Qila sudah beberapa kali memaksa matanya untuk terpejam, tetapi rasanya sangat sulit. Mendengarkan lagu-lagu dramatis dan membaca cerita yang membosankan sudah dia lakukan. Namun, hasilnya tetap sama. Mata terus membuka dan tubuh menggeliat tidak nyaman, seperti seorang penulis yang tidak bisa tidur karena ide-ide terus menerus bermunculan. Nah, tetapi Qila hanyalah orang biasa yang sedang dikelilingi berbagai pertanyaan. Pertanyaan sama dan tidak tahu jawabannya. Sungguh, membosankan.
Qila beranjak dari kasur. Diliriknya jam di atas nakas yang menunjukkan pukul sebelas lebih empat puluh malam. Dia berjalan ke arah lemari, seperti biasa untuk melihat pantulan dirinya di cermin, kemudian melangkah ke luar kamar. Dia membutuhkan pengalihan untuk bisa tidur, tidak terus melamun dan termenung menatap langit-langit kamar.
Senyap. Rumah ini senyap. Tidak ada seseorangpun yang masih terjaga. Kamar Indri sudah gelap, tandanya sudah tidur. Dia berbalik, berniat ke dapur untuk mengambil makanan.
"Qila?"
Qila terlonjak. Degup jantungnya berubah tempo. Dia beringsut mundur.
Dion mengerutkan kedua alisnya. Sedetik kemudian tawanya meledak. Suaranya yang berat menggelegar ke setiap inci sudut ruangan. Andai kata di sini banyak kelalawar, mungkin hewan itu akan terbang dengan bebas dari tempat persemayamannya.
Qila bernafas lega. Ya, dia Dion. Ia pikir tadi adalah sosok yang kemarin sempat singgah. Qila lebih menyukai Dion yang humoris daripada romantis, sehingga tidak terlalu mencurigakan.
"Lo kenapa?" tanya Dion. Dia terbatuk, lalu menguap. Pasti dia telah menghabiskan waktunya untuk lembur di ruang kerjanya. Dia membawa setumpuk berkas dan laptop di tangan. Matanya sudah sayu dan berair dengan kacamata yang baru saja dilepaskan. Terdapat noda kopi di sudut bibirnya. "kayak liat setan," lanjutnya, lalu mengusap hidungnya yang berair dengan tisu. Dia pilek.
Qila menyeka keringatnya yang mulai keluar menggunakan punggung tangan, kemudian menatap Dion dari atas ke bawah. Mereka terkadang menggunakan panggilan gue-lo dan terkadang menggunakan aku-kamu, tergantung kenyamanan mereka masing-masing.
Dion lagi-lagi menguap. Cairan di hidungnya keluar sedikit, lalu kembali diusap menggunakan tisu.
"Gue lagi enggak bisa tidur," ucap Qila.
Dion mengangguk-angguk. Matanya menerawang ke atas seolah sedang berfikir.
Beberapa detik kemudian dia menatap Qila dari atas sampai bawah. Meneliti dengan cermat, lalu berkata, "Ih, malam-malam, kok, pake baju begituan. Enggak takut masuk angin?"
Qila menatap pakainya. Itu adalah pakaian yang selalu dipakainya ketika tidur. Celana pendek di atas lutut dan tanktop berwarna hitam. Hitam dan hitam. Qila menyukai warna gelap. Pakaian di lemarinya hanya didominasi warna hitam dan biru dongker.
"Ih, udah biasa kali. Enggak usah liat-liat. Saru!"
"Bodo amat."
Qila mendengus kesal, lalu melangkah menjauh. Tetapi tangannya keburu ditarik oleh lelaki itu, membuatnya hampir terhuyung.
"Ih, apaan, sih?!"
Qila menguap. Sepertinya sebentar lagi dia akan mengantuk. Kantuk yang siap menerjang dan berbisik-bisik seperti setan untuk menyuruhnya tidur.
"Mau ke mana lo? Udah, tidur bareng gue aja. Biar gue elus-elus terus nyanyiin lagu super ampuh supaya lo tidur dengan nyenyak," kata Dion, membuat Qila diam tak berkutik. Disatu sisi dia merasa takut kalau ini sama persis dengan kejadian kemarin bahwa ini hanyalah halusinasi (menurutnya) dan disisi lain dia ingin berkata setuju karena dia juga sudah mengantuk, tetapi tidak bisa tidur.
Terlalu banyak melamun, membuat Qila tidak sadar bahwa Dion sudah menariknya masuk ke dalam kamar lelaki itu. Tembok bercat hitam tak pernah berubah semenjak Dion kecil sampai sekarang. Semua barang-barangnya tertata sangat rapi, bertolak belakang dengan lelaki lain yang Qila kenal. Di atas kasur king size yang berbalut sprei berwarna hitam juga, Dion sudah menyeretnya hingga terbaring di sana setelah dia menaruh laptopnya dan berkas-berkas tadi di atas sofa.
Qila jatuh terjerembab hingga kepalanya terantuk pada dada bidang lelaki itu. Nafasnya terasa menerpa bagian kepalanya dan aroma tubuhnya terasa menyegarkan. Qila merubah posisinya menjadi berbaring di samping Dion, lalu menatap wajahnya lekat-lekat. Mulai dari bibirnya yang merah alami, hidungnya yang mancung membuat Qila gemas ingin menggigitnya. Lalu, beralih ke arah matanya yang sipit. Tetapi, tatapannya tajam. Ah, ini memang nyata. Dia memang Dion.
"Apa lo liat-liat? Saru!" Dion membuka suaranya, membuat Qila tersadar. Dia mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit kamar. Lagi-lagi dia melamun. Apakah akhir-akhir ini dia menjadi pelamun tingkat akut?
"Idih, geer. Gue cuman lagi cium bau badan lo. Bau tau. Lo belum mandi, ya?" Qila berbohong. Jelas-jelas aroma tubuhnya membuat dia betah lama-lama berada di dekatnya. Kali ini dia menyukai aroma tubuhnya.
Qila terbelalak.
"Apa?! kali ini? astaga, gue baru sadar! Kemarin aroma parfumnya kaya malaikat subuh, tetapi sekarang kaya parfum artis papan atas!" batin Qila mengumpat. Ia mulai merutuki dirinya sendiri karena terlambat menyadari hal itu.
Menurut Qila, malam ini nyata dan lagi-lagi dia berfikir bahwa kemarin hanyalah mimpi belaka.
Dion menarik tubuhnya tiba-tiba, satu kaki lelaki itu terangkat, lalu mengunci kedua kakinya. Qila tidak bisa bergerak. Ditambah, tangan kekar itu memeluknya erat-erat.
"Bau, hah? Gue peluk lo sampai pagi biar kebauan! Orang gue udah mandi gini dibilang bau," protesnya.
Qila terdiam, menerima perlakuannya. Matanya lama-lama mulai malas untuk terbuka. Perlahan dia mulai terpejam. Tidak ingat apa-apa selain tidur berada di sisi saudara sepupunya malam ini.
•••
Qila terbangun. Tubuhnya terasa malas untuk bergerak, membuatnya enggan untuk beranjak dari sini. Tetapi, jika dia berlama-lama di sini pasti akan membawa buah omelan dari ibunya karena tidak berada di kamarnya.
Terdengar suara hiruk-pikuk dari luar kamar. Qila menatap Dion sejenak. Wajahnya terlihat sangat damai. Dia tidak tega untuk membangunkannya. Dengan hati-hati dia menyingkirkan tangan lelaki itu yang masih memeluknya, lalu bergegas ke luar kamar, dan mendapati Indri yang terlihat lelah menjawabi setiap pertanyaan Ibu tentang dirinya.
"Aku di sini, Bu. Qila enggak mungkin keluar rumah tanpa seizin Ibu," ucap Qila, setelah tadi mendengar ibu yang sibuk menanyai keberadaannya.
Ibu memutar tubuhnya dan langsung menghampiri Qila dengan nafas ngos-ngosan. Pasti dia sudah mengeluarkan tenanganya dengan cuma-cuma untuk meneriakkan namanya yang malah tidur tidak mendengarkan.
"Maafkanlah anak kurang ajarmu ini, Ibu. Jika tidak bisa, kuburlah aku hidup-hidup!", batinnya, lalu bergidik ngeri sendiri karena perkataannya.
Ibu memeluk Qila sejenak, lalu berkata, "Ya ampun, Ibu khawatir banget sama kamu tau. Ibu kira kamu udah jadi anak bandel yang tidak tidur di rumah dan berkeliaran malam-malam."
Indri geleng-geleng kepala. Dia berjalan melewati Ibunya dan Qila sambil berkata, "Anak bontot, hidup baik-baik, ya? Biar nanti gue enggak kena semprot!" Indri tertawa dengan ucapan sendiri. Tangannya dengan terampil mengepang asal rambutnya, kemudian melangkah menuju dapur.
"Kamu hari ini sekolah, Qil?" Qila menggeleng. Hari ini dia ada janji dengan Putri, sahabatnya untuk pergi ke suatu tempat.
"Ya, udah. Ibu mau bantu kakakmu masak dulu." Ibu tersenyum, lalu melangkah pergi. Tetapi, sejurus kemudian dia berbalik dan berkata, "Eh, kok kamu tidur sama Dion?"
Qila cengengesan. "Semalam susah tidur, Bu."
Suara decitan pintu kamar mengalihkan perhatian mereka. Di sana ada Dion keluar sambil menguap tanpa menggunakan kaosnya. Qila terbelalak. Dia baru menyadari bahwa lelaki itu tidur tanpa mengenakan kaos.
"Nah, gitu dong..., bujangan harusnya bangun pagi. Enggak bergelut aja sama guling," ejek Ibu. Tangannya bersidekap di depan dada.
Dion menatap Ibu dengan mata menyipit. "Pagi," sapanya. Suaranya masih serak, khas orang bangun tidur.
"Dasar bujangan. Melek dong, cari istri. Kamu itu sudah tua." Ibu terus mengejek. Qila sesekali terkikik geli melihat Dion menganggap ejekkan itu seperti angin lalu.
Dion berdeham. "Oma dicariin suami, tuh!"
Ibu melotot. "Oma udah bersuami, ya."
Dion menghirup nafas dan mengeluarkannya dengan kasar. "Oma, dicariin Opa itu. Liat belakang makanya."
Qila memutar tubuhnya ke arah belakang, sama seperti yang Ibu lakukan. Dan, benar di situ sudah ada Ayah yang berdiri di belakang Ibu. Ibu terdiam, membuat Dion tersenyum kemenangan.
Dion berjalan begitu saja melewati mereka setelah mengecup pipi sebelah kiri Ibu dan menyapa Ayah. Qila memasuki kamarnya, berniat mengguyur tubuhnya dengan air dingin yang menyejukkan. Mungkin dengan lari pagi setelah mandi dapat membuat tubuhnya bertambah segar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments