Nama yang indah

POV ELHAN

...~♥♥♥♥♥~...

“Iya, om. Tapi, saya sudah berkomitmen untuk berhenti bekerja setelah menikah. Karena, saya ingin menjaga dan mengurus keluarga saya dengan baik. Memantau dan mengetahui setiap tumbuh kembang anak saya nanti. Dan saya tidak bisa menyerahkan itu semua kepada baby sitter atau asisten rumah tangga.” Aku sedikit tertegun mendengar jawaban lugas dari seorang wanita di hadapanku. Gadis yang kutemui di rumah sakit beberapa hari lalu. Gadis yang menjadi suster kesayangan Leon, putraku.

Jujur saja baru kali ini, aku mendengar seorang wanita bersedia meninggalkan kariernya untuk mengurus keluarganya. Kebanyakan wanita tetap kekeh untuk tetap berkarier walau sudah berkeluarga bahkan sampai membiarkan anaknya diasuh oleh baby sitter. Tapi, gadis ini sedikit berbeda.

“Jawaban yang cerdas.” Bahkan daddy mengakui kecerdasan wanita itu. Daddy termasuk orang yang jarang memuji orang lain, bahkan aku sebagai anaknya pun jarang dia puji. Tapi, lihat sekarang. Dia dengan bangga memuji orang lain yang baru dikenalnya beberapa waktu lalu.

“Leon enggak tau yang cuctel omongin tapi, cuctel kelen.” Bocah nakal ini juga ikut-ikutan saja.

“Thanks, boy.” Gadis itu menampilkan senyum indahnya. Aku tahu senyum itu ia tunjukan untuk Leon. Tapi, mengapa jantungku yang malah berdegup kencang sekarang?

Aku terus menatap gadis di hadapanku itu. Dari mulai dia yang memotong-motong steak di piringnya. Lalu menyuap potongan kecil itu ke dalam mulutnya. Semua gerak-geriknya tidak ada yang luput dari pengamatanku. Dan mungkin dia sadar sedang diperhatikan, dapat kulihat dia sedikit melirik menatapku. Dan..

Byuurr

Dia menyemburkan air yang diminumnya. Sebegitu terkejutkah dia, saat tahu aku tengah menatapnya dengan intens? Namun, air itu tidak mengenaiku melainkan, “Cuctel, Leon tuh udah mandi. Kenapa dicilam ail lagi.” Leon merajuk.

“Aduh, tante minta maaf, ya.” Tanpa kusadari dia sudah berada di sebelah kursi Leon. Dan sibuk mengelap rambut dan wajah Leon yang basah.

“Di mobil ada pakaian ganti Leon, kamu bisa mengambilnya kan?” mommy bertanya kepada gadis itu yang langsung diangguki olehnya. Dia menggendong Leon dan berniat meninggalkan meja kami. Namun, aku lebih dulu menghentikannya.

“Anda ingin membuka pintu mobil tanpa kunci.” Ucapku yang sudah bangkit dan berdiri di belakangnya.

“Kalo begitu boleh saya minta kunci mobilnya?” dia bertanya dengan menengadahkan tangannya di depanku. Aku hanya menatap tangan itu tanpa berniat memberikan kunci mobilku padanya. “Biar saya saja. Takut-takut mobil dan anak saya akan anda bawa kabur.” Setelah mengatakannya aku berjalan lebih dulu dan membiarkannya mengekor di belakang dengan Leon di gendongannya. Aku tersenyum geli, ketika tidak sengaja melihat wajahnya yang cemberut karena kesal tadi.

»

Dan di sinilah kami berada sekarang, di depan toilet menunggu Leon mengganti pakaiannya. Aku tidak berniat untuk memecah keheningan di antara kami, dan sepertinya dia juga sependapat denganku. Dia hanya sibuk menatap high hellsnya, menggerakkan kakinya memutar di atas lantai.

Sampai suara Leon terdengar, memecahkan keheningan di antara kami. Bocah itu sudah mengganti kemeja birunya dengan kemeja putih yang senada dengan yang kukenakan. Sebelum aku sempat mengeluarkan kata-kata mutiara untuk bocah itu. Gadis di sebelahku lebih dulu menghampiri Leon. Dan berjongkok, menyejajarkan tubuhnya dengan bocah itu. Ia merapikan kemeja Leon dan sedikit menyisir rambut kecokelatan bocah itu menggunakan jari-jemarinya.

“Gimana cuctel? Leon ganteng kan?”

“Iya, Leon ganteng banget kayak pangeran.” Pujinya dengan senyum yang mengembang di wajahnya.

“Daddy, daddy.” Leon berjalan menghampiri ku dan menarik-narik celana bahan yang kukenakan. “Kata cuctel Leon ganteng kaya pangelan.” Leon tersenyum menampilkan gigi susunya yang putih.

Aku mengelus lembut surai Leon. “Of course, son. Karena, daddy mu juga selalu terlihat tampan.” Ucap ku dengan kepercayaan diri tinggi. Gadis itu tidak menanggapi tapi, kulihat matanya berotasi dengan malas. Dan itu benar-benar menjengkelkan di mataku.

“Daddy, Leon mau ice cleam.”

“Oke. Ayo kita pesan dulu.”

“Bukan.” Dahiku mengernyit mendengar penolakan Leon. “Leon mau ice cleam di minimalket cana.” Jari telunjuk Leon mengarah pada pintu keluar.

Aku berjongkok di sebelah Leon, menyejajarkan tinggi tubuhku dengan bocah itu. “Oke, tapi kita harus izin dulu sama oma.” Leon menganggukkan kepalanya dengan bibirnya yang tersenyum.

Setelah berbicara dengan mommy dan daddy bahwa kami akan pergi lebih dulu, karena cucu kesayangannya meminta jatah ice cream nya hari ini. Kami bertiga, ya kalian tidak salah membaca. Kami bertiga yang terdiri dari diriku, Leon dan suster kesayangan bocah itu. Semua ini atas permintaan dan rengekkan Leon yang ingin ditemani oleh gadis itu.

Kami berjalan menuju parkiran, ketika sudah sampai tempat dimana mobilku berada. Aku segera membukakan pintu mempersilahkan dua orang itu untuk masuk lebih dulu. Namun, kedua orang itu tidak kunjung menduduki kursi penumpang. Atau lebih tepatnya gadis yang menggendong Leon, yang terdiam kaku di tempatnya. Dia menoleh ke arahku.

Satu alisku terangkat. “Apa? Masuk.” Dia tidak menjawab, tapi tetap melaksanakan hal yang aku perintahkan. Setelah dia duduk dengan Leon yang berada di pangkuannya, aku menutup pintu dengan perlahan, lalu berlari kecil memutari mobil.

Aku duduk di kursi balik kemudi. “Pakai seatbelt nya.” Perintahku yang lagi-lagi dipatuhi olehnya tanpa berbicara.

Kemudian aku mulai menginjak pedal gas dan membawa mobilku keluar dari restoran. Di dalam mobil hanya diisi oleh celotehan Leon dan gadis itu. Ah, benar! Aku belum mengetahui apa pun tentangnya, apalagi namanya, aku hanya mengetahui ia bekerja sebagai perawat di rumah sakit daddy.

Sebenarnya aku tidak peduli dengan percakapan dua manusia berbeda gender itu. Namun, samar-samar indra pendengaran ku menangkap perbincangan mereka. Yang mau tak mau, membuatku menyimaknya.

“Cuctel.”

“Iya?”

“Nama cuctel ciapa?” Leon mendongak menatap wanita yang memangkunya itu.

Berhubung lampu jalan sedang berwarna merah, aku sedikit melirik ke arah dua makhluk itu. Netraku menangkap senyuman itu lagi, yang lagi-lagi membuat jantungku berdebar hebat karenanya. Gadis itu sedikit memiringkan kepalanya agar bisa menatap Leon. “Nama suster, Aira.” Ucapnya masih dengan ekspresi tersenyum.

“Oh, Aira namanya.”

“Kalo nama lengkap tante Aila?” anak ini banyak tanya. Tapi aku juga sedikit penasaran. Ingat ya! Se–di–kit. Sedikit.

“Mesha Khumaira Sharma. Kalo Leon?”

Aku kembali melajukan mobilku setelah lampu sudah berganti menjadi hijau. “Mesha Khumaira Sharma, nama yang indah.” Bisikku pada diri sendiri.

“Nama Leon, Leonal Azzuli Cadewa.”

“Azzuli?”

“Bukan, Azzuli tante.”

“Iya, Azzuli.”

“Ich, bukan Azzuli tapi Azzuli.”

Aku yang sudah jengah mendengar perdebatan mereka, akhirnya ikut menyela. “Azzuri.” Ucapku membenarkan ucapan Leon.

“Iya, itu makcud Leon, tante.”

»

Tidak terasa hari sudah semakin larut. Leon pun sudah tertidur lelap dalam pangkuan Aira. Membuat keheningan kembali menyelimuti kami. Selain karena aku tidak begitu mengenal dia, aku juga bingung harus membuka pembicaraan apa. Gadis itu pun tidak berniat untuk memulai percakapan di antara kami.

Selepas dari membeli ice cream untuk Leon tadi, anak itu kembali merengek meminta ditemani ke pasar malam yang terlihat ramai tadi. Dan pada akhirnya kami baru bisa pulang setelah jam 10.30 malam. Dan bocah itu malah berakhir terkapar di pelukan Aira.

Aku menghentikan mobilku setelah sudah sampai di depan rumah Aira. Rumah yang terlihat sederhana dan elegan. Berbeda dengan rumahku yang besar dan luas. Komplek perumahannya pun komplek biasa, tidak seperti komplek perumahan-perumahan elite. Ketika merasa tidak ada pergerakan sama sekali dari sosok di sebelahku, aku pun melirik ke arah Aira yang sepertinya sedang kesulitan melepaskan seatbelt nya.

“Biar saya bantu.” Setelah mengatakannya aku segera keluar dan memutari mobil. Lalu membuka pintu penumpang untuk membantu Aira. Aku sedikit menunduk untuk menjangkau kuncian seatbelt. Yang malah membuat jarak antara tubuh kami menipis, sampai-sampai aku bisa mencium bau parfum yang dikenakannya. Walaupun faktanya masih ada Leon di antara kami, tapi itu benar-benar tidak membantu sama sekali.

Aira memalingkan wajahnya ke arah berlawanan, setelah beberapa detik sempat tertegun saat melihat wajahku yang hanya berjarak beberapa centi dengan wajahnya. Jika aku menolehkan sedikit saja, wajahku bisa aku pastikan hidung kami akan saling bersentuhan.

Clik

Aku memundurkan tubuhku, setelah berhasil membuka seatbelt yang digunakan Aira. Kemudian aku mengambil alih Leon dari pangkuannya, untuk kugendong. Lalu, gadis itu keluar dengan perlahan, aku pun memberi ruang untuknya melangkah. Setelahnya aku kembali meletakkan Leon di kursi penumpang dan tidak lupa mengenakan seatbelt untuknya.

“Terimakasih, pak.” Ucap gadis itu yang masih berdiri di belakangku.

Aku menutup perlahan pintu mobil, lalu berbalik menatap Aira. “Hm, saya permisi.” Setelah mengatakan nya aku berlalu memasuki mobil dan segera meninggalkan rumah Aira. Tidak berniat untuk berlama-lama disana ataupun sekedar menyapa orang tua gadis itu.

Sesampainya di rumahku sendiri, aku melangkah menaiki anak tangga dengan Leon yang tertidur pulas dalam gendonganku. Untuk kemudian merebahkan tubuh kecilnya di atas kasur, lalu kutarik selimut tebal bergambar toys story itu sebatas dadanya. Aku sedikit merendahkan tinggi tubuhku, menatap sebentar wajah damai Leon. Tanganku terulur untuk mengelus lembut surai kecokelatan bocah itu.

“Sweet dreams, son.” Ucapku lirih.

Kemudian aku berlalu keluar dari kamar Leon. Namun, aku tidak berjalan menuju kamar tidur u, melainkan menuju ruang kerjaku. Aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang kutinggalkan sebelumnya. Aku terus bergelut dengan lembaran-lembaran kertas di atas meja kerja, hingga tanpa sadar aku sudah tertidur telungkup di atas meja dengan layar laptop yang masih menyala.

»

Aku merasa terusik dalam tidur, saat merasakan ada seseorang yang sedang membelai lembut wajahku. Mataku mengerjap sebentar menyesuaikan cahaya lampu yang menyala, sampai akhirnya netra hitamku dapat menangkap sosok kecil yang sedang tersenyum menatapku. Leon, bocah itu berdiri di samping kursi kerjaku dengan tangan yang masih berada di pipiku.

“Molning, daddy.” Ucapnya dengan senyuman paginya yang secerah mentari.

Aku menegakkan kembali tubuhku yang terasa sedikit pegal, mungkin karena tertidur dengan posisi yang tidak benar. Senyumku segera terbit membalas senyuman cerah putra semata wayangku itu. “Morning, son. Kamu udah sarapan?” tanyaku padanya. Sebelumnya aku sudah mengangkat tubuh Leon untuk duduk di atas pangkuanku.

“Belom, Leon nungguin daddy. Tapi, daddy enggak tulun-tulun jadi Leon bangunin daddy.”

“Kalo gitu, ayo kita sarapan.” Ucapku. Tanpa mengutarakan kesetujuannya, Leon segera bangkit dari pangkuanku lalu menggenggam tanganku untuk dia bawa keluar menuju ruang makan. “Tapi, sebelum itu. Biarkan daddy mencuci muka lebih dulu, oke?” Leon menganggukkan kepalanya sebagai persetujuan. Dan setelah selesai dengan kegiatanku, kami kembali melanjutkan langkah menuju meja makan.

Leon mengayunkan tautan tangan kami sembari bernyanyi lagu anak-anak, di sepanjang anak tangga. Sementara itu aku hanya diam, memperhatikan tingkahnya yang terlihat menggemaskan. Jujur saja hari-hariku sedikit berwarna setelah kehadiran Leon, terutama setelah insiden itu. Aku sangat bersyukur memilikinya, dan kuperjuangkan apapun agar senyuman itu tetap terbit di wajahnya.

Aku dan Leon menuruni anak tangga dengan tangan kami yang bergandengan. Setelah kami menginjakkan kaki di anak tangga terakhir, Leon segera melepas tanganku dan berlari ke arah daddy yang sudah berada di meja makan. Merasakan kehadiran Leon, daddy segera meletakkan tablet yang tengah di genggamnya, mungkin sedang mengecek pekerjaan. Beliau mengangkat tubuh Leon untuk didudukkan di pangkuannya.

“Morning, El.” Sapa mommy yang baru saja keluar dari dapur membawa menu sarapan kami, dengan dibantu oleh pelayan yang mengekor di belakangnya.

“Morning, mom.” Aku mengecup singkat pipi kanan mommy, yang langsung mendapat tatapan tajam dari daddy.

“Oma.. Oma hanya ingin menyapa daddy, tidak dengan Leon?” dan sepertinya bocah itu merasa iri. Kami bertiga terkekeh mendengar celotehan bocah berusia 4 tahun itu yang sedang mencebikkan bibirnya lucu.

“Oh sorry, boy. Morning Leon.”

“Molning, oma.” Balas Leon dengan ikut mengecup ringan pipi kiri mommy.

“Nah, yang kiri Leon dan kanan Elhan. Berarti daddy dapat bagian yang tengah–” Mommy segera melayangkan cubitan mautnya pada pinggang daddy. “–aduh! Sakit, honey.” Aku memutar malas kedua bola mataku. Drama, aku tahu cubitan itu tidak berarti apa-apa untuk daddy. Dimana letaknya sikap seorang Abrar Sadewa yang terkenal dingin? Apakah bongkahan es sudah mencair?

