Jessen masih fokus mengasisteni Dokter Richard, ketika kemudian ia mulai sadar apa yang salah dengan gadis itu, apa yang akan diambil dari tubuh gadis itu.
'Rahim?'
Jessen sedikit tersentak ketika sadar bahwa operasi itu adalah operasi pengangkatan rahim gadis muda itu. Kenapa dengan usia semuda itu rahimnya harus diambil?
Jessen masih menyimpan pertanyaan itu dalam hatinya, hingga kemudian ia sadar bahwa rahim itu tidak dalam kondisi yang bagus. Ada robekan begitu panjang, dan dari sanalah ia sadar kenapa perlu banyak darah.
Jessen hanya menelan ludah, tak bisa ia bayangkan di usia yang begitu muda ia harus kehilangan rahimnya!
Operasi selesai, Jessen segera melepas masker dan sarung tangannya, ia melemparkan benda itu ke dalam tempat sampah, lalu membuka jubah operasinya. Ia bergegas mencuci tangan bersih-bersih dan meraih kembali snelinya.
Ketika sosok Dokter Richard terlihat dari sudur matanya hendak keluar dari OK, Jessen bergegas membuntutinya, banyak sekali pertanyaan yang ia simpan sepanjang operasi tadi.
"Dokter Richard!" panggilnya setengah berlari.
Sosok itu berhenti, menanti Jessen mendekatinya.
"Kenapa?" Jessen sudah berada di samping dokter bedah itu.
"Ada yang ingin saya tanyakan, Dokter!"
Dokter Richard tersenyum, "Ada untungnya juga kan kau aku ajak asistensi malam ini?" Dokter Richard kembali melangkah, "Ayo ikut aku!"
Jessen hanya mengangguk, lalu mengekor di samping dokter yang meraih gelar lulusan terbaik PPDS bedah itu. Jessen hanya menurut saja bahkan ketika Dokter Richard melangkah ke luar halaman rumah sakit.
Mereka terus melangkah hingga kemudian berhenti di depan warung mie ayam kaki lima tak jauh dari rumah sakit.
"Kok kesini, Dok?" tanya Jessen heran ketika Dokter Richard melangkah masuk ke dalam.
"Mie ayam dua, teh hangat dua ya, Pak!" ujar Dokter Richard sambil melepas snelinya.
"Siap, Dokter! Seperti biasa ya?" tanya penjual mie ayam yang nampaknya sudah sangat akrab dengan Dokter Richard.
"Kita bahas sambil makan, ya Sen!" guman Dokter Richard sambil meringis.
Jessen hanya mengangguk lalu duduk di bangku depan dokter bedah itu.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" Dokter Richard mulai serius, sambil menanti pesanannya, ia menatap Jessen lekat-lekat.
"Soal pasien tadi, Dokter. Kenapa rahimnya harus diangkat? Usianya nampak masih sangat muda." Jessen menatap dokter bedah itu, menantikan jawaban dari mulutnya.
"Memang, ia baru sembilan belas tahun! Rahimnya robek, Sen. Sudah tidak dapat dipertahankan. Pendarahannya hebat, kau tahu sendiri kan berapa kantong darah tadi yang kita gunakan?"
"Robek karena melahirkan? Atau karena apa, Dokter?" Jessen mengerutkan dahinya. Ia sungguh sangat penasaran.
"Aborsi!"
Jessen tersentak, ia menatap Dokter Richard yang kemudian memasang wajah dingin itu. Aborsi? Pantas saja! Jessen tak menyangka bahwa dampaknya dapat semengerikan itu.
"Aborsi ilegal?" Jessen mencoba mengorek informasi sedetail-detailnya. Mumpung ada kesempatan, sedikit apapun akan sangat bermanfaat kelak.
"Bisa dibilang begitu, Sen!" Dokter Richard menopang dagunya, matanya menatap lurus kedepan. "Dia minum jamu, entah apa yang dia minum, gagal gugur, lalu ia pergi ke paraji, di pijitlah perut dia, janinnya berhasil keluar, di usia lima belas Minggu, hanya saja kemudian ia pendarahan hebat, baru ini tadi dibawa ke rumah sakit. Yasudah, kita cek rahimnya sudah rusak, mau bagaimana lagi?"
"Hamil diluar nikah, Dok?" tanya Jessen yang masih agak penasaran.
"Entah, biarlah kepolisian yang urus, Sen. Kasus sudah sampai ke kepolisian, parajinya sudah diamankan. Kabarnya bukan kali ini saja dia melakukan praktek aborsi."
"Dari semua korban, lalu apakabar? Apakah juga bernasib sama dengan pasien tadi?" Jessen menyeruput teh hangatnya.
"Entah, aku juga tidak tahu kalau perihal itu, Sen." Dokter Richard melepas kacamatanya. "Ayo makan dulu!"
Jessen hanya mengangguk, ia kemudian ikut menyendok mie itu dari mangkuknya, tanpa banyak bicara.
Aborsi ... kenapa juga praktek ilegal itu masih ada? Dengan jamu lah, obat entah apa namanya yang mereka pakai, pijat perut lah ... apa mereka tidak memikirkan efek jangka panjang dari apa yang mereka lakukan? Beruntung sih hanya rahim yang diambil, kalau nyawanya sekalian diambil malaikat maut? Apa jadinya?
"Mau ambil spesialisasi apa kelak kamu, Sen?" tanya Dokter Richard tanpa menatap Jessen.
"Entah Dok, saya sendiri masih bingung." jawab Jessen jujur, sungguh ia masih belum menentukan spesialisasi apa yang kelak akan ia ambil. Yang jelas bukan bedah sepertinya.
"Koas dua tahun belum bisa membuatmu yakin ingin mengambil spesialisasi apa?"
"Koas hanya membuat saya yakin bahwa setelah di sumpah jabatan, maka hidup dan bakti saya akan dedikasikan untuk sesama, Dok." Jessen tersenyum kecut, memang benar kan?
"Benar juga, namun segera tentukan spesialisasi apa yang hendak kamu ambil, Sen!"
Jessen terdiam, ia masih sibuk menyuapkan gulungan mie itu ke mulutnya. Otaknya masih berpikir keras, ia sebenarnya minat di spesialisasi apa? Selama koas ia belum menemukan spesialisasi yang mengena di hatinya.
"Tidak tertarik dengan bedah?" tanya Dokter Richard ketika juniornya itu hanya terdiam membisu.
"Saya takut jika tidak bisa seperti Dokter."
"Kenapa harus jadi seperti saya? Jadi dirimu sendiri! Dokter bedah dengan ciri khas mu sendiri, Sen!"
"Apakah saya mampu, Dokter?" Jessen menatap wajah teduh di depannya itu. Rasanya ia tidak terlalu percaya diri.
"Kenapa setiap ada operasi aku mengusahakan kamu hadir sebagai asistensi?" tanya sosok itu sambil meletakkan sumpit di mangkuknya.
"Dokter ingin mengerjai saya bukan?" jawab Jessen asal, bukankah itu yang tadi ada dalam pikirannya?
"Ngaco kamu!" Dokter Richard tertawa, sama sekali tak merasa tersinggung. "Karena aku melihat kamu ada kemampuan di bagian bedah, Sen! Dan aku ingin kamu belajar dari setiap kasus yang aku tangani di OK!"
Jessen menatap Dokter Richard lekat-lekat, benarkah? Mengapa dirinya sendiri malah tidak dapat menyadari itu? Kenapa malah orang lain yang menyadari minat dan kemampuannya?
"Tapi coba kamu perdalam lagi minat dan bakat kamu, aku tidak bisa memaksamu hanya karena dari kacamata ku kamu ada potensi di bagian bedah, bukan?" Dokter Richard tersenyum bijak. "Kamu yang menjalani, kamu yang menentukan, Sen!"
"Saya sangat berterimakasih, Dokter!" Jessen tersenyum. "Lain kali saya sangat berterimakasih dan senang jika diizinkan Dokter untuk kembali bergabung di OK!"
Dokter Richard tersenyum, "Pasti, jadi tolong buang pikiranmu bahwa aku mengajak mu karena aku hanya ingin mengerjai mu, ya!"
Jessen tertawa, sungguh pendek sekali pemikirannya tadi! Padahal belum tentu kelak ia dapat pengalaman seperti ini bukan? Tiap kasus yang dibawa ke OK belum tentu sama bukan?
"Oh iya, satu lagi yang ingin saya sampaikan, Sen!"
Jessen mengangkat wajahnya, ia menatap lekat-lekat wajah Dokter senior itu.
"Apa Dokter?"
"Dalam sepanjang karier mu kelak, kamu akan menemukan pasien yang akan mengajak dan memaksa mu melanggar sumpah mu, sebanyak apapun uang yang ia sodorkan, tolong ingat bagaimana susahnya perjuangan mu untuk mendapatkan gelar dokter mu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Ama Lorina Raju
syukaa sama semua novel mu thor gak halu kebanyakan dan tambah pengetahuan tentang kedokteran di novel jas putih aja aju msh baca berulang2 gak bisa move on 😄😄😄❤️❤️
2021-05-25
0
¢ᖱ'D⃤ ̐Nu⏤͟͟͞R❗☕𝐙⃝🦜
betul sekali dok......iming2 uang yg mengerikan bikin sumpah terabaikan
2021-04-28
0
mbuh
buset ngeri ih aborsi....mending dilahirin...brani berbuat brani tgg jawb
kl kaya gt kan ngeri bet😨
2020-11-03
0