Bab 3

Biyan sadar jika seluruh siswa di kelas memperhatikannya, bahkan saat ia berjalan menuju kelas bersama Ara mereka terang-terangan menatapnya. Awalnya ia pikir mereka menatap gadis yang berjalan bersamanya karena jika di perhatikan gadis bernama Ara itu bisa di bilang cukup menarik. Wajahnya manis dengan mata bulat hazel yang di hias bulu mata lentik, rambut hitam panjang sepinggang, juga tinggi badan yang bisa dibilang cukup tinggi jika di banding gadis seumurannya kebanyakan. Kata simpelnya, Ara itu cantik dan manis. Perangainya yang ceria dan banyak omong juga bisa menjadi poin tambahan. Jika tebakannya benar, mungkin saja Ara seperti idola di Sekolah. Lalu kenapa bisa dekat dengan adiknya?

Bukan berarti ia meragukan kemampuan adiknya dalam menjalin hubungan pertemanan. Meski mereka banyak perbedaan tapi ada satu hal yang sama di antara mereka yaitu sama-sama tidak suka menjadi pusat perhatian. Maka aneh saja bagi Biyan jika memang mereka bisa berteman dekat.

"Abhi, kau benar-benar hilang ingatan?" kali ini anak bernama Ares bertanya. ia duduk di hadapan Biyan dengan raut wajah serius.

"Ya, aku sudah mengatakannya tadi."

Ares meringis. "Ya, maksudku aku tak menyangka kemampuanmu dalam belajar juga ikut hilang."

Ah, tentu saja. Kembar bukan berarti harus sama dalam hal lain juga. Abhinara itu memang pintar dalam hal akademis tapi sangat lemah dalam kegiatan non akademis. Begitu pun Arbiyan, ia sangat ahli dalam hal non akademis tapi sangat buruk jika menyangkut pelajaran. Saking buruknya, semua guru les privat yang di sewa ibunya saat ia tinggal di Luar Negeri mengundurkan diri di hari kedua mengajar. Entah apa yang anak itu lakukan hingga membuat semua orang-orang itu menyerah.

Biyan hanya berdehem saja sebagai respon dan tersenyum tipis.

Ara memukul kepala Ares dengan pulpen yang ia pegang sedari tadi. "Kau takut takkan ada yang bisa kau minta contekan lagi, kan? Makanya belajar sana!"

"Bukan begitu! Kalau Abhi yang menjelaskan otak lemotku ini paham!" sanggah Ares kesal.

"Setidaknya kau mengakui kalau otakmu lemot," tawa Ara pecah dan membuat Ares semakin geram.

Sementara Biyan hanya diam menyimak, kedua teman di hadapannya ini nampak baik pada adiknya. Mungkin mereka memang benar-benar teman Abhi.

"Kalian benar-benar dekat denganku?" tanya Biyan memastikan.

Ares dan Ara yang sedang berdebat langsung menoleh ke arahnya.

"Tentu saja. Kita sudah dekat semenjak jadi siswa baru. Kau membantuku saat aku kehilangan papan namaku saat itu. Jika bukan karena kau, aku pasti dihukum," jelas Ares.

"Ya, kau juga membantuku saat itu," sambung Ara.

"Benarkah? Aku membantumu apa?"

Gadis itu nampak malu memberitahu tapi Biyan tetap ingin tahu jadi ia sengaja diam dan menunggu.

"Kau meminjamkan jaketmu saat aku sedang datang bulan," jawabnya dengan suara pelan.

Oh, memang tipikal Abhi sekali. Si paling baik hati dan selalu membantu orang lain meski sering di salah pahami dan di perlakukan buruk. Anak itu hanya akan tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa. Sifat Abhi yang begitu terkadang membuat Biyan menjadi jengah. Antara terlalu baik atau memang terlalu tolol.

"Apa aku dekat dengan yang lain juga atau hanya kalian saja? Maksudku, ada yang menggangguku terang-terangan?"

Pertanyaan Biyan membuat Ara dan Aris saling melirik satu sama lain. Mereka bingung bagaimana harus menjelaskan situasi padanya.

"Ada apa? Katakan saja, aku perlu tahu untuk membantu memulihkan ingatanku," ucap Biyan beralasan.

Maka kedua anak itu menghela napas dan Ara langsung menceritakan situasi Abhinara selama bersekolah disana. Sedikit banyak Biyan mengerti posisi sang adik. Abhinara tidak begitu di benci tapi juga tidak begitu di sukai. Kebanyakan yang membencinya karena merasa Abhinara hanya berpura-pura baik dan lemah dengan memanfaatkan bentuk tubuhnya yang kecil. Sedangkan beberapa lainnya tidak begitu mempedulikannya tapi senang menjadikan Abhi sebagai bahan gosip. Lalu sisanya memperlakukan Abhi seperti teman mereka lainnya karena merasa tertolong saat Abhi membantu mereka belajar.