“Itu pantas untuk kamu, pria tua bangka.”

“Dan pria tua bangka ini, mampu membuatmu berteriak setiap malam.” Daddy mengatakannya dengan seringai menjengkelkan yang muncul di wajahnya.

“DADDY!” aku dan mommy refleks berteriak setelah mendengar perkataan ambigu daddy.

“Apa?” beliau masih bisa bertanya dengan wajah tanpa dosanya.

“Ada Leon di sini.” Ucapku dengan suara tertahan.

“Oh come on, son. Kau akan mengerti, Jika kau memiliki pasangan suatu hari nanti. Sangat menyenangkan, ketika kau berhasil menggoda wanitamu.” Aku mengikuti arah pandang daddy yang menatap mommy dengan senyum tertahannya. Dan benar saja, di kursinya mommy terdiam dengan wajahnya yang memerah.

“Oma.”

“Ya, boy?” mommy segera mengalihkan pandangannya kepada Leon, setelah mendengar bocah itu memanggilnya.

“Oma, Leon pengen punya mommy.”

Byuur

Tidak hanya aku dan kedua orang tuaku saja yang terkejut mendengar pernyataan Leon. Tapi, juga dengan beberapa pelayan yang sedang wira-wiri mengerjakan tugasnya. Karena jujur saja dua tahun setelah kejadian itu, dia tidak pernah merengek atau pun bertanya tentang orang tuanya. Leon seolah sudah dewasa dan mengerti dengan situasi saat itu, di umurnya yang baru menginjak 2 tahun.

“Kenapa tiba-tiba Leon pengin punya mommy?” mommy bertanya dengan lembut pada bocah itu. Sedangkan aku terus memperhatikan mereka, disela kegiatanku yang sedang mengelap mulutku yang basah, karena air yang menyembur dari mulutku.

“Tadi, malam waktu Leon dan daddy membeli ice cleam baleng tante Aila. Leon ngelaca cenang, Leon celalu pengin jalan-jalan baleng mommy dan daddy. Kayak yang celalu teman-teman Leon celitakan.” Kulihat Leon menundukkan kepalanya menatap piring keramik di hadapannya tak bergeming, seolah piring itu adalah piring terindah didunia hingga ia tidak ingin berpaling.

“Terus Leon maunya, siapa yang jadi mommy Leon?” daddy bertanya menggantikan keterdiaman mommy, yang kupastikan dia sedang merasa bersalah kepada Leon.

“Tante Aila.” Aku membulatkan mataku, menatap tidak percaya kepada bocah itu. “Boleh kan?” kini Leon bertanya dengan menatap ke arahku penuh harap.

“Kita bahas nanti, son. Daddy harus berangkat kerja, kau akan diantar oleh pak Rahman.” Aku bangkit dari kursi yang kududuki sejak tadi. Kemudian berjalan menuju lantai dua, meninggalkan sarapanku yang masih sisa setengah.

“Apa daddy malah cama Leon?” itu pertanyaan terakhir yang aku dengar dari Leon, sebelum aku benar-benar masuk ke dalam kamar.

»

Tok tok

“Masuk.” Ucapku pada seseorang dibalik pintu ruanganku.

Saat ini aku sudah berada dikantor, dan sedang sibuk menyiapkan data untuk meeting dengan klien. Aku sedikit mengalihkan atensiku saat mendengar suara pintu yang dibuka. Kedua bola mataku memutar malas, saat melihat siapa yang masuk ke dalam ruanganku.

“Hai, bro.” Ucapnya menyapaku dengan wajah menyebalkannya.

“Hm.” Balasku singkat.

“Kenapa muka lo? Kusut banget.” Dia mendudukkan tubuhnya di kursi yang berhadapan denganku.

“Leon pengin punya mommy.”

“Oh Leon pengin punya mommy...” hening sesaat, sampai tiba-tiba pria itu menatapku dengan mata membuatnya. “Pengin punya mommy?” Rion, sahabatku itu kembali mengulang ucapannya.

“Hm.”

“Ya udah sih, tinggal lo turutin aja.” Ucapnya dengan santai, sembari ia menyenderkan tubuhnya pada sandaran sofa.

“Lo kira, nikah segampang lo nyewa pelacur.” Ucapku sedikit kesal. Memang dia kira nikah itu gampang. Pernikahan itu butuh komitmen, kesiapan diri, dan rasa tanggung jawab untuk memegang janji yang amat suci seumur hidup.

Rion terkekeh lepas mendengar ucapanku. Aku memilih untuk mengabaikan makhluk itu, dan kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar putus asa untuk mengabulkan permintaan Leon.

“Bukan gitu maksud gue.” Rion lebih menegakkan punggungnya yang sebelumnya sedikit bersandar. “Selain karena ini permintaan Leon, juga karena lo udah waktunya buat nikah. Mungkin kedengaran aneh gue ngomong kayak gini, padahal gue sendiri juga masih suka main di sana-sini. Tapi, gue yakin lo enggak kayak gue.”

“Gue belom siap, Yon. Gue mau fokus ngurus Leon dulu.” Ucapku diakhiri helaan nafas yang panjang. Rion itu, walau pun tingkahnya menyebalkan, ia masih bisa diajak serius dan mampu memberikan nasihat yang berguna.

“Umur lo udah 26, El. Mau nunggu sampe kapan lagi dan Leon enggak cuma butuh sosok daddy, dia juga butuh figur ibu di hidup nya. Gue tau lo belom bisa ngelupain dia kan?” kalimat terakhir Rion berhasil membuat aku terdiam sesaat.

Memang benar itu juga salah satu alasan, kenapa aku masih betah sendiri. Karena kepergian seseorang tanpa ada alasan yang jelas. Butuh satu tahun lamanya, untuk aku benar-benar bisa melupakan sosok itu. Tapi, yang namanya cinta pertama, pasti sulit untuk melupakannya. Benar, kan?

“Gue pikirin lagi.” Ucap ku pada akhirnya.

“Kok tiba-tiba Leon pengin punya mommy. Emang kenapa?” dan memang dasarnya Rion itu kepo, jadi dia akan mengeruk sampai ke akar-akarnya.

“Dia ketemu suster kesayangannya.”

“Suster?”

“Hm, perawat disalah satu rumah sakit daddy.”

“Orangnya gimana? Gue jadi penasaran, cewek kaya apa yang bisa bikin Leon jatuh cinta segitunya. Sampe dia berani minta ke daddy nya ini.” Aku menatap sebal pada Rion yang sudah terawa terbahak-bahak.

“Kalo boleh tau, namanya siapa?”

“Namanya Ai-“ belum selesai aku menyebutkan nama wanita itu. Tiba-tiba pintu ruanganku diketuk dari luar dan terlihat Kinara yang menyembulkan kepalanya di sana.

“Ruang meeting sudah siap, pak.” Ucapnya kepadaku.

“Baik.” Setelah mengatakannya aku menoleh ke arah Rion, yang langsung dipahami pria itu. Ia bangkit dan sedikit membenahi jas kantornya.

“Gue balik duluan.” Ia berjalan ke arah pintu dan berhenti di samping Kinara. “Mau salam buat Ken enggak? Gue mau ketemu dia, nih.” Ucap Rion dengan senyuman jahilnya. Dan kulihat wajah Kinara yang sudah bersemu merah.

“Udah deh, Yon. Kalo lo enggak mau kena amukan pawangnya, mending enggak usah ngusik.” Ucapku memperingatinya. Jika ia berani mengganggu Kinara, ia akan benar-benar mendapat masalah dari pawang gadis itu.

“Oke, oke.” Setelah kepergian Rion aku hanya menggeleng pelan kepalaku, merasa aneh aku yang seperti ini bisa berteman dengan orang seperti dia.

...~♥♥♥♥♥~...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!