Pagi ini Qila memantapkan hati untuk bisa memulai hari tanpa ragu. Kejadian kemarin membuatnya seperti berada di wahana halilintar, terombang-ambing tidak tau arah, dan hati yang saling teraduk-aduk penuh pertanyaan asing yang menyelusup masuk tanpa diperintah. Jika saja pertanyaan ini mudah dipahami, dia akan dengan senang hati menjawab menggunakan logika.
Suara dentingan sendok beradu dengan piring menggema di seluruh ruangan. Setiap orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ayah Qila sibuk berkutat pada novelnya yang sampai di bawa ke meja makan, kedua kakaknya sibuk menyiapkan makanan, dan Ibunya sedang membuatkan secangkir wedang jahe yang tak pernah lupa ia buat setiap pagi.
Qila malas-malasan bergabung dengan mereka saat melihat Dion sudah duduk sambil membaca majalah dan sesekali menyesap kopinya yang masih mengepul. Kopi hitam kesukaannya tak pernah lupa ia nikmati setiap pagi. Kakinya terasa berat untuk dilangkahkan, tetapi dia tetap melangkah, lalu berakhir duduk di kursi yang berhadapan dengan lelaki itu.
Ibu memanggil Qila untuk membawakan segelas wedang jahe kepada Ayahnya. Dia mengiyakan, lalu beranjak dari kursi. Dion sempat meliriknya sekilas, lalu kembali ke alamnya sendiri. Hari ini Qila terasa lemas, malas, dan panas. Seragam sekolah belum dikenakannya. Dia hanya memakai hotpans dan kaos oblong. Rambutnya diikat membentuk gulungan ke atas hingga leher jenjangnya terlihat sempurna.
Semua orang sudah duduk di kursi masing-masing.
Dion berdeham, lalu bertanya, "Pulang jam berapa semalam?"
"Jam satu kalau enggak salah. Macet, Yon," jawab Yuli. Dia mengambilkan sepotong paha ayam ke atas piring masing-masing orang, termasuk Qila.
Qila berdecak, lalu merengek, "Kak, aku enggak mau ayam. Bosan." Yuli menatap Ibu sambil tersenyum. Senyumannya terlihat berbeda, seperti seorang penjual yang tidak terima barang dagangannya ditawar dengan harga murah.
Beberapa hari sekali Ibu memang selalu memasak ayam, seperti sudah menjadi rutinitas. Entah sanak saudaranya suka atau tidak, mereka harus memakannya. Terkadang Qila mulai bosan, karena harus dituntut makan-makanan yang ini-itu. Memakan mi instan saja bisa sebulan sekali. Atau bahkan, tidak pernah sama sekali.
Ibu tersenyum. "Qila sayang ... Ibu enggak mau Qila sakit. Makanya, kamu harus makan-makanan yang bergizi."
Qila menghela nafas pasrah. Lagi-lagi dia mendengar alasan yang klise. Perlahan-lahan dia mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya. Dia berusaha bersabar. Walaupun kedua orang tuanya selalu mengekang mengenai apapun, tetapi dia suka dengan sikap mereka. Mereka seolah-olah sangat menyayanginya dan tidak mau terjadi apa-apa dengannya. Apalagi, ketiga kakaknya yang over protective.
Ayah meneguk wedang jahenya sedikit, lalu dia bertanya, "Dion, semalam Qila makan, kan?" Makannya sudah selesai. Cepat sekali dia menghabiskannya, karena tidak sabaran melanjutkan membaca novel.
Dion menelan makanannya. Dengan hormat dia menatap Ayah, lalu melirik Qila sekilas.
"Enggak tau, Opa. Kemarin aku lembur, pulang malem."
Qila mengernyit heran. Rasanya dia ingin menggebrak meja seketika. Mungkin karena dia sedang mengalami menstruasi, membuat hormonnya meningkat.
Dia ingin berteriak sarkastik, "Apa-apaan?! Bukannya kemarin Dion jelas-jelas berada di rumah!" Namun, nyalinya kecil.
"Aku makan, Pa. Jangan khawatir. Kemarin aku makan bareng sama Dion malahan," ucap Qila berusaha setenang mungkin, lalu sekelebat bayangan kemarin malam membuatnya meringis.
Dion meneguk minumnya. Dia juga sudah selesai makan.
"Hah? Ngaco lo. Orang kemarin gue pulang jam sepuluh malam," katanya. Ia berbalik menatap Ayah, "Maaf, Opa. Kemarin Dion enggak tau kalau kalian pergi. Jadi, enggak bisa jagain Qila."
Qila hampir saja tersedak makanannya sendiri. Dia tahu Dion adalah orang yang pandai beradu akting. Apalagi, dia mempunyai otak yang jenius, seperti seorang ilmuwan yang sampai kepalanya botak seperti bohlam lampu—berkilau. Tetapi, kelebihannya bisakah tidak digunakan untuk sekarang ini? Qila malah merasa semakin tidak karuan. Bisakah dia tidak bercanda kali ini? Jelas-jelas Ayah sedang berbicara serius. Qila tidak mau disangka berbohong, karena Ayahnya tidak selalu percaya dengannya dan dia tidak mau ponsel yang baru kemarin dipegangnya disita kembali.
Qila melotot ke arah Dion. "Woy, orang kemarin malam kita makan bareng. Lo yang gendong gue sampai sini malahan. Ini masih pagi, enggak usah cari gara-gara!" tuturnya dengan nafas menderu, muka merah padam menahan malu kala kejadian waktu Dion menggendongnya, dan kejadian setelah itu yang dia tidak mau ceritakan kembali teringat. Kejadian itu selalu membekas dan entah kenapa membuatnya berdebar dilingkupi perasaan aneh. Perasaan yang sulit dideskripsikan. Tetapi, ini bukanlah tentang hal menjijikan. Ini bukanlah jatuh cinta. Konyol!
