Sudah tiga puluh menit lebih Qila menghabiskan waktu untuk lari pagi bersama Dion. Berangkat jam setengah enam dari rumah, supaya selesai tidak terlalu siang. Nafasnya mulai tidak beraturan karena mengikuti langkah lelaki itu yang tidak bisa dibilang biasa saja. Matahari baru muncul setengahnya. Hari ini sepertinya cuaca tidak akan terlalu panas.
Belum banyak orang yang berkeliaran memadati jalanan di gang depan yang biasanya banyak pembeli sayur. Belum juga ada pedagang kaki lima yang berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hanya ada beberapa orang saja di jalanan ini yang mungkin bisa dihitung dengan jari.
Dion menyuruh Qila untuk duduk di bangku taman kompleks perumahannya. Dia pergi membeli minum di kedai yang dihitung-hitung berjarak lima belas meter dari tempatnya duduk.
Qila menyeka keringatnya menggunakan handuk kecil. Dia merasa gerah. Sepertinya dia salah mengenakan pakaian. Biasanya dia hanya mengenakan celana training dan kaos oblong. Namun, sekarang ditambah hoodie yang menjadi alasan tubuhnya bertambah gerah.
Dari tempat duduknya, Qila bisa melihat Dion yang berjalan ke arahnya sambil membawa dua botol air mineral dan sekantung plastik yang dia tidak tau isinya. Lelaki itu berjalan lamban-lamban dan sesekali menjawab sapaan Ibu-Ibu yang berpapasan dengannya sambil tersenyum. Salah satu tangannya menyisir rambutnya ke belakang. Rambutnya sudah mulai lepek karena keringat. Kali ini dia mengenakan hoodie berwarna sama seperti Qila, hitam. Bedanya lelaki itu tidak memakai celana training panjang sepertinya. Dia memakai celana kolor.
Qila mengucek-ngucek matanya, karena tiba-tiba pandangannya kabur. Matanya terasa sangat perih dan berair, seperti sedang mengiris bawang. Lalu dia mengejapkan matanya berulang kali hingga pandanganya kembali normal. Telinganya berdenging.
Qila kembali melihat Dion. Dia tercengang dan ternganga keheranan ketika melihat ada sesuatu yang keluar dari tubuh Dion. Sesuatu berwarna hitam, tetapi agak lebur itu keluar dengan pelan, lalu melesat dan menghilang dalam sekejap. Qila mengucek-ngucek kedua matanya dan menepuk kedua pipinya sendiri, berusaha menggugah dari lamunannya yang ngawur. Berhalusinasi tinggi dan semakin menggila. Pasti beberapa menit setelah ini dia akan gila dengan pertanyaan-pertanyaan konyol. Kembali mendapati kejadian janggal yang penuh ilusi dan tidak mudah dipercayai.
Suara Dion memecah dalam keheningan. Qila terkejut. Lelaki itu menyerahkan sebotol air mineral yang sudah dibuka tutupnya, lalu bertanya, "Suka bubur ayam, kan?"
Qila tidak tahu mengapa saat Dion sudah di dekatnya, telinganya berhenti berdenging dan penglihatannya kembali normal.
Qila mengangguk sebagai jawaban pertanyaan lelaki itu tadi, lalu membuka styrofoam yang membungkus bubur ayam. Perutnya berbunyi keroncongan saat wangi khas dari bubur ayam itu menguar masuk ke indra penciumannya, membuat dia tidak bisa menunda untuk tidak memakannya dengan lahap.
Tangannya dengan lihai menyerok satu sendok bubur, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya. Terlalu sibuk dengan makanannya, Qila terkejut saat Dion tidak duduk di sebelahnya. Lelaki itu menghilang entah kemana. Qila hanya mencoba berfikir positif kalau lelaki itu pergi ke wc umum untuk buang air kecil yang terletak tidak jauh dari sini dan lupa berpamitan.
