Bab 2

"Biyan."

Arbiyan atau biasa di panggil Biyan menoleh dan tersenyum mendapati presensi sang ibu. Wanita itu masuk ke dalam dan langsung memeluk putra sulungnya lembut.

"Kapan tiba, Nak?"

"Jam 3 pagi tadi, Bu. Ini baru jam 6, kenapa ibu sudah bangun? Istirahatlah lagi, Bu." Biyan balas memeluk ibunya masih dengan senyuman tipis.

"Harusnya ibu yang bilang begitu sama kamu. Kamu baru tiba harusnya istirahat lebih lama. Dan kenapa kamu menggunakan seragam sekolah seperti adikmu?" tanyanya heran. Ketika melepas pelukannya tadi, ia baru menyadari pakaian yang di pakai anak itu.

"Ada yang harus Biyan urus, Bu. Oh, iya, apa Abhi ada masalah di Sekolah?"

Wanita itu atau di kenal dengan nama Laras, menggelengkan kepalanya pelan.

"Ibu selalu bertanya padanya tentang Sekolah dan adikmu selalu menjawab semua baik-baik saja. Maka ibu tidak terlalu bertanya lagi. Ada apa? apa menurutmu pelakunya ada di Sekolah?"

"Kemungkinan begitu, Bu. Tapi akan Biyan selidiki dulu. Ibu jangan cemas."

"Abhi anak yang baik. Ia penurut dan tidak pernah membantah, ia juga senang membantu orang lain. Tapi kenapa masih ada yang bersikap jahat padanya? Apa yang sudah mereka lakukan hingga membuat salah satu putraku jadi seperti ini? Hati ibu sakit sekali, Nak." Laras tak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis padahal ia berjanji akan bersikap tegar di hadapan si sulung.

Arbiyan menggertakkan rahangnya kuat, ia mungkin bebal dan keras kepala tapi baginya keluarga adalah hal paling utama dari apa pun. Ia hanya memiliki ibu juga adik kembarnya, maka Biyan akan sangat marah jika ada yang membuat dua orang kesayangannya itu menderita. Melihat sang adik koma bahkan hingga membuat ibu mereka menangis sudah cukup menjadi alasan Biyan untuk membunuh siapa saja di balik kejadian ini.

Ia bersumpah takkan memaafkan siapa pun pelakunya dan akan membalas 100x lipat lebih kejam dari yang di alami Abhinara.

Laras tersenyum meski kedua matanya kembali berkaca-kaca, ia tahu selama ini lebih memperhatikan Abhinara ketimbang Arbiyan karena kondisi tubuhnya. Mungkin karena itulah Arbiyan tumbuh dengan sifat yang keras dan sulit diatur. Laras selalu merasa bersalah tentang hal itu tapi juga bingung bagaimana memperbaikinya. Tapi setidaknya ia tahu bahwa Arbiyan sangat menyayangi adik kembarnya.

"Ibu, jangan menangis. Biyan janji akan menemukan pelakunya dan memberinya pelajaran."

"Biyan, ibu minta maaf jika selama ini lebih memperhatikan adikmu dan menyakitimu.Tapi rasa sayang ibu sama besarnya untuk kalian berdua karena kalian adalah harta ibu yang paling berharga," lirihnya pelan sembari mengelus rambut si sulung.

"Tidak apa. Biyan mengerti, Bu. Ibu sudah sarapan? Ayo sarapan bersama. Sebentar lagi Kak Aris datang membawa kita sarapan."

"Baiklah. Untuk sementara Ibu meminta Aris yang menghandle semua pekerjaan ibu dulu agar ibu bisa fokus pada kesembuhan adikmu. Jadi, kau pun tak usah cemas dan lakukan apa yang harus kau lakukan."

"Iya, Bu. Jangan cemas."

***

Di Sekolah Abhinara,

"Res, sudah dua minggu lebih Abhi tidak masuk. Ada apa? Kau tahu sesuatu?" tanya seorang anak perempuan sembari duduk di hadapan siswa lelaki yang ia panggil "Res" tadi.

Antares Pramudjati atau biasa di panggil Ares itu mendongak sejenak sebelum fokus pada game di ponselnya.

"Kudengar ia sakit. Kenapa bertanya? Kau rindu padanya, Ara?" kekeh Ares jenaka.

Gadis yang di panggil Ara itu mendesis kesal sembari melempar tisu yang ia pegang dari tadi.

"Tentu saja aku cemas! Kita teman sekelasnya, bodoh! Abhinara tidak pernah absen selama ini. Tidakkah aneh?"

"Mungkin sakitnya parah."

Ara langsung membelalak, "Bisa jadi! Ayo kita jenguk! Masa tidak ada yang menjenguk, sih?"

"Boleh saja, sih. Tapi, kau tahu di mana ia tinggal?"

Hening.

Benar juga. Padahal mereka sudah hampir dua tahun lebih sekelas dan mereka tidak tahu di mana Abhinara tinggal. Mungkin bukan hanya mereka tapi seluruh teman sekelasnya. Abhinara bukan murid pendiam, ia cukup disukai dan memiliki banyak teman termasuk Aracelli dan Antares juga. Meski ada beberapa juga yang tidak suka dan sering mengganggunya hanya karena Abhinara terlihat berbeda dari mereka. Tapi kalau di pikir kembali, selama berteman, Abhi tidak pernah sekali pun menceritakan tentang keluarganya dan di mana ia tinggal. Mereka juga tidak bertanya karena berpikir bahwa itu adalah privasi.

"Aku merasa sangat tidak berguna sebagai teman yang cukup dekat dengannya. Bagaimana mungkin aku tak tahu dimana ia tinggal padahal aku tahu di mana rumahmu!" kesal Ara.

Ares mendengus, "Kenapa menyalahkanku? Ya, sudah di telpon saja."

"Sudah! Tapi nomornya tidak aktif! Aduh! Aku jadi semakin cemas."

"Selamat pagi Ara sayangku~" ucap seorang siswa lelaki lain yang baru saja berjalan masuk ke dalam kelas mereka. Ia duduk di sebelah Ara dengan senyuman lebar. Tapi gadis itu hanya menatapnya datar.

"Sebelas, ini bukan kelasmu! Jangan bikin ribut! Balik kelasmu sana!" cercar Ares.

"Sebelas! Sebelas! Namaku Elevano! Jangan sembarangan merubahnya, sialan!"

Ares mengendikkan bahu cuek, "Bahasa Inggris sebelas apa?"

"Eleven?"

"Nah, tuh tahu."

Ha?

Elevano meloading sejenak sebelum ia sadar maksud Ares barusan, "Itu Eleven! bukan Elevan!"

"Sama saja."

"Aish! Anak ini!"

Sementara Ara hanya menatap mereka berdua datar, setiap ketemu pasti ada saja yang akan selalu diributkan. Entah kenapa mereka berdua seperti tidak cocok satu sama lain.

"Aku ke toilet dulu," pamit Ara yang langsung pergi begitu saja. Sementara Elevano atu Vano hanya mengerjap matanya kaget.

"Gara-gara kau, Ara ku jadi pergi!" protesnya kesal.

"Sadar diri, dong! Justru Ara sangat tidak nyaman denganmu! Pagi-pagi sudah buat ribut di kelas orang!"

Vano mendesis, "Semua karena si cebol itu! Sok lemah sekali sampai menarik perhatian Ara-ku!"

"Hati-hati kalau bicara. Jika Ara dengar, habis kau," peringat Ares dan akan kembali fokus pada gamenya sebelum suara Vano terdengar lagi.

"Ngomong-ngomong, dimana si cebol itu? Akhir-akhir ini aku tidak melihatnya. Bagus, sih. Jadinya tidak menempeli Ara-ku terus," kekeh Vano.

"Entah. Sudah dua minggu lebih tidak masuk. Guru bilang ia ijin sakit. Nomornya juga sudah dihubungi tapi tidak aktif," jelas Ares.

Vano mengangguk saja sebelum ia terdiam sejenak seolah teringat sesuatu. Sepertinya ia sempat melihat Abhi keluar dari ruang olahraga dalam keadaan berantakan juga pincang. Wajahnya juga pucat dengan kedua mata membengkak, setelahnya ia tak melihat anak itu lagi. Tapi kalau di pikir-pikir, apa yang ia lakukan di ruang olahraga? Hari itu bukan jam olahraga kelas mereka.

Jadi, Vano berdehem sembari menggaruk pipinya yang tak gatal dengan kaku.

"Sepertinya aku sempat melihat si cebol sekitar dua minggu lalu. Kau tahu, keadaannya aneh sekali."

Ares meletakkan ponselnya dan memfokusnya atensinya pada Vano, "Aneh bagaimana?"

"Pakaiannya berantakan, jalannya pincang, bahkan wajahnya pucat pasi. Mungkin dia memang sakit parah."

"Tu-tunggu. Di mana kau melihatnya?"

"Di depan ruang olahraga. Ada apa? Terjadi sesuatu?"

***

Tempat lain,

Ara baru saja keluar dari toilet dan mendapati beberapa siswa perempuan berlarian ke arah depan Sekolah.

Ada apa? Ada artis datang atau bagaimana? Kenapa heboh sekali?

Maka ia memberhentikan salah satu siswa dengan cepat.

"Ada apa?"

"Oh! Katanya si anak banci itu berubah jadi tampan! Jadi aku penasaran!" pekiknya dan lanjut berlari.

Hah?

Ara mengerti siapa yang di maksud dengan "Anak banci" karena itu julukan yang di berikan para siswa kepada Abhinara yang memiliki figure badan seperti seorang gadis. Biasanya Ara akan mengamuk memarahi mereka yang mengatai Abhi tapi kali ini ia jadi penasaran dengan yang di maksud anak tadi.

Abhi memang tampan hanya saja ditutupi oleh bentuk tubuhnya saja. Tapi memangnya apa yang salah dengan hal itu? Ia tetap anak lelaki yang normal seperti lainnya. Kenapa mempermasalahkan bentuk tubuhnya?

