Sudah satu jam lebih Deana menunggu Lanang di kamar mereka. Pria itu pamit pergi ke kamar Siska karena wanita itu memintanya datang.
Deana sudah bersiap dengan pakaian seksinya, pakaian yang sebenarnya sangat tidak nyaman untuk dia kenakan. Namun, Deana terpaksa melakukannya untuk mencoba menarik perhatian Lanang, dia juga sampai berdandan dan memakai parfum.
Deana gelisah, dia sudah mengantuk dan sudah merasa risih dengan pakaian minimnya itu. Akhirnya dia memutuskan mengganti pakaiannya dan menjemput Lanang di kamar Siska. Dia harus memberi peringatan kepada Siska tentang status mereka.
Langkah Deana terhenti sebelum menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dia mendongak, menatap ke arah kamar Siska yang pintunya tidak tertutup sempurna. Ada kecemasan dan rasa takut yang membuatnya ragu untuk melangkah.
"Mas Lanang kenapa belum juga keluar dari sana?"
Memantapkan hati, Deana memutuskan menaiki anak tangga perlahan-lahan. Dia melangkah makin mendekat ke arah kamar Siska dan debaran di dadanya makin kuat ketika mendengar suara yang tidak asing baginya.
Suara desah yang saling bersahutan. Deana menggeleng, menolak prasangka dari pikiran dan hatinya sendiri. "Mereka enggak mungkin, kan?"
Jari tangan Deana saling bertaut dan meremat, peluh membasahi dahinya dan dengan langkah yang berat Deana mendekat.
Mulutnya menganga tidak percaya, matanya memanas melihat yang terjadi saat ini, dan tepi-tepi bibirnya berkedut. Dengan tangan gemetar, Deana membuka pintu kamar itu secara paksa membuat kedua orang yang sedang saling menyatu itu terlonjak terkejut.
Deana melangkah mendekat, menatap dengan jelas peluh membasahi tubuh mereka, Lanang berada di atas tubuh Siska dan langsung berguling ke sisi samping wanita bertubuh ramping itu.
"De, Mas bisa jelaskan!" Deana terdiam, hanya terus menyaksikan yang sedang mereka lakukan.
Siska tanpa merasa bersalah, turun dari ranjang dengan tubuh tanpa busana, memunguti pakaiannya dan mengenakannya di depan Deana. Berbeda dengan Lanang memilih untuk menarik selimut yang teronggok di lantai untuk menutupi tubuh polosnya.
"Aku ke kamar mandi dulu, Mas!" Tanpa rasa bersalah, Siska melewati Deana dan masuk ke kamar mandi.
"Ke mana trauma kamu, Mas?" tanya Deana dengan air mata yang sudah tidak mampu lagi dia bendung.
Deana mendekati Lanang, menarik paksa selimut yang menutupi tubuh kekar itu. Dia tersenyum sinis melihat kejantanan suaminya yang masih belum tertidur. "Kamu selalu bilang belum siap untuk lakukan itu sama saya. Saya tidak masalah, Mas. Tapi ... kamu lakukan ini dengan wanita lain?" Suara Deana sudah meninggi. Dia yakin Siska mendengarnya.
Lanang merangkak turun dari ranjang, mengenakan celananya dan menghampiri Deana. "De, Mas bisa jelaskan!"
"Apa? Bilang kalau kamu memang enggak mau punya anak dari wanita jelek kayak aku? Kamu mau jelaskan kalau kamu dijebak sama Siska?" Deana menyeka air matanya dengan asal. Dia mendongak sejenak untuk menahan diri agar tidak makin murka.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Deana memilih keluar dari kamar tersebut. Dia dengan cepat melesat ke kamarnya. Mengemasi semua pakaiannya.
"De, kamu ngapain?" Lanang menahan tangan Deana yang sedang memasuki pakaiannya itu.
"Lepas, Mas!"
"Enggak, De, sebelum kamu dengar penjelasan aku!" kukuh Lanang. Dia makin kuat mencengkeram pergelangan tangan Deana.
"Jelasin apa lagi? Selama seminggu ini kamu selalu jelasin ke saya kalau kamu dijebak sama dia dan terpaksa kalian nikah. Saya percaya, tapi melihat dengan mata sendiri apa yang terjadi barusan, kamu kira saya masih bisa percaya?"
Deana menggigit bibirnya, menahan agar tangisnya tidak pecah. Dia tidak mau terlihat lemah di mata Lanang. Pria yang dia kira setia, tetapi berani berkhianat. Seharusnya, sejak melihat Lanang membawa wanita lain pulang ke rumah, dia tidak lagi percaya.
Lanang menghela napas pelan. Dia melepaskan Deana dan duduk di tepi ranjang. "De, aku memang bohong sama kamu. Tentang trauma itu cuma alasan!"
