Kau benar, Aira. Aku akan pulang dan datang lagi di pagi hari. Terima kasih sudah mau menjaga cucuku dan menjamin kesehatannya. Terima kasih sekali lagi.” Setelah mengatakannya beliau membawaku ke dalam pelukan hangatnya. Benar-benar nyaman seperti ketika aku berada dipelukan ibu.

“Tidak perlu sungkan, itu sudah kewajiban saya”

Setelah berpamitan dengan cucu kesayangannya, tante Elisa berjalan meninggalkan ruangan Leon. Ditemani oleh sang suami yang senantiasa menemaninya. Aku melihat cerminan ibu dan ayah pada kedua orang tua itu. Harmonis dan penuh kasih sayang. Aku tersenyum tanpa sadar saat menatap keduanya. Hingga punggung mereka menghilang dibalik pintu.

»

Setelah kepergian tante Elisa dan suaminya. Kini di dalam ruangan tersisa diriku, bocah laki-laki bernama Leon dan seorang pria yang tidak pernah melepas pandangannya dari bocah itu. Hanya keheningan yang mengisi di antara kami bertiga. Aku pun tidak berani memulai pembicaraan dengan pria itu. Entah bagaimana, tapi auranya terlalu dingin dan tidak tersentuh. Seolah, menguarkan peringatan untuk tidak mendekatinya.

Apakah dia daddy nya Leon? Masa sih? Usianya terlihat tidak berbeda jauh dengan Angga atau pun Dokter Raka. Jika memang dia daddy nya, lalu dimana mommy nya? Kenapa hanya ada dia seorang, tanpa ada seorang wanita cantik dengan pakaian fashionable dan bermerek.

Batinku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Leon. Dan setelah pergolakan batin yang sengit, akhirnya kuputuskan untuk mendekat pada brankar Leon. Bocah laki-laki itu masih senantiasa menutup matanya, seolah mimpinya lebih indah dari dunia nyata.

“Eum. Maaf, pak. Kalo boleh tau Leon sakit apa?” tanyaku berusaha sesopan mungkin.

Pria itu menoleh menatap ke arahku. Matanya menatap tajam menembus bola mataku. Aku terpaku dengan sorot matanya. Ditambah pahatan wajah yang sempurna membuatku salah fokus. “Bukankah seharusnya anda sudah tau,” ucapnya dengan suara tegas. Tidak ada senyuman di wajah, benar-benar poker face.

“Ah. Itu, tadi saya terlalu fokus menenangkan ibu anda. Sehingga saya lupa memeriksa administrasi pasien.” Aku tertunduk malu atas keteledoranku, atau mungkin tidak. Karena, aku sudah menyerahkannya kepada Vika dan Angga tadi.

“Jika anda lalai seperti ini. Bagaimana anda akan memenuhi janji anda sendiri kepada mommy saya?”

“Hah?”

“Janji menjamin dan menjaga kesehatan Leon.”

Aku semakin tertunduk lebih dalam. Merasa terlalu berlebihan membuat janji seperti itu. Bahkan itu bukan kapasitasku. “Maaf, saya tau tindakan saya salah dan tidak profesional. Tapi pada saat itu fokus saya menenangkan ibu anda yang gelisah dengan kondisi cucunya. Jadi saya permisi, selamat malam.”

Dirasa tidak ada balasan dari lawan bicara, aku memilih segera keluar dari ruangan itu. Aku berjalan dengan mengentak-entakkan kakiku pada dinginnya lantai rumah sakit. Meluapkan kekesalan karena pria sok keren itu. Padahal aku tidak seratus persen salah, jelas-jelas aku sudah menitipkan hal lainnya pada Vika tadi sebelum aku menenangkan tante Elisa.

“Kenapa lo, Ra? Dateng-dateng muka lo kusut, kayak cucian kotor?” Suara Vika lebih dulu menyapaku saat aku sudah tiba di bangsal.

“Enggak papa,” ucapku masih dengan sisa kekesalan pada pria itu. “Vik, anak di kamar VVIP itu sakit apa sih?” aku lebih memilih mengorek informasi dari Vika. Daripada harus bergelut dengan diri sendiri. Menebak-nebak yang tidak jelas.

“Oh, anak itu.” Vika membuka-buka lembar-lembaga kertas di atas meja. “Leonal Azzuri Sadewa, anak berusia 4 tahun. Sebenarnya itu bukan penyakit yang cukup serius, hanya alergi biasa,” jelasnya dengan kedua matanya yang masih fokus membaca deretan huruf di atas kertas-kertas itu. “Tapi efek alergi itu cukup fatal jika terlambat ditangani.”

“Memang dia alergi apa?” Aku menggeser kursi yang kududuki mendekati Vika dan ikut membaca data diri pasien yang sedang kami bicarakan.

“Alergi kacang,” ucapku dan Vika berbarengan. Kami saling beradu pandang beberapa detik. Dan seolah mengerti apa yang sedang kami pikirkan, aku mengangguk setuju dengan Vika.

