Pukul enam belas lebih lima menit. Matahari mulai surut tenggelam, menyisakan sinar kelabu yang memancar sempurna. Awan-awan sesekali menutupi sinar matahari, membuat sinarnya redup dalam sekejap, lalu terang kembali.
Siswa-siswi mulai hilir-mudik memenuhi trotoar. Berdesak-desakkan barang sejenak, lalu melenggang. Teriakkan supir angkot saling bertubrukan dengan kenet bus untuk mendapatkan penumpang. Kemacetan mulai terjadi karena orang-orang yang pulang kerjapun mulai memenuhi jalanan. Barangkali salah satu dari mereka ada yang tidak pulang, tetapi mampir ke sana-sini, menghabiskan uang sambil menikmati indahnya sore hari, dan pulang hingga langit silih berganti.
Sepulang sekolah Qila langsung ke rumah karena hari ini tidak ada acara yang melelahkan seperti kemarin. Posisinya memang sudah menduduki bangku kelas tiga SMA, tetapi berbagai kegiatan terus mengiringi hingga membuatnya lelah dan berakhir terkapar di kasur tanpa memperdulikan keadaan tubuh yang kotor ataupun berkeringat. Bisa dibilang, Qila sangat sibuk. Pernah waktu itu ayahnya marah perihal tidak makan malam. Padahal, Qila hanya tertidur karena terlalu capek, bukan karena disengaja. Tetapi, ayahnya selalu cerewet dengan embel-embel alasan bahwa dia terlampau khawatir. Qila hanya menerima dengan tulus setiap kata-kata yang dilontarkannya, berusaha menjadi anak yang baik, an menuruti nasihatnya. Cih, kata-kata itu terdengar menjijikan jika didengar.
Qila tersenyum masam jika mengingat kejadian itu kembali.
Rumahnya ternyata sepi. Tidak ada suara-suara berisik barang sedetikpun. Qila melangkah ke arah meja makan untuk mengambil gelas, namun penglihatannya teralihkan oleh secarik kertas berwarna biru di atas meja dengan gambar kartun Upin Ipin di bawahnya.
Pesan dari mama, batinnya, saat membaca nama penulis yang tertera di atas surat. Ia menarik nafas sejenak, lalu dihembuskan perlahan.
Di surat itu tertulis, "Qila, kami semua sedang menghadiri pernikahan teman ayah di Bogor. Kamu jaga diri di rumah baik-baik, ya?"
Qila mengiyakan dalam hati, lalu kembali melanjutkan membaca isi surat itu.
"Maaf, ini semua terbilang sangat mendadak. Ibu juga baru dikabarin tadi pagi setelah kamu berangkat sekolah. Ayah sudah menyuruh Dion untuk menjagamu. Ponselmu sudah ibu kembalikan di atas nakas. Lain kali jangan lupa makan kalau tidak mau uang sakumu dipotong. Atau tidak, ponselmu saja yang disita sebagai gantinya. Kami menyayangimu, Nak."
Qila tersenyum sumringah. Ponselnya sudah kembali. Dia bergegas menuju kamar setelah meminum beberapa gelas air mineral yang diambil dari dalam kulkas. Sesekali dia bersenandung menemani kesendiriannya di rumah ini. Langkah kakinya menggema memenuhi ruangan. Dari lantai atas, dia memutar tubuhnya dan melihat lantai bawah sebentar. Sekelebat bayangan melintas melewati dapur kemudian menghilang di balik tangga. Dia merasa seperti ada orang lain di rumah ini.
Merasa penasaran, Qila kembali menuruni tangga dan melihat ke arah dapur. Tetapi, tidak ada hal apapun terjadi setelahnya. Ia mendengus kesal. Mungkinkah itu hanya halusinasinya saja?
Sekarang sudah jam lima sore. Biasanya Dion sudah pulang kerja. Tetapi, saat ini rumah masih sepi. Tidak terdengar derap langkahnya yang selalu berbunyi dalam kesunyian dan tidak juga terdengar suara merdunya saat menyanyikan lagu-lagu barat yang sangat amburadul. Tidak ada suara gitar yang mengalun merdu atau suara teriakannya yang histeris menghadapi setumpuk berkas yang harus dikerjakan olehnya. Harap-harap mereka tidak membohonginya bahwa Dion menjaganya atau Dion malah ikut bersama mereka dan meninggalkannya sendirian di rumah. Sial!
