Lilia diam menatap langit-langit kamarnya. Akhir pekan ini ia malas pergi kemanapun. Gadis bermata coklat itu lebih memilih berdiam diri di kamarnya.
Sejak hari sabtu lalu setelah bertemu dengan Reza, Lilia terus kepikiran tentang kejadian SMP dimana Reza tiba-tiba menjauh dan berubah sikap.
Dulu, Reza berteman cukup dekat dengan Lilia, Fani dan Gavin. Namun tiba-tiba semua berubah tanpa Lilia tau sebabnya.
Saat kelas VIII, Reza selalu menghindar tanpa mengatakan apapun. Lilia pernah diam-diam ingin bertanya, tapi saat itu justru Reza mengatakan hal yang aneh yang tak ia mengerti.
Lilia sudah pernah mencoba bertanya kepada Gavin, namun dulu laki-laki bermata coklat keabuan itu hanya meminta Lilia dan Fani membiarkan saja jika Reza menjauh.
Lilia tak mendapat penjelasan apapun dan akhirnya berusaha menerima jika mungkin saja memang Reza sudah merasa tidak cocok dengan semuanya.
Tak lama setelah itu sering ada kabar bahwa Reza sering bertengkar dengan banyak siswa laki-laki baik dari sekolah yang sama maupun sekolah lain.
Tak jarang Lilia melihat luka-luka di wajah Reza. Laki-laki bermata hitam itu juga sering absen.
Tanpa sepengetahuan orang lain, Lilia sering meninggalkan plester luka di laci meja Reza.
Entah Reza mengetahui atau tidak, tapi ia tampak memakai plester luka yang diberikan Lilia secara diam-diam itu.
“Lilia…”
Lilia tergagap melihat mamanya sudah berdiri di ambang pintu.
“Eh, mama, ada apa?”
“Kamu ini dipanggil daritadi nggak nyahut, mikirin apa sih? Pacar?” tanya bu Ani penuh selidik.
“Ih mama, mana ada pacar segala,” ucap Lilia kesal.
“Ayo bantuin mama beresin gudang, barang yang nggak kepakai mau diloakin, pilihin juga buku mu”
“Iya… ,” ucap Lilia malas lalu segera bangkit dari tempat tidurnya.
Lilia melangkah dengan malas menuju gudang kecil dekat dapur. Setelah memakai masker, Lilia langsung membantu menyortir barang.
Mata Lilia tertegun menatap kotak plester kecil dekat dengan tumpukkan bukunya waktu SMP. Ia menghela nafas panjang.
Kenapa sih jadi inget tuh anak terus?
Bu Ani penasaran yang melihat anaknya diam dalam waktu lama memandangi kotak plester luka itu.
“Itu plester satu box dulu kamu beli buat temen kan? Gimana sekarang kabarnya?”
Lilia menoleh dan mendapati mamanya tersenyum jahil.
“Entah, mungkin kabarnya baik,” jawab Lilia sambil tersenyum.
Bu Ani tak bertanya lagi dan membiarkan anaknya mengenang masa SMP nya. Perempuan paruh baya itu melanjutkan membereskan barang-barang yang sudah disortir.
“Ma, menurut mama, Lilia perlu nggak ngelurusin masalah waktu lalu?”
Bu Ani diam sejenak lalu tersenyum. “Kalau memang menurut mu itu harus diluruskan ya lakuin aja.”
“Kalau hasilnya nggak sesuai harapan?”
“Ya nggak masalah kan? Seenggaknya kan nggak ada yang mengganjal lagi.”
Lilia diam, memikirkan perkataan mamanya. Dalam hati perempuan bermata coklat itu sependapat dengan mamanya.
“Yaudah mandi sana sudah sore. Siapkan juga besok ada pelajaran apa, ada tugas atau nggak?” ucap bu Ani mengingatkan.
Lilia pun langsung membersihkan diri cepat-cepat karena baru ingat ada tugas yang harus ia kerjakan.
...◇◇◇...
Lilia menjalani kehidupan sekolahnya dengan damai. Mengerjakan tugas sebaik mungkin, bersikap sopan kepada guru maupun teman dan juga sering membantu teman yang butuh penjelasan ulang tentang pelajaran.
Sosoknya yang begitu ideal selalu membuatnya jadi pembicaraan manis diantara guru-guru.
Tak hanya itu, parasnya yang cantik dan tubuhnya yang proporsional dengan tinggi badannya selalu membuat Lilia jadi bahan pembicaraan siswa laki-laki.
Hal tersebut sempat membuat beberapa siswa perempuan iri kepadanya. Namun karena ada Fani, tak banyak siswa yang berani mencari gara-gara dengan Lilia.
Hal itu disebabkan kejadian satu bulan yang lalu saat Lilia didatangi kakak kelas perempuan.
...◆◆...
Flashback...
Kejadian itu, 2 bulan setelah Lilia dan Fani masuk SMA.
Suasana siang yang cerah setelah ujian tengah semester itu dihebohkan oleh sekelompok perempuan yang mendatangi kelas X B.
Sekelompok perempuan dengan dandanan modis itu mengelilingi Lilia yang sedang duduk sendirian di depan kelas membaca buku.
Saat itu Fani sedang ke kantin untuk membeli minuman bersama Gavin.
“Oh ini cewek yang katanya paling cantik di kelas X?” ucap Zena dengan ekspresi sinis.
Empat orang temannya tertawa kecil. Salah satu dari mereka merebut buku yang sedang dibaca Lilia.
“Eh tol*l kalau ada yang ngajak ngomong tuh dengerin!”
Lilia memandang kelima kakak kelas itu dengan ekspresi malas.
“Aku nggak tau ya urusan kalian apa disini, tapi ku saranin mendingan pergi deh,” ucap Lilia dengan ekspresi dingin.
Zena yang mendengar itu tampak emosi lalu mengguyur Lilia dengan air es yang dibawanya.
“Sok kecantikan ya cewek satu ini. Muka kayak p*lacur aja kebanyakan gaya godain pacar orang,” ucap Zena dengan emosi.
“Hah? Nggak usah ngomong ngawur ya!”
Fani yang saat itu baru kembali dari kantin langsung menuju tempat Lilia yang sedang dikelilingi kakak kelas itu.
Salah satu kakak kelas itu ditarik lalu dihempaskan ke lantai.
Semua kakak kelas itu terkejut. Fani yang melihat rambut dan seragam Lilia yang basah langsung emosi.
“Bangs*t! Siapa yang lakuin ini?!”
Teriakan Fani yang menggema itu membuat kakak kelas itu bergidik. Zena yang masih memegang gelas es itu menjatuhkan gelas plastik itu.
Fani langsung menyengkeram kerahnya.
“Eh bab*, lu cari ribut ya?”
Plakk…
Tanpa menahan diri, Fani menampar pipi Zena. Semua siswa yang melihat itu hanya diam.
“Kalian nih udah kelas 3 masih aja cari gara-gara. Seharusnya orang t*lol kayak kalian itu minta doa ke adek kelasnya biar bisa lulus,” ucap Fani dengan ekspresi marah.
Saat Zena ingin membalas tamparan, Fani tak menghindar dan membiarkan pipinya terkena tamparan.
Fani tersenyum sinis lalu beberapa detik kemudian terdengar suara teriakan dari guru.
“Kalian semua berhenti!”
Fani kembali ke posisi semula dengan ekspresi tak merasa bersalah sedangkan Lilia mengambil bukunya yang dijatuhkan ke lantai.
“Kalian semua ikut saya ke kantor!"
Kelima kakak kelas, Lilia, Fani dan Gavin mengikuti guru itu. Setelah tiba di ruang guru, semua siswa itu berbaris.
“Gavin kenapa kamu ikut kesini?” tanya sang guru.
“Saya ketua kelas X B dan sekaligus saksi kejadian tadi pak,” ucap Gavin tegas.
“Ya sudah… seka-”
“Pak, mendingan biarin Lilia ganti baju dulu, nanti dia masuk angin,” ucap Fani menyela.
Guru itu tampak kesal karena perkataannya disela, namun pak Bili setuju dengan ucapan Fani.
Secara kebetulan Reza sedang ada di ruang guru karena datang terlambat.
“Reza, kemari sebentar,” pinta sang guru.
Reza dengan ekspresi bingung mendekat.
“Lepas jaket kamu biar dipakai Lilia dulu,” ucap guru itu meminta dengan ekspresi memaksa.
Guru yang sekaligus wali kelas Reza itu membuat laki-laki bermata hitam tersebut terpaksa menurutinya.
“Tapi pak,” sela Fani.
Guru itu memasang ekspresi serius. “Saya ingin masalah ini cepat selesai. Lilia cepat pakai jaket Reza dulu, ganti di toilet guru biar cepat.”
Lilia menurut, tanpa mengucapkan apapun langsung menerima jaket yang disodorkan Reza.
Lilia pun dengan cepat berganti dengan jaket yang dipinjam dari Reza dan mengeringkan rambutnya dengan tisu yang tersedia di toilet guru lalu kembali dengan cepat dan ikut berdiri di sebelah Fani.
Sang guru pun meminta penjelasan dari semua siswa. Berkat Gavin yang merupakan ketua kelas memberi kesaksian, hanya Fani yang dinasehati sedikit sedangkan semua kakak kelas itu diberi hukuman.
“Pak, ini nggak adil!” ucap Zena sambil memegang pipinya yang masih terasa sakit.
“Nggak adil gimana? Kamu kan juga sudah menampar Fani. Kalian sudah kelas tiga harusnya ngasih contoh yang baik ke adik kelas. Kenapa malah cari masalah?”
Kelima kakak kelas itu hanya diam. Wali kelas Reza mempersilakan Lilia, Fani dan Gavin kembali ke kelas.
Fani menggerutu sepanjang jalan karena merasa kesal temannya diperlakukan dengan buruk.
“Hah tuh kakak kelas kenapa menggila gitu deh?”
“Entah, katanya aku godain pacarnya. Nggak waras kan? Kenal aja nggak,” ucap Lilia sambil menghela nafas panjang.
“Kamu nggak apa-apa pakai jaket itu?” tanya Gavin tiba-tiba.
Lilia dan Fani berpandangan dengan ekspresi bingung.
“Ah sorry, maksud ku biasanya jaket cowo kan kasar kena kulit… eh, mmm lupain, gue baru inget harus nemuin bu Endah, aku duluan ya.” Gavin pun langsung pergi.
Fani tertawa lepas melihat Gavin. “Hahahha, kenapa dah tuh anak ngomong dicampur aku, gue, gak jelas banget.
Lilia baru ingat kalau jaket yang dipakainya adalah jaket milik Reza. Ekspresinya berubah menjadi semakin bingung.
Lilia mencoba memikirkan berbagai kemungkinan, namun otaknya tak memberikan penjelasan apapun.
...◇◇...
Kembali dari flashback...
“Bengong mulu, mikirin apa sih?”
Suara itu membuyarkan lamunan Lilia yang sedang mengingat hal lalu.
“Hehe, cuma keinget kejadian beberapa bulan lalu. Berkat kamu, kehidupan sekolah ku jadi damai dan nggak ada yang berani gangguin,” jawab Lilia sambil tertawa.
Fani ikut tertawa mengenang momen menggelikan itu.
“Ada-ada tuh kakel emang. Oiya btw waktu itu lu balikin jaket Reza kapan? Gue nggak tau,” tanya Fani penasaran.
Lilia menghela nafas. “Jadi gini… aku belum bisa balikin jaket Reza.”
“Hah? Udah 1 bulan loh, kenapa belum dibalikin?”
“Ya gimana, aku udah coba chat buat balikin jaketnya, tapi nggak dibales. Ku datengin ke kelasnya juga kata temennya Reza lama nggak masuk,” ucap Lilia dengan ekspresi khawatir.
Fani tampak berpikir. “1 bulan nggak masuk? Nggak coba tanya wali kelasnya?”
“Udah, Pak Bili bilang Reza izin nggak masuk karena sakit katanya, gimana ya… Wali kelas Reza tuh kayak males jawab gitu tapi kelihatannya nggak marah. Apa Reza sakit beneran?”
Fani diam tampak berpikir. “Lu kayaknya khawatir banget sama anak gak jelas itu.”
Lilia diam sejenak, ia juga baru menyadari jika dirinya sangat sering mengkhawatirkan Reza sejak SMP dulu.
“Aku sebenernya juga masih kesel karena nggak dapet penjelasan apapun, tapi aku mikirnya mungkin aja ada alesan yang emang nggak bisa diomongin Reza.”
Fani hanya diam mendengar ucapan Lilia. Dalam hati ia membenarkan perkataan sahabatnya itu, namun ia terlalu malas untuk memahami orang yang menurutnya tak ingin dipahami.
Melihat Reza yang berubah dan menjadi sering bertengkar dengan siswa lain kadang juga membuat Fani khawatir. Biar bagaimanapun Reza pernah begitu akrab dengan Fani dan Lilia.
Fani hanya menghela nafas panjang. Keduanya diam dalam waktu yang lama dengan pikirannya masing-masing. Sedangkan Lilia masih mencoba memahami kekhawatirannya. Apakah perasaan cemasnya itu sebagai teman atau ada hal lain.
... ◆◇◆◇◆...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Dark p
alur yang menarik😁
2023-07-08
3