Qila terus menelan buburnya sambil melihat ke depan. Pikirannya kembali melayang. Akhir-akhir ini dirinya sering mengalami hal yang tidak biasanya.
Saat Qila melihat buburnya, dia menjerit ketika mendapati beberapa cacing menggeliat di atasnya. Spontan dia melempar styrofoam itu ke depan, lalu bangkit dari duduknya. Dia meludahkan bubur yang tadi dia kunyah ke tanah.
Lidahnya terasa kelu dan perutnya tiba-tiba mual. Kakinya berjalan mundur, menjauh dari tempat itu. Dia menggeleng ketakutan saat melihat kucing dengan rakus memakan bubur yang sudah dia buang. Kucing itu mendadak menatap Qila dengan mata merah. Wajahnya penuh luka, dagingnya mengelupas.
Kucing itu tanpa Qila sangka mendekat ke arahnya dan mencakar kakinya. Qila sangat terkejut. Ia takut. Di taman ini hanya ada dirinya. Dion belum kembali.
Qila langsung berlari, karena kucing itu terus mengikuti dirinya. Sialnya ia tersandung akar pohon dan terjatuh. Kucing itu langsung menaiki tubuhnya dan mulai menjilati tangannya. Qila yang mempunyai rasa iba kepada hewan tidak bisa dengan mudah melempar kucing itu sembarangan.
Penglihatan Qila teralihkan saat melihat Dion sedang berdiri di dekat semak-semak. Lelaki itu tertawa, membuat Qila yang hendak memanggil namanya terurungkan seketika. Qila masih bisa melihat dengan jelas kalau Dion berdidi seorang diri.
Dion tiba-tiba berbalik menghadap Qila. Ia tersenyum miring. Mulutnya berlumuran darah. Punggung tangannya sibuk menyeka cairan merah yang mulai mengalir ke dagu. Kaki Qila terasa lemas. Pikirannya kalut dan tidak bisa berfikir keras apa yang mau lelaki itu lakukan. Sekonyong-konyong Dion berlari, seperti hendak menerkamnya. Qila menjerit, sampai dia tidak mengingat apa-apa lagi setelah itu.
•••
Qila terbangun. Nafasnya tidak beraturan. Di sampingnya ada Ibunya yang langsung merengkuhnya, lalu mengelus puncak rambutnya dengan penuh kasih sayang. Di depan ranjangnya ada kedua kakaknya dan di sofa ada Dion dengan Ayahnya. Dia beringsut mundur ketika melihat pergerakan Dion yang berdiri hendak menuju ke arahnya.
"P-pergi!" perinta Qila sedikit terbata. Bibirnya bergetar menahan isak tangis. Ingatan buruk di taman tadi mengusik pikirannya.
Ibu mengeratkan pelukannya. Dia mengejapkan matanya memberi isyarat kepada Ayah, lalu Ayah menarik tangan Dion, membawanya keluar kamar. Ibu berkata, "Sstt, udah-sudah. Qila enggak boleh nangis lagi. Enggak ada apa-apa, kok. Dion sudah keluar. Tenang, ya? Kan, di sini ada Ibu sama Kakak."
Indri duduk di sebelah kiri Qila. Dia tersenyum.
"Bontot, kenapa? Apa yang dirasakan? Kamu enggak enak badan, ya?" Qila menggeleng. Dia baik-baik saja. Namun, beda dengan otaknya yang masih bekerja dan seakan-akan merayu untuk bertanya kepada mereka bahwa Dion ini ada masalah apa? Kenapa dia terus-terusan menghantuinya?
"Kalau ada apa-apa, cerita sama kita, ya?"
"Bontot, kok kamu bisa pingsan? Enggak elit banget tau. Mending kamu salto keliling kompleks. Itu baru elit," kata Yuli, membuat Qila langsung menyeka bekas aliran air matanya, lalu mendengus kesal.
"Iya, elit. Entar sekalian masuk YouTube biar viral. Saking elitnya, mungkin aku bisa muntah-muntah setelah itu."
Qila sudah merasa baik-baik saja. Ibu, Indri, dan Yuli sudah keluar kamar setelah berpamitan bahwa mereka akan menjenguk bayi dari anak tetangganya. Qila segera menghubungi Putri untuk mempercepat acara janji mereka hari ini. Dia butuh udara segar dan suasana keramaian kota yang mungkin bisa memperbaiki suasana hatinya menjadi lebih baik.
Qila beranjak dari duduknya, kemudian berjalan keluar kamar. Kakinya membawanya ke teras depan rumah, berniat untuk duduk di teras dan mencari udara segar. Dia mendapati Dion sedang duduk di kursi. Lelaki itu ada di ruang keluarga sedang menikmati kopi dengan setoples kue roma kelapa. Dion melihat ke arahnya, namun Qila acuhkan.
"Woy, Bontot." Qila berhenti sejenak, lalu kembali melanjutkan langkahnya tanpa berniat berbalik dan menjawab panggilan itu.
Tangan Qila ditarik, dirinya didudukkan di kursi teras depan rumah. Dion menatapnya lekat-lekat.
"Minggir," perintah Qila. Suaranya sedikit bergetar. Tangannya menepis kedua tangan Dion yang sedang menangkup wajahnya, seperti sedang mengecek apakah ada luka atau tidak.
Dion berdecak. Dia memutari kursi untuk duduk berhadapan dengan Qila. Kakinya diangkat ke atas, lalu disilangkan. Salah satu tangannya menyangga dagunya dengan sikut bertumpu pada meja.
"Ya, elah. Takut banget sama gue sekarang. Gue cuman berlagak seperti orang yang mahir psikolog doang, kok. Siapa tau gue bisa nebak apa yang terjadi sama lo."
"Aneh!" seru Qila tanpa berniat melihat lawan bicara.
"Aneh-aneh gini masih hidup, loh. Gue juga orang yang ganteng."
Qila mendengus kesal. Terbesit niat di dalam hatinya untuk menceritakan segala kejadian janggal kepada Dion. Sedetik kemudian bibirnya mulai terbuka, mengucapkan satu per satu patah kata dengan hati-hati setelah mendapat izin bercerita dari lelaki itu dan memantapkan hatinya supaya tidak takut sendiri.
Dion sedikit tercengang, lalu menggeleng. Terkadang dia tertawa, membuat Qila tidak yakin melanjutkan kalimatnya.
Dion menepuk jidatnya, menjeda Qila yang sedang berbicara. Lelaki itu masuk ke dalam rumah, kemudian kembali dengan membawa secangkir kopi yang tadi dia minum.
Gerbang rumah tiba-tiba berdecit, lalu terbuka seperempatnya. Angin berembus sangat kencang. Langit masih terang dan terik matahari sangat panas. Sepertinya ibu lupa mengunci pintu gerbang, kemudian pergi begitu saja. Qila mengacuhkannya.
Kopi dalam gelas sudah habis ditenggak. Dion berdiri dan tubuhnya direntangkan sampai tulangnya berbunyi. Qila terus memandanginya untuk menunggu respon yang dia berikan.
Qila menganga saat Dion berkata, "Zaman sekarang ada setan? Ngaco lo!" Lelaki itu masuk ke dalam rumah dengan membawa cangkir kosongnya, meninggalkan Qila yang terdiam. Dia butuh pendapat bukan perkataan menyepelekan. Gerbang itu kembali berdecit. Qila berjalan ke arahnya. Dia melongok ke luar rumah sebentar. Jalanan sepi, hanya ada beberapa remaja putri yang duduk-duduk di depan rumah orang lain untuk mencuri wifi. Dia menutup gerbang dan menguncinya, lalu kembali masuk ke dalam rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments