Mempermalukan Mertua

"Lis, menantu kamu suruh istirahatlah, kasihan!"

Deana mengusap peluhnya, sejak pagi hingga sore begini dia terus saja bekerja. Beberapa waktu setelah Lanang pergi ke kampus, Lisma memintanya untuk pergi ke pasar tradisional membeli beberapa bahan masakan, daripada pergi ke swalayan yang jaraknya lebih dekat dengan rumah.

Hemat uang.

Bagi Lisma belanja di pasar tradisional semuanya masih segar-segar dan lebih murah harganya, tidak peduli dengan jarak yang jauh.

"Biarkan saja. Gunanya dia di sini bukan buat leha-leha!" Lisma menghampiri Deana yang sedang mengiris bolu gulung dan menatanya di piring. "Selesai ini langsung bawa ke depan!"

Deana mengangguk, dia tidak perlu memberi suara apa pun kepada mertuanya atau kalimat paling pedas akan terlontar.

"Udah, tinggalin saja dia, Dek. Lagipula Deana itu harus banyak keluarin keringat, biar cepat kurus!"

Deana memperhatikan mertuanya menarik tangan adik iparnya itu menjauh, dia tersenyum tipis menanggapi tatapan kasihan dari wanita yang memiliki postur tubuh tidak berbeda jauh darinya.

Hanya saja, wanita yang dipanggil 'Dek' itu memiliki wajah yang lebih terawat, mulus, sampai-sampai tidak ada satu pun hewan kecil yang dapat hinggap di sana.

Deana menyentuh wajahnya, penuh jerawat. Dia terus berharap suatu saat wajah penuh jerawat ini akan menghilang, berganti wajah mulus yang dikagumi suaminya.

"Huh!" Deana menghela napas. Namun, dia terkejut sampai-sampai pisau yang digunakannya bukan mengiris bolu, tetapi mengiris telunjuknya.

"Kamu mau racuni kita?" Deana menggeleng, terkejut, dan ingin menangis. Namun, dia tidak bisa melakukannya. Saat ini tatapan horor Lisma membuatnya sesak napas, dia seakan sedang dicekik begitu kuat dan membuat peluhnya menetes mengenai piring yang terisi bolu.

"Bu ...." Suara Deana benar-benar tidak bisa keluar. Dia begitu kesusahan menelan ludahnya sendiri saat mertuanya itu mendekat, tanpa kata menarik piring berisi bolu itu dengan kasar.

Deana melirik piring yang beralih ke tangan mertuanya lalu kembali menatap Lisma yang mengelap sisi pinggir piring tersebut. "Kamu ceroboh banget, De. Apa kamu enggak sadar, kalau kamu hampir racuni semua teman-teman Ibu sama napas kamu?"

Dahi Deana berkerut dalam, tidak mengerti kenapa Lisma bicara begitu. Dia menggeleng, menahan tangis saat tatapan mertuanya seakan sedang menelanjanginya. "Ah, sudahlah. Benar kata Dek Ana kamu pasti capek, sekarang kamu ke kamar saja. istirahat!"

Deana merasa lega. Perlahan senyuman tipis tersaji di bibirnya. Dengan cepat Deana mengangguk, dia tidak mau ibu mertuanya berubah pikiran dan lekas beranjak pergi ke kamar.

"Ingat, De, jangan keluar kamar sampai tamu Ibu pulang. Sudah cukup Ibu malu sejak tadi mereka ngomongin kamu terus!" Langkah Deana terhenti sejenak.

Matanya terasa panas, semilir angin yang awalnya menyejukkan perlahan berganti dengan hawa panas, menjelajahi seluruh tubuh berisinya itu. Deana mengangguk dan berlalu pergi.

Benar saja, melewati tamu untuk sampai ke kamar membuat Deana mendapatkan tatapan tidak nyaman, bisik-bisik yang masih terdengar di telinganya.

Senyum yang hendak Deana berikan sebagai keramahan seketika lenyap berganti dengan kekesalan. Dia melangkah ke kamar dengan langkah tergesa sampai akhirnya terjatuh.

'Kasihan Bu Lisma punya menantu yang enggak bisa dibanggakan banget!'

'Malang banget nasibnya Lanang punya istri yang malu-maluin kalau dibawa ke kondangan!'

'Itu istrinya Lanang? Baru tahu deh, pasti Bu Lisma malu punya menantu begitu bentuknya, pantas saja enggak pernah dibawa ke tempat arisan!'

Deana sesegukan di dalam kamar, selama menjadi istri Lanang baru kali ini dia bertemu langsung dengan teman-teman arisan mertuanya. Selama ini, setiap ada acara di rumah, Deana akan disuruh seharian di kamar tanpa dikasih makan atau disuruh berada di dapur dan dilarang ke depan, menghindari siapa pun yang akan melihatnya.

"Apa seburuk itu saya sampai mereka bicara jahat?"

Deana mengusap air matanya saat ponselnya yang sejak pagi terabaikan bergetar di atas nakas. Membaca nama si penelepon, Deana langsung menerimanya.

"Mbak Yum, ada apa?"

"Kok suaranya serak, De? Nangis?"

Deana menggeleng, meski itu percuma karena wanita yang usianya lebih tua darinya itu tidak akan tahu juga. "Enggak, Mbak. Tadi kebanyakan bersin, biasa kena debu!" Deana tertawa kecil di akhir ucapannya.

Dia meringis, menyadari kalau setelah menikah dengan Lanang kemampuan berbohongnya bertambah pesat. Dia makin sering berbohong kepada siapa saja, termasuk dirinya sendiri jika semua baik-baik saja.

"Oh, syukurlah. Sudah lihat chat aku?"

"Belum, Mbak. Memang ada apa?" Deana memang tidak ada waktu untuk sekadar masuk kamar dan memainkan ponselnya karena sibuk belanja dan masak di dapur.

Mendengar helaan napas kasar dari Yumi, Deana mengerutkan dahinya. Bingung.

"Kamu buka deh, nanti kamu juga akan tahu. Udah dulu, ya, Sifa nangis!"

Panggilan langsung terputus, penasaran dengan isi pesan dari tetangga rumahnya itu Deana lekas membuka lima pesan masuk dari Yumi.

[De, suami kamu sama siapa itu? Sepupunya?]

[Tapi, mesra loh. Mereka ke rumah kamu. Aku kira kamu ikut juga]

Deana melihat tiga foto candid yang dikirim Yumi kepadanya.

Foto pertama, Lanang menggenggam tangan seorang wanita yang dia pernah temui sekali. Wanita itu mantan kekasih Lanang, sangat cantik dan seksi. Berbanding terbalik dengan dirinya.

Foto kedua, saat Lanang membuka pintu rumahnya.

Foto ketiga diambil Yumi saat Lanang dan wanita yang Deana ingat namanya Siska itu berpelukan di ruang tamu rumahnya.

"Sedang apa mereka di rumah?"

Deana meremat ponselnya kuat, dadanya terasa seperti sedang terhimpit benda kuat yang membuatnya kesulitan bernapas. Air matanya tanpa permisi mengalir, menyentuh bibirnya yang bergetar dan masuk ke dalam mulut. Terasa asin dan dia memilih menelannya.

[Dia itu sepupu suami kamu?]

Deana hanya membaca pesan yang baru masuk itu, pandangannya kabur karena tangisnya. Deana tidak tahu harus berkata apa, tetapi dia tidak mau cepat berprasangka buruk dengan menganggap mereka memiliki hubungan di belakangnya.

Dengan cepat, Deana mengusap air matanya. Dia meletakkan ponselnya dan pergi ke kamar mandi.

***

"Mas, malam ini kamu sudah siap, kan?" Mungkin jika dihitung sudah ratusan kali Deana menanyakan hal yang sama sekali pernikahan mereka. Deana berharap penuh kepada Lanang yang sedang fokus membaca buku sambil selonjoron di kasur. Malam ini Lanang akan memberinya nafkah batin yang sudah dinanti.

Untuk mempersiapkannya, Deana sampai menggunakan pakaian yang minim, meski tubuhnya malah seperti buntelan.

"Sudah tiga tahun, Mas. Apa kamu masih belum berani?" Lanang menutup bukunya. Dia menaruh buku itu di nakas bersama dengan kacamata yang digunakannya juga.

Pria tersebut mengubah posisinya menghadap Deana yang menatapnya penuh harapan. Senyum Lanang tidak pernah surut dengan kedua tangan memegang kedua pundak Deana.

"De, apa kamu sudah tidak sabar menunggu?" Deana mengangguk. Sudah tiga tahun Deana bersabar dengan kata mandul dari ibunya itu, padahal selama ini dia masih perawan. "Maaf, De, aku masih belum siap dan sama sekali belum berani. Bayang-bayang itu masih menghantui!"

Wajah Lanang mendadak lesu, dia melepaskan Deana dan beranjak turun dari ranjang. Mengabaikan Deana yang diam menatapnya penuh luka.

"Kita sudah sering mencoba, kan, De? Tapi aku masih trauma! Maaf!"

Lanang membuka pintu kamar mereka, hendak keluar dari kamar. Namun, sebelum pergi, Deana menghentikan langkahnya.

"Saya cuma takut, bukan saya yang berhasil menghilangkan trauma kamu, Mas!"

Deana menunduk dan menangis. Dia membiarkan Lanang menatapnya heran lalu memberanikan diri menatap suaminya itu. "Apa maksud kamu?"

Tepi bibir Deana berkedut, dia begitu sulit untuk berucap, mengatakan ketakutannya jika bukan dirinya yang berhasil membuat Lanang mau lepas dari traumanya. "Aku sudah konsultasi ke psikiater, katanya aku harus rileks jika ingin lakukan ini sama kamu. Tapi, harus perlahan, makanya selama ini yang bisa aku lakukan sekadar peluk dan cium kamu. Aku harap kamu mau bersabar!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!