Sudah begitu ada berbagai macam panggilan anak itu yang di berikan oleh siswa lainnya yaitu "Tuan Putri" dan "Si banci".

Sialan! Mendengarnya saja membuat Biyan sangat marah. Siapa sih yang membuat nama panggilan itu untuk adiknya?!

Tubuh mereka tidak jauh berbeda, mungkin benar Biyan sedikit lebih tinggi dengan proporsi tubuh yang pas sedangkan Abhi tidak. Tapi bukan berarti langsung mendiskriminasikannya hanya karena sedikit perbedaan itu.

Badan mungil bukan berarti banci dan badan slim bukan berarti Tuan Putri!

Ada apa dengan orang-orang dan seluruh pemikiran sempit mereka?!

"Tapi, sebelum kau absen selama dua minggu lebih kau bilang ada beberapa siswa yang membuatmu tidak nyaman," lanjut Ara.

"Tidak nyaman bagaimana?"

Ara menggeleng. "Aku juga tidak tahu. Kau tidak menjelaskan secara detail. Kau hanya bilang tidak nyaman dengan cara mereka melihatmu. Itu saja."

"Oh, ya? Kau tahu siapa mereka?"

"Entahlah. Kau hanya bilang beberapa dari mereka adalah kakak kelas."

Aha! Salah satu dari mereka pasti terlibat. Ia hanya perlu mencari tahu lebih rinci siapa-siapa saja mereka.

Lama mereka terdiam sebelum Ares teringat ucapan Vano tadi pagi, ia berdehem sembari mengelus tengkuknya pelan.

"Aku baru teringat ucapan Vano tadi pagi tentangmu, Abhi."

Biyan menunjuk dirinya sendiri dengan bingung. "Aku?"

"Ya, dua minggu sebelum kau absen dan menghilang Vano bilang melihatmu keluar dari ruang olahraga. Saat itu kau nampak aneh, pakaianmu berantakan, jalanmu pincang, bahkan wajahmu pucat sekali. Jadi, ia pikir kau benar-benar sakit."

Ara sontak menatap Ares cepat. "Apa?! Kenapa kau baru bilang?!"

"Aku baru ingat! Lagipula Vano yang beritahu aku. Jangan salahkan aku, dong!" protes Ares membela diri.

Mendengar ucapan Ares tanpa sadar membuat Biyan mengepalkan tangannya marah. Ia jadi teringat perkataan Dokter yang di katakan Aris padanya. Kejadian itu bertepatan dengan perubahan sikap Abhi yang tiba-tiba. Jangan bilang saat itu adiknya benar-benar di lecehkan!

Brengsek!

Siapa yang melakukannya?!

Siapa yang berani melukai adiknya?!

"A-Abhi, ka-kau baik? Ada apa? Kepalamu sakit?" tanya Ara cemas saat melihat anak itu yang nampak tidak baik-baik saja.

"Siapa lagi yang ia lihat? Apa ada lainnya?" tanya Biyan pada Ares.

Sayangnya, Ares menggelengkan kepalanya.

"Vano tidak bilang apa-apa soal itu. Kau ingat sesuatu tentang kejadian itu, Abhi?"

Tanpa sadar Biyan menggertakkan giginya kesal tapi ia berusaha bersikap tenang. "Tidak. Aku juga ingin tahu apa yang aku lakukan di ruang olahraga saat itu."

Suasana menjadi sedikit canggung karena perubahan sikap Biyan yang entah kenapa auranya terasa mengerikan. Ara ingin bertanya lebih lanjut apa yang terjadi tapi ia tak dapat membuka mulutnya. Perasaannya mengatakan bahwa remaja di hadapannya ini kemungkinan belum mau mengatakan apa pun.

***

Bel istirahat kedua berbunyi dan Biyan memutuskan untuk menuju kantin sendirian. Ares sedang sibuk menyalin tugas milik Ara sedangkan gadis itu harus mengurus sesuatu di ruang Osis sebagai sekretaris di sana. Sebenarnya tak masalah, ia tak harus selalu pergi dengan mereka tapi kedua teman adiknya itu selalu nampak cemas jika ia sendirian.

Sepanjang jalan menuju kantin ia menjadi bahan perhatian para siswa, entah apa yang membuat mereka begitu tertarik dengannya atau mungkin sang adik lebih tepatnya. Biyan tidak perduli, ia hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dan siapa pelakunya.