Pantas saja anak itu memiliki ruam merah di wajah dan tubuhnya. Mungkin juga sudah sampai sesak nafas sampai dia memakai selang oksigen. Untung keluarganya bergerak cepat. Semoga dia lekas sembuh dan siuman. Aku ingin berkenalan dengannya. Jujur saja aku tertarik dengan anak laki-laki itu, entah bagaimana dia bisa membuatku terpaku dengan wajah kecilnya yang tampan. Ya, walaupun daddy nya mungkin tidak akan memperbolehkan aku menyentuh anaknya. Dilihat dari kesan pertama yang jauh dari kata baik.

“Besok lo libur, kan?” tanyaku pada Vika. Sebenarnya aku dan Vika ada pada jam kerja yang sama. Jadi kami selalu berdua. “Keluar, yuk.”

“Sorry, gue enggak bisa. Nenek besok check up, jadi gue harus nemenin beliau.”

“Its okay. Terus, gimana keadaan nenek sekarang?”

Vika ini hanya tinggal bersama neneknya. Sedangkan kedua orang tuanya harus menetap di Singapura, karena harus meneruskan bisnis keluarga di sana. Hanya pulang setiap Idhul fitri saja, itu pun dengan kurun waktu yang singkat. Dan Vika lebih memilih tinggal bersama neneknya setelah kepergian kakeknya beberapa tahun lalu.

“Udah jauh lebih baik dari kondisi terakhir. Udah bisa jalan juga, walau masih dibantu tongkat. Di rumah juga ada mba Sinta yang nemenin nenek, jadi gue udah lebih tenang kalo harus ninggalin beliau buat kerja,” paparnya dengan bahagia. Aku tahu seberapa sayangnya gadis di hadapanku dengan neneknya itu, jelas melihat wanita paruh baya itu jatuh sakit sangat membuatnya sedih. Dan setelah kembali sehat tentu ia teramat senang karena usahanya untuk menyembuhkan sang nenek tidaklah sia-sia.

“Syukurlah, gue ikut senang mendengarnya. Semoga lekas pulih total ya.” Aku tersenyum berusaha menyemangati sahabat karibku ini. Vika hanya membalasku dengan senyuman di wajah cantiknya.

Aku dan Vika memilih berbincang-bincang dengan topik seputar drama Korea yang kami sukai. Terkadang aku dan dia suka berbagi koleksi drama. Vika sedikit berbeda denganku, dia selain menyukai drama Korea,  juga menyukai boyband-boyband dari negeri ginseng itu. Salah satunya Exo dan bias gadis itu adalah Oh Sehun.

Dan tidak terasa waktu sudah menjelang pagi. Langit sudah siap menyambut sinar mentari. Setelah selesai menunaikan ibadah sholat subuh, aku dan Vika bersiap melakukan pengecekan pada pasien sebelum pergantian shift nanti. Angga juga ada bersama kami, laki-laki itu berjalan di belakangku dan Vika yang berjalan beriringan.

Kami memulai dari ruangan VVIP, mengetuk pintunya lebih dulu dengan sopan. Karena bagaimana pun ini ruangan pribadi seorang pasien, setelah mendapatkan izin untuk masuk aku dan rekan-rekan perawat lain berjalan masuk tanpa terburu-buru. Terlihat di ruangan itu, pria yang semalam aku lihat sedang duduk di sofa dengan laptop yang menyala dan beberapa lembar kertas yang berserakan di sana. Mungkin dia sedang bekerja sembari menjaga putranya. Selain itu, bocah laki-laki bernama Leon itu sudah bangun dari tidurnya.

Aku tersenyum menatap anak itu. “Hai, Leon. Boleh kakak periksa dulu suhu badannya?” tanyaku kepadanya. Dia hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Aku pun mulai mengecek suhu tubuhnya, tensinya dan mencatatnya di dalam catatan kesehatan Leon. Setelahnya aku membereskan peralatan yang kugunakan untuk memeriksanya. Baru saja aku akan melangkah mendekati teman-temanku, tapi pertanyaan Leon menghentikan langkahku.

“Kapan Leon boleh pulang?” tanya dengan suara hampir berbisik.

Aku berbalik dan kembali mendekati brankar Leon. Kuelus lembut surai kecokelatannya. Dia menengadahkan wajahnya agar bisa menatapku, yang lebih tinggi dari dirinya. “Kenapa? Bosen, ya?” tanyaku dengan senyum lembut kepada bocah itu.

Leon menganggukkan kepalanya pelan. “Iya, Leon bocen cuctel,” adunya dengan suara khas anak batita.

“Makanya jangan bandel. Kalo enggak boleh makan kacang ya jangan dimakan.” Serbu suara bass milik pria itu. Aku langsung melayangkan tatap sengit kepadanya. Bisa-bisanya dia berkata begitu kepada anak kecil, terlebih anaknya sendiri.

“Kalo Leon udah sembuh, pasti dibolehin pulang sama dokternya.”

“Benelan, cuctel?” tanyanya dengan matanya yang berbinar-binar.

Aku tersenyum geli melihat tingkah Leon. “Iya, tapi Leon harus sehat dulu. Okay?” Leon mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.

“Suster keluar dulu ya, bye-bye Leon,” pamitku bersiap untuk keluar dari sana.

“Hati-hati cuctel, campai ketemu lagi,” ucapnya dengan senyuman mengembang di wajah kecilnya. Ahh manisnya.

...~♥♥♥♥♥~...

Terpopuler

Comments

Memyr 67

Memyr 67

cerita yg menarik, semoga bertahan sampai tamat

2023-07-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!