Jadi, Ara berjalan menuju depan Sekolah seperti siswa-siswa lainnya. Ketika tiba disana ia syok melihat perubahan Abhi yang terlalu signifikan. Sosok itu terlihat seperti Abhi tapi juga bukan.

Sejak kapan Abhinara setinggi itu? Apa sakit membuat pertumbuhannya menjadi pesat?! Memangnya bisa?!

Tapi kalau di pikir kembali, Abhinara memang tidak sependek itu juga, sih. Ia termasuk tinggi hanya saja tubuhnya terlalu slim untuk ukuran remaja pria. Meski tingkahnya tidak kemayu dan feminim, tetap saja beberapa siswa menyebutnya "si banci" hanya karena mereka iri dengan bentuk badannya.

Aneh sekali.

Bahkan tidak ada aura manis seperti seorang gadis lagi. Justru kali ini Abhi terlihat lebih maskulin tapi vibenya sedikit mengerikan. Jika biasanya Abhi akan tersenyum dan menyapa lainnya, kali ini wajahnya benar-benar datar dengan raut wajah tidak perduli sekitarnya.

Dan wow! Dimana kacamata besarnya? Lalu kenapa cara pakai seragamnya berantakan begitu meski terlihat keren. Ini benar-benar Abhi yang sama?

Karena penasaran, Ara langsung berjalan mendekati Abhi dengan cepat dan berhenti di depan anak itu.

"Abhi, ikut aku," katanya dan berbalik pergi tapi pergerakannya terhenti karena merasa Abhi tidak mengikutinya. Benar saja, saat berbalik ia malah mendapati Abhi hanya berdiri diam menatapnya dengan tatapan bingung. Maka Ara mendekat lagi dan langsung menarik tangan Abhi cepat.

"Kenapa diam saja? Ayo!"

***

Dibelakang Sekolah, Ara melepas tangan Abhi dan bersedekap.

"Abhi, kau sakit apa selama dua minggu? Dan kenapa kau berubah begini? Kau seperti orang lain tahu. Aku sampai benar-benar tak bisa berkata-kata saat melihatmu tadi. Pokoknya, apa kau sudah sembuh? Sakitmu tidak parah, kan? Atau terjadi sesuatu? Kau bisa cerita padaku atau pada Ares. Jangan diam saja, jadi kami bisa membantumu kalau kau ada masalah," ucap Ara panjang lebar.

Sementara itu Abhi yang ternyata adalah Biyan hanya diam menatap gadis itu. Lebih tepatnya sedang melihat apakah gadis di hadapannya ini ada sangkut pautnya dengan kejadian yang di alami adiknya atau tidak.

"Kau dengar tidak, sih? Dari tadi aku bicara denganmu," desis Ara.

"Kau ... siapa?"

Huh?

Ara loading.

"Abhi, kau bercanda? Ini tidak lucu kalau iya. Aku cemas padamu karena kau tak ada kabar dua minggu lebih. Sudah begitu ponselmu mati! Serius, kau ada masalah?"

"Aku tidak bercanda. Kau siapa?"

"Aku teman sekelasmu, Abhinara! Kau menjengkelkan sekali hari ini!"

"Ah, maaf. Aku terlibat kecelakaan dua minggu yang lalu dan sebagian ingatanku hilang termasuk tentangmu juga teman-teman yang lain," kata Biyan memberi alasan.

Ara sontak membelalak syok sembari memutar-mutar tubuh Biyan kekiri dan ke kanan bahkan ia memiringkan kepala Biyan juga untuk melihat ada bekas luka atau tidak.

"Serius?! Kenapa tidak bilang apa apapun?! Kau terluka parah?!"

Biyan melepaskan tangan Ara dari wajahnya dan tersenyum, "Lumayan, makanya aku sempat koma di Rumah sakit."

Tak di sangka kedua mata Ara malah berair, gadis itu akan menangis tapi ia menahan dirinya.

"Harusnya kau beritahu kami! Aku cemas sekali karena hilang kabar darimu, Abhi! Apa cuma aku dan Ares yang menganggapmu teman?!"

"Maaf," hanya itu yang Biyan ucapkan. Ia bingung kenapa gadis di hadapannya ini bersikap begitu. Apa Abhi benar-benar temannya? Atau gadis itu memiliki perasaan pada adiknya?

"Ka-kau benar-benar tidak ingat aku?"

"Tidak. Maaf."

Ara menghapus air matanya cepat dan tersenyum, "Baiklah, biar ku perkenalkan ulang. Namaku Aracelli Xena Maheswari. Teman-teman yang lain biasa memanggilku Celli tapi kau dan Ares memanggilku Ara. Sudah ingat?"

Biyan menggeleng, "Tidak."

Bisa ia lihat raut wajah gadis itu yang kecewa sebelum berubah kembali dengan tersenyum, "Tak apa. Aku dan Ares akan membantumu. Ayo kita ke kelas."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!