Ketika tiba di kantin, ia membeli sebotol soda lalu duduk di tempat yang dekat dengan lapangan basket. Beberapa siswa lelaki sedang bermain basket di sana. Ia jadi teringat kebiasaannya bermain basket selepas pulang sekolah bersama teman-temannya di New York.

Ah, soal mereka ... Ia yakin teman-temannya akan kaget saat mengetahui dirinya saat ini sudah berada di Indonesia karena memang ia tak memberitahu siapa pun.

Sebenarnya dulu pun Biyan sering mengajak Abhi bermain basket dan mengerjai anak itu. Abhi yang tak pandai soal basket jelas selalu kalah dan menjadi korban kejahilan kakaknya. Mengingatnya lagi membuat Biyan tanpa sadar tersenyum.

Ia merindukan Abhinara.

"Woah! Awas!"

Suara teriakan itu diikuti dengan sensasi dingin di bagian seragam depannya yang basah. Segelas jus dingin tumpah dan meninggalkan bekas noda yang menguning di sana. Biyan mendesis dan mendongak, mendapati siswa lain yang nampak kaget karena minumannya tumpah di seragamnya.

"Ma-Maafkan aku! A-aku tersandung!" ucapnya panik.

Tidak, Biyan tahu anak itu tidak sengaja karena pelaku sebenarnya adalah sekumpulan siswa di dekatnya. Mereka sengaja menyandung kaki anak itu hingga minumannya tumpah. Terbukti dari suara kekehan mereka yang terdengar di belakang.

"Aw! Seragam Tuan Putri basah~ Mau kami bantu menggantinya, Tuan Putri?" ledek salah satu dari mereka sembari mengedipkan sebelah matanya seperti sedang menggoda.

"Ayolah~ lepas saja seragam mu~ Aku akan pinjamkan seragamku yang lain. Bagaimana?"

"Ah~ Atau si Tuan Putri malu tubuh mulusnya terlihat? Ey~ tenang saja, hanya sedikit kami sentuh takkan membuatmu hamil, kok! Kau kan pria~"

"Masa, sih? Coba celananya juga di buka~"

Lalu mereka kembali tertawa bersama-sama seolah puas dengan semua hal yang sudah mereka ucapkan. Sedangkan Biyan sedang mati-matian menahan dirinya saat ini. Jadi, selama ia tak ada Abhi sering di perlakukan begini? Anak itu pasti hanya akan tersenyum dan diam makanya mereka tidak berhenti dan terus mengganggunya tanpa henti.

"Lihat tatapan itu! Tuan Putri marah! Aw! Aku takut! Selamatkan aku~"

"Astaga! Abhi!" Ares yang baru datang langsung menghampiri. Melihat seragam temannya yang sudah basah. Ia langsung menatap garang sekumpulan siswa yang memang selalu mengganggu siapa saja.

"Bisa tidak kalian berhenti melakukan hal kekanakan begini?! Kenapa kalian selalu mengganggu Abhi, hah?!"

"Ares, ini bukan urusanmu. Jangan ikut campur."

Ares mendesis, "Rendra!" Ia hampir maju tapi Biyan menahan tangannya. Kemudian ia berdiri sembari mengambil botol minum sodanya lalu membuka dan menuangkannya di atas kepala siswa yang di panggil Bagas tadi.

Semua siswa yang berada di kantin tercengang. Mereka sampai melotot syok melihat kejadian yang dipikir takkan pernah terjadi.

Seorang Abhinara yang terkenal kalem dan baik hati membalas perlakuan orang yang sering mengganggunya?! Wah! Tentu saja itu mengejutkan siapa pun di sana.

Kemudian Biyan dengan santainya menjatuhkan botol itu hingga terkena kepala Rendra dan tersenyum miring.

"Aw~ Apa Pangeran akan marah jika Tuan Putri melakukan ini?" balasnya dengan nada jenaka juga senyuman mengejek.

Emosi Rendra naik hingga wajahnya memerah dan kedua tangannya mengepal. Dari raut wajahnya saja siapa pun bisa tahu bahwa remaja itu akan meledak sebentar lagi.

"Abhinara! Beraninya kau!" teriaknya kesal dan langsung melayangkan tinjunya tiba-tiba.

Semua siswa tercekat bahkan menahan napas, berpikir tamat sudah riwayat Abhi di tangan Rendra juga teman-temannya yang kejam itu. Nyatanya, pukulan Rendra dapat di tahan oleh Biyan yang menangkap pukulan itu dengan mudahnya. Bahkan Rendra sendiri tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Berikutnya tanpa sadar ia memekik karena kepalan tangannya yang di tangkap Biyan langsung di remat kuat oleh remaja itu tanpa ampun.