Dion menahan tawanya, tetapi tidak bisa. Dia terbahak-bahak disusul kedua Kakak Qila. Qila menjadi seperti bahan candaan.
"Gendong? Enggak salah dengar, tuh? Bawa karung beras aja gue males. Apalagi, gendong lo yang beratnya sampai lima puluh kilo." Qila terbelalak. Mood-nya sudah jatuh ke level paling bawah. Jika saja tangannya tidak dicegat oleh Yuli, dia sudah melempari lelaki itu dengan sendok.
Ayah berdeham, memecah keributan. Dia menatap Dion dan Qila secara bergantian, lalu berkata, "Udah-udah. Kalian itu udah dewasa, enggak patut ribut karena hal sepele. Qila, Ayah harap kamu tidak berbohong kali ini. Lanjutkan makanmu. Ayah enggak mau kamu sakit. Sebentar lagi kamu bakal terlambat. Dion, antarkan Qila ke sekolah." Ayah beranjak dari kursi, menyisakan piring kotor bekas tadi dia makan dan melenggang pergi ke arah perpustakaan mini di rumah ini.
Qila merenung. Menghabiskan sisa makanannya dengan terpaksa. Tinggal dia yang belum selesai makan. Sangat lama sampai-sampai Ibu memperingatkannya berkali-kali. Kebingungan benar-benar melandanya tanpa aba-aba. Menerobos otak polosnya yang kadang tidak selalu bisa berfikir jernih. Beberapa pertanyaan terbesit dan tidak menemukan jawabannya. Hatinya selalu dimantapkan jika semua itu hanyalah halusinasi, hanya karena dia lelah, dan butuh rekreasi. Lantas, jika bukan Dion, siapa lelaki yang kemarin berada di rumah ini?
Ah, persetan dengan itu semua. Musik mana musik? Aku ingin bernyanyi, lalu berteriak sekencang-kencangnya sampai semua orang di seluruh kota ini memaki diriku, batin Qila. Ia mulai merasa lelah jika terus memikirkan itu.
Sebuah lagu Korea berjudul Lotto yang dinyanyikan oleh Exo mengiringi perjalanan Qila menuju sekolah. Sesekali dia menggerakan kaki dan tangannya seperti penari moderen. Mulutnya berkomat-kamit merapalkan lirik yang bisa dia hafal. Dia sedang berusaha menampik beberapa pertanyaan yang memenuhi pikirannya. Jika sekelebat ingatan itu muncul lagi, dia bernyanyi sambil berteriak.
Dion hanya menggeleng-geleng sambil menyetir. Lima menit yang lalu dia mengganti lagu yang disetel Qila lewat speaker mobil ini dengan lagu selow khas orang barat yang membuatnya mengantuk. Sedetik kemudian, Qila berhasil mengganti lagu itu.
Qila mengamati Dion dari atas hingga bawah. Lelaki itu memakai kemeja berwarna abu-abu, membuatnya terkesan gagah daripada biasanya. Entah dia yang baru menyadari Dion tampan ketika memakai kemeja, atau dia yang tidak terlalu memperhatikannya setiap hari.
"Qil?"
Qila menengok. Dia sedang melihat seorang lelaki yang berjalan di trotoar sambil membawa bola basket. Tubuhnya atletis, membuat Qila betah lama-lama melihatnya.
"Apa yang lo omongin tadi pagi emang benar? Kok, lo kayak nyolot gitu, sih?"
Qila mendengus kesal. Baru saja dia bisa melupakan kejadian itu, tetapi Dion berhasil mengungkitnya kembali. Dia mengedikkan kedua bahunya acuh, lalu kembali menatap jalanan yang dia prekdisikan sebentar lagi akan terjadi kemacetan.
Qila terlonjak ketika tangannya digenggam Dion. Dia kembali sedikit merasa risih, walaupun genggaman itu lama-kelamaan membuatnya nyaman.
Qila menghela nafas pelan. "Iya, bener."
Tidak ada lagi suara Dion yang melanjutkan pertanyaannya. Hingga Qila kembali memanggil namanya.
"Yon?" Dion bergumam.
"Em, ke-kemarin lo beneran pulang malam?"
Dion melempar setir ke arah kanan. "Iya, Qila. Masa gue bohong. Kenapa emangnya? Coba ceritain dikit, dong?"
"Beneran?" tanya Qila memastikan. Dia hanya butuh sebuah kejujuran. Bukan sebuah pernyataan yang diliputi omongan belaka. Bukan! Setidaknya setelah itu dia akan melupakan kejadian janggal ini dan memantapkan hatinya bahwa itu semua hanyalah halusinasi.
Mobil berhenti. Qila baru sadar sudah sampai di depan gerbang sekolah. Dia melihat ke arah luar. Beberapa motor dan mobil melesat masuk ke dalam sekolah. Beberapa orang juga mulai memasuki pekarangan sekolah. Salah satu dari mereka ada yang menyapa satpam sekolah yang berdiri di dekat gerbang dan ada yang tidak.
Dion melepas genggamannya. Ia mengecup dahi Qila, seperti sudah menjadi kebiasaan yang selalu ia lakukan.
Dion tersenyum, lalu berkata, "Dengar, Qil! Sekarang buang semua keraguan lo. Mantapkan hati lo dan ikuti kata hati lo. Tidak setiap orang akan terkecoh oleh sesuatu munafik dan berbau kegelapan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments