Malam hari setelah Reza meminjamkan jaketnya kepada Lilia…
Hari itu, bintang maupun bulan tak terlihat di langit. Suhu udara malam itu juga terasa lebih dingin.
Suasana pusat kecamatan itu masih ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang dan pemuda pemudi yang sedang bercengkerama di cafe atau warung kopi.
Suasana itu berbanding terbalik dengan komplek rumah di dekat pusat kecamatan yang terlihat sudah sepi sejak pukul 20.00.
Keheningan malam itu tiba-tiba terganggu dengan suara teriakan seorang wanita.
Wanita itu menangis sambil mendekap seorang laki-laki remaja yang bersimbah darah.
Pria yang berdiri di hadapan perempuan dan remaja itu tampak terkejut melihat pemandangan di depannya. Laki-laki itupun langsung pergi dari rumah itu.
Tak lama kemudian datang tetangga sebelah yang dikagetkan oleh jeritan wanita itu. Melihat seorang remaja bersimbah darah, tetangga itu pun langsung menelfon ambulans.
Suasana malam itu menjadi kacau. Wanita itu hanya diam dengan pandangan kosong saat ditanyai oleh polisi yang juga datang.
Tak lama kemudian keluarga wanita itu datang dengan ekspresi cemas.
“Dian, ibu dihubungi pihak polisi, ada apa sebenarnya?”
Wanita yang dipanggil Dian itu tampak mulai kembali kesadarannya, ia pun menangis lagi tanpa mengatakan apapun.
Laki-laki tua berambut putih yang memakai tongkat tampak sedang berbicara dengan tetangga sekitar, ia beberapa kali terlihat mengangguk.
Setelah berbicara dengan tetangga, pria tua itu mendekat ke arah wanita yang dipanggil Dian.
“Reza dibawa ke rumah sakit mana?”
Perempuan itu masih sesenggukan lalu dengan terbata-bata menyebutkan sebuah nama rumah sakit.
“Kamu tunggui Dian, saya mau melihat keadaan Reza,” ucap pria tua itu kepada istrinya sambil menghela nafas.
Wanita berambut putih itu mengangguk dan tetap mendekap anak perempuannya.
Pria tua yang tak lain adalah kakek dari Reza itu mengurus semua keperluan rumah sakit dan memindahkan Reza ke ruang VIP setelah melewati masa kritis.
Kakeknya pun datang langsung ke sekolah memintakan izin untuk Reza yang sedang dirawat.
Sang kakek juga mengatakan agar tak ada teman sekolahnya yang datang menjenguk karena Reza perlu banyak istirahat.
Pihak sekolah tentu langsung mengiyakan setelah mendapat penjelasan tentang kondisi Reza dari kakeknya yang merupakan salah satu orang terpandang di daerah itu dan memang cukup disegani.
...◇◇◇...
3 minggu berlalu sejak Reza tidak sadarkan diri. Bekas luka jahitan di perutnya telah terlihat membaik.
Ibunya menjalani perawatan psikis sejak kejadian itu karena mengalami trauma. Sedangkan kakek neneknya bergantian menjaga Reza yang masih saja tak membuka mata.
Siang itu nenek Reza menjaga cucunya seperti biasa. Dengan menggunakan kacamata, perempuan berambut putih itu masih membaca koran yang dimintanya dari perawat.
Jari tangan kiri Reza bergerak, disusul kelopak matanya yang membuka perlahan.
Aroma rumah sakit yang memuakkan itulah yang pertama kali masuk ke kesadaran Reza.
Wanita tua yang duduk tak jauh dari tempat Reza berbaring langsung berdiri begitu mengetahui cucunya membuka mata.
Nenek itu dengan sigap menyentuh tombol yang tak jauh dari tempat tidur Reza. Tak lama kemudian dokter dan perawat datang untuk memeriksa keadaan Reza.
Sang nenek langsung menghubungi suaminya yang kemudian datang dalam waktu 15 menit.
Suasana ruangan itu tampak ramai, ada beberapa pengawal yang turut serta kakek tua itu.
Kakek tua itu duduk di sofa tak jauh dari tempat Reza berbaring. “Gimana keadaan mu sekarang, nak?”
“Udah mendingan cuma masih agak pusing,” jawab Reza sambil memejamkan matanya dalam waktu lama.
“Bagus, nanti kamu makan yang cukup, ikutin saran dari dokter supaya sehat cepat.”
“Saya udah di rumah sakit berapa lama, kek?”
“Mungkin sekitar 3 minggu. Kamu sebaiknya tidak masuk dulu sampai benar-benar pulih. Kakek sudah memintakan izin ke sekolah mu.”
Reza diam, menghela nafas panjang, ia juga tak ingin masuk sekolah dengan keadaan seperti itu.
“Ibu gimana, kek?”
“Dian masih beberapa kali ke psikolog. Jadi, apa kamu bisa ceritakan apa yang terjadi malam itu?”
“Ada maling, karena lihat Reza dia jadi panik. Ya gitu lah,” jawab Reza tanpa melihat ke arah kakeknya.
Sang kakek hanya menghela nafas panjang begitu mendengar ucapan cucunya.
“Ayahmu bahkan nggak datang. Apa dia nggak tau anaknya hampir sekarat gini?”
Reza diam tak memberi tanggapan. Ia merasa lelah hanya dengan berbicara tentang itu. Perutnya terasa mual jika mengingat apa yang terjadi waktu itu.
“Ayah mu itu nggak berguna, kenapa kamu nggak ikut kakek aja sih?” gerutu kakek tua itu.
Reza tak menjawab dan memilih tak membuka matanya untuk berpura-pura tidur. Ia malas berdebat dengan kakeknya.
Sang kakek pun akhirnya menyerah. “Yasudah istirahat aja, kakek tinggalkan dua pengawal, kalau butuh sesuatu sampaikan pada mereka.”
Sang kakek pun langsung pergi setelah mengucapkan hal tersebut.
... ◇◇◇...
Hari berganti dengan cepat, masa penyembuhan Reza telah selesai. Namun ia masih belum masuk sekolah karena masih menjaga ibunya yang sedang menjalani pengobatan di rumah.
Permasalahan waktu itu memang membuat ibu Reza trauma, namun wanita itu tetap tak mau mengungkap kejadian sebenarnya tentang kejadian waktu itu, begitupun dengan Reza yang menjadi korban.
Meski kakek Reza sudah bisa menebak kejadian sebenarnya, pria tua itu tetap tak melakukan apapun karena ia sangat menyayangi cucunya yang satu itu.
Hubungan keluarga besar itu sangat rumit dan tidak banyak diketahui banyak orang, yang terlihat hanyalah hubungan harmonis dari keluarga terpandang itu.
“Za, kamu nggak bilang kakek mu kan?” tanya ibu Reza tiba-tiba.
Reza menghela nafas panjang. “Nggak kok, bu.”
Wanita paruh baya itu tampak lega mendengar jawaban dari anaknya.
Reza merasa bingung dengan ibunya yang begitu melindungi orang itu padahal anaknya hampir mati.
“Nak, jangan membencinya, ya?” Wanita itu memandang lekat ke anaknya dengan penuh harap.
Reza menggenggam tangan sang ibu untuk mencoba menenangkan. Namun ia tak tau harus mengatakan apa.
“Ayah mu mungkin hanya emosi karena keadaan yang menekannya, dia tidak bermaksud melukai mu,” ucap sang ibunda lagi.
Reza memaksakan diri tersenyum. Laki-laki bermata hitam itu tidak mengerti kenapa ibunya begitu mencintai ayahnya yang tidak memiliki rasa tanggungjawab itu.
Reza bertanya-tanya kenapa ibunya selalu membela laki-laki yang hampir membuat anaknya meregang nyawa.
“Maafin ibu ya,” ucap wanita itu sambil mencium tangan anaknya.
Ada rasa sedih yang demikian besar melihat sang ibu berekspresi seperti itu.
Bagaimana mungkin Reza bisa nggak membenci orang yang membuat ibu sedih?
“Maafin ibu karena permintaan ibu egois. Ibu tau kamu terluka, ibu takut kehilangan kamu, tapi nak, ayahmu itu sebenarnya benar-benar orang baik,” ucap wanita itu dengan suara serak.
“Reza nggak apa-apa kok bu, jangan sedih terus dong.” Laki-laki bermata hitam itu benar-benar pandai mengatur ekspresinya.
“Ibu istirahat dulu aja ya, Reza udah janji mau berkunjung ke kakek,” ucap Reza sambil salim ke ibunya.
Wanita yang dipanggil ibu tampak cemas namun ia tak mengatakan apapun.
Reza melangkahkan kakinya yang terasa berat dari rumah bernuansa putih itu.
Langkah kakinya berhenti di ruang tengah, tempat kejadian itu. Luka di perutnya terasa nyeri selama beberapa waktu.
Reza pun memacu motornya menuju rumah kakeknya yang berbeda kecamatan.
...◇◇◇...
Drrrttt
Bunyi getaran dari ponsel Lilia membuatnya yang sedang fokus belajar menjadi terganggu. Dengan secepat mungkin perempuan bermata coklat itu meraih ponselnya.
Matanya terbelalak melihat nama yang muncul dalam notifikasi chat WhenApp.
Reza-
Hai lil, sorry baru bales, gue baru aja selesai pengobatan, tapi belum tau bisa masuk kapan.
Jaketnya titipin ke Gavin atau Gio aja.
Lilia membaca pesan itu berulang kali. Dengan ekspresi cemberut Lilia membalas pesan itu.
Perempuan berambut hitam panjang itu merebahkan badannya diatas kasur.
-Reza tuh apa nggak pernah mikir kalau temen-temennya bakal khawatir sama dia ya?
Drrrtttt
Mendengar getaran ponsel itu, Lilia langsung membuka ponselnya secepat mungkin.
Reza-
Yaudah jaketnya buat kamu aja.
Ekspresi Lilia tampak kesal, tanpa bisa menahan emosi, Lilia pun langsung menelfon Reza.
“Heh! Kalau jaketnya nggak mau ku balikin, gak bakal ku pakai, tapi ku bakar! Atau ku kasih ke temen cewek di sekolah yang ngefans sama kamu!”
“Lili… ,” ucap Reza lembut dari seberang ponsel. Laki-laki itu terdengar menghela nafas panjang.
“Yaudah, kalau emang mau balikin langsung dateng ke RS Adhibumi. Tapi jangan bawa temen atau kasih tau ke yang lain, aku masih butuh istirahat,” ucap Reza menjelaskan.
“Yaudah, besok aku kesana.”
Klik
Lilia segera menutup panggilan telfon itu. Perempuan itu memukuli bantal didekatnya. Merasa menyesal dengan apa yang dilakukannya.
-Aku ngapain sih… dasar gila. Bisa-bisanya ngotot mau balikin jaket langsung. Arghhhh… -
Lilia memeriksa agendanya untuk besok, ia tersenyum lega karena tak memiliki janji dengan siapapun.
...◇◆...
Di saat yang sama di tempat Reza…
Laki-laki yang sedang duduk menunggu kakeknya itu sedari tadi memperhatikan ponselnya.
Sesekali ia tersenyum geli, sesekali menghela nafas seperti ada beban berat yang sedang dibawa.
“Udah datang dari tadi, nak?”
Suara berat pria berambut putih itu mengagetkan Reza yang sedang fokus dengan ponselnya.
“Nggak kok, baru sekitar 10 menit.”
Belum sempat melanjutkan perkataannya, sebuah panggilan masuk muncul.
Reza tak ingin menerima panggilan itu, namun sang kakek mempersilakannya.
“Ya, halo?”
“Heh! Kalau jaketnya nggak mau ku balikin, gak bakal ku pakai, tapi ku bakar! Atau ku kasih ke temen cewek di sekolah yang ngefans sama kamu!”
Suara nyaring Lilia menggema di ponsel itu meski tidak dalam mode speaker.
Kakek Reza yang mendengar itu mengernyitkan keningnya namun pura-pura tak peduli. Telinganya difokuskan agar bisa mendengar lebih banyak lagi.
Reza tampak gugup, ia berkali-kali menghela nafas.
“Lili…. ,” ucapnya selirih mungkin agar tidak didengar sang kakek.
“Yaudah, kalau emang mau balikin langsung dateng ke RS Adhibumi. Tapi jangan bawa temen atau kasih tau ke yang lain, aku masih butuh istirahat,” ucap Reza pasrah.
Setelah mendapat jawaban tersebut Lilia terdengar lega. Setelah memastikan panggilan itu berakhr, Reza memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil yang dibawanya.
“Pacar kamu, nak?” tanya kakek penasaran.
“Ha ha, bukan, cuma temen sekolah yang pernah ku pinjemin jaket,” jawab Reza singkat.
“Kenapa disuruh ke rumah sakit? Kenapa nggak ke rumah kakek ini aja?”
“Ya gitulah, nanti kakek tolong pesenin satu kamar ya buat Reza besok,” pinta Reza setengah memaksa.
“Kenapa harus pura-pura sakit segala? Biar diperhatikan?”
“Nggak gitu kek. Cuma aneh aja kalau Lilia tau Reza sehat tapi tetap nggak masuk sekolah, kan aneh aja gitu,” jawab Reza beralasan.
Sang kakek memanfaatkan momen ini. “Yaudah, tapi selasa nanti temenin kakek ke Semarang.”
Reza menyetujui apa yang diminta kakeknya sebagai imbalan atas permintaannya.
Kakek Reza yang merupakan ayah dari ibunya adalah salah satu orang terpandang di daerah itu.
Kakeknya memiliki beberapa bisnis yang salah satunya adalah rumah sakit swasta Adhibumi yang dimiliki istrinya.
Rumah sakit swasta itu merupakan salah satu rumah sakit terbaik di daerah yang berbatasan dengan Jawa Tengah itu.
Rumah sakit itu sebenarnya ingin diberikan kepada ibu Reza, Diana Iansa. Namun karena konflik dengan suaminya, Diana menolak pemberian itu. Sehingga pengelolaannya masih dipegang oleh nenek Reza, Iansa Adhijaya.
...◆◇◆◇◆...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Dark p
up trus semangat 😁
2023-07-08
2