Rumah Sakit xxx, pukul 4 dini hari.
Arbiyan duduk di pinggir ranjang Rumah sakit di mana adik kembarnya Abhinara terbaring. Ia baru tiba di Indonesia sekitar pukul tiga pagi dan langsung menuju Rumah Sakit tanpa pulang ke Rumahnya lebih dulu. Ia menatap keadaan sang adik yang memang terlihat buruk. Wajahnya menirus dengan tubuh yang semakin kurus seperti tidak di beri makan. Ia tahu tubuh adiknya bisa dibilang lebih kecil darinya meski mereka adalah saudara kembar tapi bukan berarti sekurus ini. Kondisi tubuh yang berbeda membuat Abhinara sering sekali sakit dan keluar masuk Rumah Sakit semenjak mereka kecil. Maka dari itu hampir seluruh perhatian ibunya akan di berikan pada sang adik. Arbiyan tidak mengeluh atau merasa iri karena ia sadar bahwa Abhinara memang membutuhkan hal itu. Jadi, tidak mungkin ibu mereka akan mengabaikan kesehatan adiknya.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Abhinara mungkin termasuk anak yang pemalu tapi ia bukan pembuat onar seperti dirinya. Anak itu cenderung lebih penurut dan tidak neko-neko, selalu melakukan semuanya sesuai aturan dan terorganisir, tidak melanggar peraturan, juga tidak pernah membantah. Begitu berbanding terbalik dengan Arbiyan yang selalu membuat sang Ibu pusing dengan kelakuannya. Jika Abhinara terlihat seperti malaikat berhati lembut yang baik, maka Arbiyan adalah sosok iblis pembuat onar yang meresahkan. Mereka kembar tapi bagaikan dua sisi uang koin yang berbeda.
Meski begitu, Arbiyan sangat menyayangi Abhinara dan selalu melindunginya dari teman-teman mereka yang sering mengganggu.
Namun, dengan sifat Arbiyan yang sulit di kontrol membuatnya sering terlibat perkelahian antar sekolah bahkan hingga di keluarkan dari Sekolah beberapa kali. Merasa begitu putus asa dengan kelakuan si kembar sulung, membuat sang ibu mau tak mau mengirimnya ke luar negeri untuk sementara. Walaupun kenyataannya, kelakuan Arbiyan justru lebih liar di Negara yang serba bebas itu.
Setelah terpisah selama setahun dan tidak bertemu dengan Abhinara, kini saat ia kembali malah di sambut dengan kondisi sang adik yang memprihatinkan.
"Biyan."
Ia menoleh dan mendapati seorang pria berusia di atas 30-an berjalan masuk dan mendekatinya.
"Kak Aris."
Aris Prasetyo merupakan sekretaris ibunya di Perusahaan keluarga mereka. Ia sudah lama bekerja dengan ibu mereka hingga cukup akrab dengan si kembar. Makanya merupakan salah satu orang kepercayaan keluarga mereka di mana pria itu juga sudah dianggap sebagai kakak oleh si kembar.
"Istirahatlah, kau nampak lelah."
Arbiyan menggeleng pelan."Kak, apa yang terjadi? Kenapa Abhi mencoba bunuh diri?"
Pria dewasa itu menghela napas pelan. "Aku juga tidak begitu tahu. Tapi sekitar dua minggu yang lalu saat Abhi pulang dari sekolah, ia langsung mengurung dirinya di kamar. Tidak menggubris panggilan siapa pun termasuk Ibu kalian. Beberapa kali mendengar suara ribut bahkan teriakan di dalam kamar dan membuat ibu kalian panik. Aku mendobrak pintu kamar untuk memastikan keadaannya, kondisi kamar Abhi benar-benar berantakan saat itu. Beberapa benda pecah di lantai hingga cermin disana. Beberapa kali kami bertanya padanya ada apa, kenapa, apa yang membuatnya seperti ini. Tapi Abhi menolak bicara, ia hanya terus menangis dan berteriak seperti orang tak waras. Anehnya saat aku akan menyentuh tangannya, Abhi langsung berteriak histeris seolah ia ketakutan," jelas Aris panjang lebar.
Tanpa sadar, Arbiyan meremat kedua tangannya dengan rahang mengeras. Mendengar seluruh penjelasan Aris membuat darahnya mendidih bahkan ia seperti akan mengamuk jika tak ingat di mana dirinya saat ini.
"Kami sempat membawanya ke Dokter tapi ia memberikan respon yang sama saat Dokter akan menyentuhnya untuk di periksa. Dokter menyarankan untuk membawanya ke bagian spesialis kejiwaan melihat dari tingkahnya."
Arbiyan hanya diam. Tidak memberi tanggapan apa pun dan menunggu Aris menyelesaikan ucapannya.
"Jadi kami mengikuti saran Dokter dan membawanya ke sana."
Hening.
Bukan Aris tidak mau melanjutkan penjelasannya tapi ia seperti tak sanggup untuk melanjutkannya. Seolah-olah kata-kata yang sudah ia siapkan tersangkut di kerongkongannya dan membuatnya sesak.
"Kak Aris, Lanjutkan. Apa kata Dokter?"
"Dokter bilang, dari gejala yang ditimbulkan kemungkinan besar Abhinara mengalami kekerasan secara seksual hingga membuatnya mengalami trauma yang mengguncang psikisnya."
Kedua mata Arbiyan langsung membelalak syok, ia sontak menatap Aris untuk memastikan bahwa ucapan pria itu bukanlah suatu kebohongan. Dalam sekejap emosi Arbiyan langsung memuncak bahkan lebih parah. Gurat-gurat urat menimbul di sekitar leher hingga rahangnya bahkan gertakan giginya terdengar.
Siapa pun pasti akan langsung tahu jika saat ini Arbiyan tengah menahan marahnya yang teramat sangat.
"Maksudmu ... seseorang telah melecehkan adikku?" tanyanya lagi memastikan meski setiap kata yang ia lontarkan terasa begitu berat.
"Ya."
Sial! Arbiyan terlalu marah hingga airmata langsung jatuh begitu saja. Kedua tangannya mengepal bahkan hingga seluruh tubuhnya gemetar karena seluruh perasaan emosinya yang membludak.
Tidak, ia tak bisa menahan dirinya lagi. Arbiyan harus pergi dari tempat ini sekarang untuk melampiaskan emosinya. Maka anak itu langsung berdiri dan berjalan keluar dengan cepat begitu saja mengabaikan panggilan Aris.
Sementara Arbiyan terus memacu kakinya menaiki tangga darurat satu persatu tanpa henti. Tidak perduli meski ia kehabisan napas sekali pun.
Membuka kasar pintu atap Rumah Sakit tersebut kemudian jatuh berlutut sembari memukul-mukul dadanya.
Ia kesulitan bernapas, seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya kuat. Airmata semakin jatuh tak bisa ia bendung lagi, kemudian berteriak kuat melampiaskan emosinya. Mengumpat bahkan memukul atap beton dengan tangannya kuat. Menyalahkan dirinya sendiri hingga sang adik mengalami hal buruk itu.
Jika saja ia lebih menurut dan tidak membuat onar, mungkin hingga saat ini Abhinara masih akan tersenyum seperti biasanya.
Ini salahnya.
Semua salahnya.
"Biyan!" Aris memekik panik dengan napas terengah. Mendekati anak remaja itu cepat, melepas jas kerjanya dan memakaikan di tubuh Arbiyan yang mendingin. Bisa ia rasakan tubuh anak itu gemetar hebat, maka Aris langsung memeluknya mencoba menenangkan.
"Biyan, tenangkan dirimu! Tarik napas!"
"Salahku! Salahku, kak!"
"Tidak! Bukan salahmu! Jadi, tenangkan dirimu."
Tangisan Arbiyan kembali terdengar tapi kali ini lebih pelan, membiarkan Aris memeluknya sekedar menenangkan. Seumur hidupnya, Arbiyan tidak pernah menangis se-pilu ini bahkan hingga napasnya sesak. Meski ia di hajar saat berkelahi, atau di marah oleh guru bahkan hingga di keluarkan dari Sekolah, atau membuat ibunya marah sampai memukulnya. Arbiyan tidak pernah menangis hingga seperti ini.
Arbiyan tidak pernah merasa sehancur ini.
Cukup lama anak itu melampiaskan emosinya hingga ia merasa cukup tenang saat ini dan bisa berpikir lebih jernih.
"Merasa lebih baik?"
"Ya."
"Aku tahu tidak seharusnya aku mengatakan ini padamu tapi kau harus kuat Biyan, terutama di hadapan Ibumu."
Ah, benar.
"Kak, bagaimana Ibu?"
"Reaksinya sama sepertimu bahkan hingga pingsan."
Arbiyan menoleh cepat, "Ibu baik-baik saja, kan?!"
Aris tersenyum dan mengangguk. "Iya, jangan cemas. Setelah menangis seharian, saat ini beliau tengah tertidur di kamar rawat sebelah."
Maka Arbiyan langsung menghela napas lega, setidaknya sang ibu baik-baik saja.
"Tolong bantu jaga ibu, Kak."
"Tentu saja."
"Lalu soal Abhi, siapa pelakunya?" tanya Arbiyan.
Kali ini Aris menggeleng dengan gurat kecewa. "Kami belum tahu. Aku sedang menyelidiki hal ini secara rahasia. Jika publik tahu, aku cemas akan semakin mengguncang psikis Abhi. Aku harap kau mengerti, Biyan."
"Tidak. Kakak sudah melakukan hal yang benar. Kalau begitu aku juga akan melakukan bagianku."
"Apa maksudmu?"
"Kak Aris, tolong siapkan seragam Sekolah seperti milik Abhi sesuai ukuranku."
Aris sempat terdiam sebelum ia menyadari maksud dari anak itu.
"Biyan, jangan bilang..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
CutiePie
😭😭
2023-06-26
1