"Argh!"

"Aku tak percaya di Bully dengan sekumpulan kecoak begini," dengusnya lalu menghempaskan tangan Rendra dan berjalan pergi begitu saja. Sebenarnya ia belum puas, tapi ia masih harus mencari tahu tentang kasus adiknya. Jika terburu-buru, takutnya ia takkan mendapat apa pun.

Biyan memasuki toilet pria untuk membasuh seragamnya yang di penuhi noda kuning yang hampir mengering. Melihat di cermin toilet yang besar lalu menghela napas, noda begini akan sulit dihilangkan. Padahal ini seragam baru, masa baru sehari dan ia harus membeli lagi.

"Abhi!"

Ia menoleh saat mendapati Ara yang berjalan masuk sembari membawa paper bag. Gadis itu dengan santainya memberikan padanya.

"Ares menyuruhku membawakan seragam ini padamu, ia harus segera ke klub Basket karena di cari. Tadi Ares sudah cerita, mereka mengganggumu lagi? Auh! Benar-benar menjengkelkan mereka itu! Untungnya kali ini kau membalas! Aku bangga padamu! Sepertinya ada untungnya juga kau hilang ingatan!" cerocosnya panjang lebar seperti tak ada rem. Kemudian sadar dengan ucapannya dan ia menggeleng panik.

"Maksudku aku bukan bersyukur kau kecelakaan hingga koma dan hilang ingatan! Aku tidak bermaksud begitu! Jangan salah paham! Aku hanya ... hanya ... In-intinya begitu! Ini seragam mu, pakailah!"

Biyan yang bahkan tidak mengatakan apa pun hanya mengerjap dan tersenyum pelan. Ia mengeluarkan seragam itu dan meletakkannya di atas wastafel yang kering. Kemudian tangannya akan melepas kancing seragamnya sebelum ia berhenti dan menoleh ke arah Ara yang masih berdiri di sana.

"Kau masih di sini?

"Ha?"

"Aku akan mengganti seragamku. Aku tidak tahu kau punya hobi semacam itu, Ara," goda Biyan.

Seolah sadar, wajah Ara langsung memerah parah dengan kedua mata bulatnya yang semakin melotot.

"Hya! Aku tidak begitu! Jangan menuduhku!"

"Atau kau senang berfantasi liar tentangku?" kali ini Biyan sengaja membuka tiga kancing seragam hingga dada dan sedikit perutnya terlihat.

Wajah Ara semakin memerah hingga rasanya akan meledak. "Abhi kau gila!" pekiknya yang langsung berlari keluar toilet begitu saja. Sementara Biyan hanya tertawa puas melihat reaksi gadis itu. Lagipula itu salahnya sendiri, kenapa bisa dengan santai memasuki toilet cowok begini. Seharusnya ia lebih mawas diri sebagai seorang gadis.

Sementara Ara sendiri yang sudah kabur dengan wajah memerah itu hanya bisa mendumel sebal sendiri.

"Apa-apaan itu?! Kenapa Abhi jadi berubah menyebalkan?!" kesalnya lalu langkahnya berhenti sejenak saat ia kembali teringat tubuh Abhi yang sedikit terlihat tadi.

Sejak kapan tubuh Abhi memiliki otot-otot begitu?

Ia memang belum pernah melihat Abhi tanpa baju tapi tanpa dilihat pun sudah bisa ia tebak tubuh kurus itu tidak memiliki otot padat dan berisi. Tapi tadi yang ia lihat benar-benar berbeda.

Tubuh itu seksi sekali!

Huh?

"Ya, Tuhan! Aracelli sadar! Kenapa kau jadi berpikir mesum?! Argh! Aku bisa gila!"

"Hey, ada apa denganmu?" suara Ares terdengar di sebelahnya. Ia menatap Ara dengan bingung karena sedari tadi gadis itu berbicara sendiri dan bertingkah seperti orang tak waras.

"Diam."

Kening Ares mengerut bingung, "Lalu kenapa wajahmu memerah? Kau sakit?"

"Antares! Diam!"

"Hya! Aku hanya cemas padamu! Kenapa marah-marah, sih?! Sedang datang bulan, ya?!" balas Ares tak kalah kesal.

Ara hanya mendesis dan berjalan lebih dulu meninggalkan Ares yang semakin bingung.

"Ada apa dengan semua teman-temanku, sih?!"

Terpopuler

Comments

CutiePie

CutiePie

Ini bagus sekali!
Tidak sabar untuk selanjutnya!
semangat ya!

2023-06-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!