Kamar Dion bersebelahan dengan kamar Qila, letaknya lebih duluan kamar lelaki itu jika dilihat dari arah tangga dan jika dilihat dari kamar Indri, maka sebaliknya. Pintu bercat putih dengan logo galaksi yang tertempel di depannya, sedikit terbuka. Langkah kaki Qila terayun pelan mengikuti keingintahuannya untuk mengintip kamar itu. Dia hanya ingin memastikan kalau lelaki itu sudah pulang atau belum. Kepalanya sedikit menyembul ke dalam mengintip apakah Dion ada di dalam atau tidak. Pasalnya lelaki itu selalu menutup pintu kamarnya. Qila melihat ke sekeliling ruangan.
Qila terbelalak. Penglihatannya terkunci ke arah sofa. Di sana, di atas sofa, dia melihat—ah, sial!
Dia merasa kaku. Sebelum lelaki itu melihatnya, Qila langsung berlari ke kamarnya sendiri dengan nafas tersengal-sengal. Tidak-tidak, dia tidak boleh mengingat hal yang baru dilihatnya tadi!
Niat untuk menghabiskan waktu berkutat dengan ponselnya dan menyalakan musik rock sambil berjingkrak-jingkrak, tertunda seketika.
Qila menelan ludahnya susah payah. Kepalanya terus menggeleng-geleng untuk menghilangkan sebuah ingatan yang menurutnya kotor dan menjijikan. Kepalanya terbenam ke arah bantal dan dia berteriak jijik. Dia kembali duduk, lalu menatap anggota tubuh bagian bawahnya. Tepatnya ke arah **** ********** yang masih terbalut rok sekolah. ****. Sebenarnya apa yang baru saja Dion lakukan? Kenapa di televisi terpampang dua orang yang sedang telanjang bulat dan Dion malah seperti sedang... bermasturbasi? Ditambah lagi suara ******* itu membuat Qila mual. Sial!
•••
Qila terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap-ngerjap untuk menyesuaikan cahaya. Dilihatnya jam di atas nakas yang menunjukkan pukul delapan malam. Tidak terasa dia tertidur selama berjam-jam. Baju seragam sekolah masih setia melekat di tubuhnya.
Setelah mengulet dengan puas, Qila bangkit berdiri. Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Masih cantik, pikirnya. Ia terkikik geli.
Suara ketukkan pintu kamar membuyarkan lamunannya yang sempat datang. Entah apa yang dia lamunkan, tetapi tubuhnya terasa ringan, seperti tong kosong tanpa isi.
Qila melangkah ragu-ragu ke arah pintu, lalu memegang kenop pintu itu. Sepuluh detik waktu yang dia butuhkan untuk bertindak tidak gegabah, akhirnya ia memutuskan untuk membukanya.
"Qil?" sapa Dion.
Dion tersenyum, kemudian memegang kedua bahu Qila. Gadis itu beringsut mundur karena merasa risih berada di dekatnya, membuat Dion menyeringai yang seringaian itu tidak sempat Qila lihat karena dia menunduk.
"Makan, yuk?" ajak Dion sambil menjawil dagu Qila. Qila menatap manik mata lawan bicaranya ragu-ragu dan merasa jijik dengan tangan lelaki itu yang seenaknya memegang dagunya. Tangan besar itu langsung dia tampik dengan pelan.
Qila tahu, banyak lelaki di luaran sana yang sama seperti Dion. Hal itu adalah hal tabu yang sangat wajar dan sering terjadi pada lelaki dewasa. Tetapi, kenyataan bahwa Qila melihatnya secara langsung itu tidak pernah. Dia hanya mendengar cerita dari teman lelakinya saja di kelas. Bodoh! Seharusnya dia bersikap biasa saja seolah-olah tidak melihat apa-apa tadi sore.
Dengan sopan, Qila tersenyum kikuk, lalu menjawab, "Aku belum mandi. Kamu duluan aja."
"Lah, udah malam. Entar masuk angin. Makan aja, yuk?" Qila menggeleng. Makan sebelum mandi membuatnya risih. Berdekatan dengan lelaki ini saja untuk sekarang ini membuatnya risih, apalagi makan tidak mandi.
"Ayo?" Dion sedikit memaksa. Qila kembali menggeleng. Dion menghela nafas kasar, lalu tangannya dengan terampil menggendongnya. Refleks tangan Qila merangkul ke lehernya. Tercium bau parfum lelaki itu yang terasa aneh dan sangat menyengat. Sepertinya Dion baru saja membeli parfum baru. Qila menenggelamkan kepalanya ke arah dadanya, lalu menengadah ke atas menatap wajahnya. Kedua alisnya mengerut, heran. Sejak kapan Dion mempunyai tahi lalat di bawah dagunya?
Seakan baru saja tersadar, tangan Qila memukul dada bidang lelaki itu berkali-kali saat mereka sedang menuruni pertengahan anak tangga.
"Dion, turunin aku! kamu apa-apaan, sih?!"
Dion tidak mendengarkan perintah Qila dan itu membuatnya bertambah kesal karena dia berperilaku seenaknya. Kakinya dengan lincah terus membawanya dan mendudukkannya dengan santai di kursi makan. Sebelum duduk, dia sempat mengacak-acak puncak rambut Qila dengan penuh kasih sayang, membuat gadis itu menggerutu. Walaupun, dia sempat terpaku dengan perlakuannya yang tidak pernah ditunjukkan padanya selama ini. Tetapi, semua itu buyar setelah sekelebat ingatan tadi sore kembali muncul. Qila menggeleng-geleng berusaha menampik ingatan itu semua.
Matanya langsung berbinar melihat banyak makanan di atas meja. Ada apple pie dan susu cokelat panas. Sedangkan Dion lebih memilih secangkir kopi hitam dan roti roma kelapa.
"Kamu kenapa, Qil? Sebentar-bentar malu-malu, sebentar-bentar geleng-geleng kepala, lalu sekarang kayak dapat uang seratus juta." Dion menatap Qila aneh. "kesurupan, ya?" lanjutnya.
Qila terbelalak. "E—enggak. Ngaco!" kilahnya.
Jika saja Dion tahu dia sedang memikirkannya, Qila berharap dirinya terlempar ke Samudera Pasifik dan mengilang ditelan bumi. Entah alasan apa yang membuatnya merasa tidak nyaman berlama-lama dengan lelaki itu.
"Lah, terus? Hayo, lagi bayangin yang enggak-enggak pasti?"
Qila bingung dengan pertanyaannya. "Maksudnya?" tanyanya setelah dia menegak sedikit susu cokelat dan menggigit apple pie yang sangat menggiurkan.
Dion berdecak. Ia memberi isyarat lewat matanya yang tidak Qila tahu apa artinya. Dia ikut menatap arah pandangan lelaki itu yang menurutnya ke arah makanan dan itu malah membuatnya bingung.
"Hah?"
Dion menghela nafas kasar. "Qila-qila. Kayak pas banget, ya, tingkahmu sama kelakuanmu. Kamu itu perempuan. Untung kamu lagi di rumah dan cuman sama aku. Lihat, bajumu enggak beraturan dan tingkahmu tadi menunjukkan seperti orang lagi bayangin yang enggak-enggak."
Spontan Qila melihat bajunya. ****! Matanya terbelalak sempurna. Pipinya mulai terasa panas dan malu. Dia baru tersadar jika kedua kancing atas seragamnya terbuka. Bahkan bra warna hitamnya terpampang dengan jelas. Dia lupa mengancingnya.
Tadi sore, tepatnya setelah Qila berhasil berteriak jijik sepuas-puasnya, tubuhnya terasa gerah, membuatnya harus rela membuka sedikit kancing atas bajunya. Tetapi, itu dilakukan saat di kamar dan dia lupa sekarang sudah tidak ada di kamar.
Qila malu dan terus menunduk, sampai-sampai tidak sadar bahwa Dion sudah berdiri di sebelahnya. Dia terlonjak, cemas-cemas bertanya, "Kamu ngapain?"
Bulu kuduk Qila meremang dengan tubuh berubah tegang. Tangan Dion bergerak mengancingkan seragamnya dengan telaten. Dia terpaku, entah kenapa tubuhnya hanya diam saja tanpa melakukan perlawanan. Harusnya dia menepis tangannya. Harusnya dia marah. Harusnya dia menolak perlakuan manisnya. Bukannya tadi dia jijik dan sempat berjanji akan jauh-jauh dari lelaki itu? Tetapi, kenapa dia malah jadi tunduk dengan gampangnya seperti ini?
Aku ini kenapa, sih?, batinnya frustasi.
Sekuat tenaga Qila berusaha melawan rasa nyaman yang sempat singgah. Dia tersadar dari lamunannya, lalu berkata, "Aku sudah kenyang, mau mandi dulu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
dineeeey
semakin seruuuuu, em . jangan lupa mampir ya
2023-07-28
1