Deana terhenyak mendengarnya. Sorot mata Lanang makin meyakinkan ucapan barusan yang terlontar. "Apa kamu harus sejahat itu, Mas? Kamu bilang trauma karena melihat sendiri bapak yang sedang berduaan sama selingkuhannya. Kamu ...."
"Aku enggak pernah cinta sama kamu. Itu alasannya!" bentak Lanang. Hal yang tidak pernah Lanang lakukan selama pernikahan mereka.
Deana kini melihat Lanang yang berbeda. Lanang yang lembut dan selalu menatapnya dengan penuh cinta itu, kini menatapnya dengan sorot mata penuh rasa jijik dan suara yang meninggi.
"Semua yang aku katakan selama ini hanya untuk hibur kamu. Aku tahu kamu pasti sakit hati sama ucapan Ibu dan cuma sebatas itu saja! Maaf!"
Deana mengepalkan tangannya. Dia berharap ada keberanian untuk meninju wajah tampan yang selalu dipujanya itu, tetapi rasa kasihan meluluhkan dan menahannya untuk tidak melakukan hal itu.
"Sekali pun kamu enggak pernah cinta sama aku, Mas?" Lanang mengangguk dengan cepat, tanpa pertimbangan terlebih dahulu dan berhasil membuat Deana makin terpuruk.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Deana memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper dan beranjak pergi. Lanang sama sekali tidak menahan atau mengejarnya.
Pria dewasa itu membiarkan saja Deana pergi begitu saja.
"Deana!"
Deana mendengkus kesal, dia menyeka air matanya dan menatap Siska yang berjalan dengan angkuh. "Gimana? Sekarang jelas bukan kalau Lanang itu enggak pernah cinta sama kamu." Tatapan Siska pada tubuh Deana benar-benar menghakimi. Menguliti dan begitu tidak nyaman.
"Kamu pasti yang sudah buat Mas Lanang begitu, kan?"
"Astaga, De, masih saja berpikiran kalau aku yang buat Lanang duain kamu. Enggak banget!" Siska makin mendekat, dia menunjuk dada Deana dengan telunjuknya dan berbisik lirih, "Asal kamu tahu, selama ini Lanang selalu kejar-kejar aku!" Dia menyeringai dan menjauh.
"Kalau kamu kira Lanang enggak jijik sama kamu, kamu salah. Itu juga alasan Lanang enggak pernah bawa kamu ke acara apa pun selama kalian menikah!"
Deana geram. Namun, memilih menahan diri. "Aku yakin kamu sama sekali enggak kenal sama satu pun istri dosen di tempat Lanang ngajar! Karena Lanang selalu bawa aku ke setiap acara mereka. Lanang enggak mau kalau dia dijadikan bahan tertawaan mereka karena punya istri dengan penampilan seperti kamu ini!"
"De ...." Tatapan Deana teralih kepada Lanang yang menghampiri mereka. Pria itu berdiri di samping Siska dan mengenggam tangan wanita itu erat.
"Yang dikatakan sama Siska semuanya benar, Mas?" Deana berharap Lanang akan menjawab tidak, tetapi harapannya seketika pupus saat pria itu menggeleng. Di depan matanya sendiri pria itu mencium punggung tangan Siska erat.
"Kamu tega sama saya, Mas. Apa salah saya?"
"Salah kamu itu karena terlahir jelek dan gemuk!" jawab Siska cepat. "Sudahlah, kalian cerai saja!"
"Mas, kamu enggak akan lakukan itu, kan?" Deana tidak sanggup jika dirinya harus bercerai. Dia tidak mau melepas Lanang begitu saja. "Kamu janji akan selalu ada di samping aku di depan ayah, Mas!"
"Aku akan lakukan itu. Aku sudah enggak sanggup pura-pura lagi untuk bilang kata-kata cinta sama kamu karena wanita yang aku cintai cuma Siska!"
"Saya harap kamu bisa memikirkannya lagi, untuk malam ini kita sama-sama tenangkan diri dulu!"
"Kamu mau ke mana?" tanya Lanang dengan cemas.
"Ke rumah ayah. Saya akan menenangkan diri dan saya harap saat pulang ke rumah ini lagi kamu sudah berubah pikiran!"
Deana menulikan telinganya saat Lanang memanggilnya dan Siska mengumpat untuknya.
Deana memilih untuk tidak mendengarkan kata-kata yang terlontar dari kedua orang itu. Dia tidak mau melepaskan Lanang, pria yang dicintainya dan menganggap pertengkaran tadi hanya sebagai bumbu penambah kelanggengan rumah tangga mereka saja.
"Butuh tumpangan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments