4. Destiny Like A Coincidence

Hai hai readersku tersayang 🤗,

Apa kabar semuanya? Semoga dalam keadaan sehat dan bahagia selalu. Aamiin.

Kita selingan dulu ya, biar calon manten ada waktu berdua tanpa dikepoin sama kita-kita, tolonglah kasih privacy dikit buat si babang Renren 🤭😁. #apasih😜

Sekarang move on dulu ke wajah yang senantiasa tersenyum, iyaps the one and only, Dio Kamadibrata 😍🤤.

Hayoo yang Dio garis keras penasaran kan, kira-kira lagi ngapain Dio di Bandung sana? Yuks, langsung aja kita kepoin 🤭

Last but not least, untuk readers tersayang, terima kasih banyak untuk semua support, krisan, like, vote, komen, poin, author have no words 😭🤧

You're all amazing readers #peluk atu-atu 🤗

Stay healthy, stay happy, and stay tune disini yaaa 🤗.

Kalian semua sangat berarti bagi author 🤗.

****************************************

Dio

Ia melajukan motor maticnya ke kampus DU bagaikan Rossi yang berusaha mengejar Marquez untuk battle for no.1. Ngebut. Dan ia bisa sampai kesetanan begini karena terlambat. Waktu yang tertera di undangan adalah jam 09.00, sementara sekarang....ia mengeluh begitu melihat jam di pergelangan tangan kanan telah menunjukkan angka 09.25.

Meeting pagi dengan klien baru Lumina -start up rintisannya bersama Gerry dan Fayyad di bidang Consultant & Software Engineer- membuatnya melupakan undangan menjadi Narasumber di Seminar & Workshop Digital Technology for Business yang diselenggarakan oleh Economics Studies mahasiswa FEB Kampus DU.

Dayang Sumbi-DU hanya sepelemparan batu, tapi entah mengapa saat ini lalu lintas padat merayap, lebih tepat disebut macet malah. Lampu merah Sidag seolah menyala sepanjang tahun, sementara lampu hijau hanya menyala selama 5 detik. Damn!

Pekikan klakson dari para pengemudi yang tak sabar tak ayal mulai bersahut-sahutan memekakkan telinga. Untung ia sudah berada di baris paling depan, jadi begitu lampu hijau menyala, bisa langsung melesat.

Lepas dari jerat perempatan Sidag yang memang sangat menguji kesabaran, terbitlah kepadatan menjelang belokan Sekeloa. Untungnya tak secrowdit Sidag, ia pun bisa dengan leluasa melarikan motor full speed membelah Jl. Dipati Ukur yang memang selalu ramai karena melewati beberapa kampus.

Finally, been here, sambil membelokkan motor ke kanan memasuki pintu gerbang besi bercat cokelat. Setelah memarkir motor, merapihkan rambut yang lepek terkena helm, mengelap kacamata yang terkena debu, ia menghampiri satpam untuk bertanya.

"Maaf Pak, Gedung C dimana ya?"

"Dari sini lurus, mentok belok kanan, gedung C ada di sebelah kiri."

"Nuhun."

"Sami sami."

Ia buru-buru pergi ke gedung C berbekal informasi dari Pak Satpam. Untungnya ada banyak petunjuk yang memudahkan. Dan kini ia sudah memasuki lobby Gedung C. Masalah selanjutnya adalah, ia lupa tak membawa ponsel, sepertinya ketinggalan di ruang meeting tadi saking tergesa ingin pergi. Membuatnya tak bisa menghubungi panitia. Dan keteledorannya lengkap dengan lupa tidak membawa undangan, sekaligus lupa nama ruang tempat diadakannya seminar. Damn. Yang diingat hanya Gedung C, titik, something stupid.

Ia celingak-celinguk demi melihat suasana lobby yang sepi, hanya ada beberapa mahasiswa lewat sambil lalu. Ia berusaha mendekati seorang yang sedang berjalan kearahnya.

"Kalo seminar Economics Studies di ruang mana ya?"

Mahasiswa itu terlihat mengernyit sambil berpikir keras, lalu akhirnya berkata, "Waduh, nggak tahu Mas. Maaf ya."

Begitu pula dengan beberapa mahasiswa lain yang sempat ia tanya. Membuat waktu terbuang percuma hanya untuk mencari ruang tempat seminar diadakan. Double damn.

"Kalau ruang seminar dimana ya?" tanyanya pada seorang mahasiswi yang kebetulan lewat. Biasanya seminar atau workshop diadakan di ruangan khusus berkapasitas besar sejenis ruang seminar atau meeting.

"Lantai 4."

"Ok, makasih," ia buru-buru berjalan ke arah tangga.

"A," panggil mahasiswi itu lagi. "Pakai lift aja lebih cepat. Di sebelah sana," sambil menunjuk ke sisi kanan lobby.

Ia hanya meringis malu, buru-buru berbelok menuju lift.

Ting!

Pintu lift terbuka di lantai 4. Ia kembali harus celingak-celinguk mencari you name it ruang seminar atau meeting. Finally, ruang seminar yang terletak di deret paling ujung bisa ditemukan. Tapi kok sepi? Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang men set up ruangan.

"Permisi," ujarnya kepada mahasiswi yang duduk paling dekat dengan pintu.

"Ya?" mahasiswi itu mendongak dari laptopnya. "Ada yang bisa dibantu?"

"Mm," ia mendadak ingin membetulkan letak kacamata. "Seminar udah selesai atau belum mulai? Kok sepi?" tanyanya khawatir menunjuk ruang seminar yang kosong.

Mahasiswi itu mengernyit. "Seminar baru mulai besok. Ini masih setting tempat."

"Hah?" ia melongo. "Tapi saya dapat undangan seminar untuk hari ini," ujarnya bingung. Jangan sampai ia salah lihat tanggal. Udah sedemikian hectic ternyata salah jadwal. Allright.

Mahasiswi itu kembali mengernyit. "Undangan seminar darimana?"

"Economics Studies."

"Oh," mahasiswi itu berucap lega. "Kalau seminar FES ada di Student Center."

"Hah? Dimana itu?" ia sekarang telah menjelma menjadi orang linglung.

"Di lantai dasar. Turun pakai lift ke lantai 1, nanti ada tangga lagi ke bawah. Disana Student Center. Di ruang apa undangannya?"

Ia kembali mengernyit, lalu menggeleng.

"Biasanya kalau nggak di ruang seminar ya di ruang serbaguna," ujar mahasiswi itu yakin.

Membuatnya tertawa, "Kalau itu saya juga tahu. Nggak mungkin seminar di kantin kan?" Wait, what? Kenapa jadi jayus begini.

Tapi kegaringannya justru memancing mahasiswi itu untuk tertawa lebar, membuat dua lesung pipinya terlihat jelas. Absolutely berhasil membuat waktu seolah berhenti berputar selama sepersekian detik. Oh, well.

"Mas?" sebuah tangan melambai tepat di depan wajahnya.

"Oh," ia tergeragap lalu buru-buru membetulkan letak kacamata, again. Respon spontan saat salah tingkah.

"Maaf," ia bergumam pelan. "Makasih," ia buru-buru mengangguk lalu melangkah cepat menyusuri lorong menuju lift. Sambil geleng-geleng kepala mengutuki ke worst time managementnya hari ini. Pesan chat dari Bayu semalam ternyata berhasil mendistraksi pikiran dan konsentrasinya.

Bayu. : 'Kemarin Anggi abis lamaran.'

Bayu. : 'Nikah April.'

Dio. : 'Good.'

Bayu. : -stiker dipukul palu-

Ia tak pernah meminta siapapun termasuk Bayu untuk selalu update berita tentang Anggi, tapi berita-berita itu seolah berdatangan dengan sendirinya. Ia sempat mengeluhkan tentang berita kurang penting baginya, tapi kata Bayu,

"Masa diantara kita bertiga nggak ada yang jadi sih."

Membuatnya kembali mengingat tujuan awal dibentuknya Grup Romansa, tak lain tak bukan sebagai wadah kamuflase mereka bertiga untuk mendekati pujaan hati. Ia ke Anggi, Chris jelas dari SMP udah naksir Fira, meski dalam diam. Sementara Bayu diam-diam suka sama Inne. Tapi bertahun-tahun berteman endingnya malah benar-benar selamanya berteman. Sad but true yeah.

"Push your limit dong bro," Bayu selalu memanasinya. "Sebelum janur kuning melengkung, tikung menikung masih halal."

"You still love her, right?" untuk semangat Bayu memang Numero Uno.

Honestly, ia tak pernah bisa menjawab dengan tegas yeah, still love her atau no, she's just my past. Karena pasti akan ada begitu banyak kalimat berbelit yang terlontar untuk mewakili perasaan sesungguhnya. Benar-benar nggak sesederhana yang orang pikirkan. Complicated.

Namun, kalimat yang keluar dari mulutnya justru sejenis pernyataan asbun (asal bunyi),

"Emang takdir kita cuma sebatas friendzone."

"Dasar lemah!" Bayu, sejak ditinggal menikah oleh Inne, langsung berubah menjadi sangat emosional. Inisiatifnya menghajar Rendra hingga babak belur setelah skandal video benar-benar tak pernah disangkanya bisa dilakukan oleh seorang Bayu. Rendra jelas menjadi sasaran empuk amarah Bayu yang tak tersalurkan.

Ting!

Pintu lift terbuka di lantai 1, membuyarkan semua lamunannya. Ia pun buru-buru keluar lalu menuruni tangga yang terletak tak jauh dari lift. Disana ia hanya mendapati Cafe, Books Center, dan ruang serbaguna yang sedang dipakai untuk praktek UMKM. Saat kembali bertanya, tak ada yang bisa menjawab. Membuatnya garuk-garuk kepala, kayaknya nggak lucu kalau di akhir cerita kesimpulannya adalah ia tersesat di kampus DU, bener-bener enggak banget. Ternyata pergi tanpa ponsel saat lupa sesuatu itu not recommended.

Akhirnya ia memutuskan naik tangga lagi ke lantai 1, dan mengulangi alur yang sama yaitu celingak-celinguk di lobby yang kali ini mulai ramai dipenuhi mahasiswa.

Ia berniat menyapa seorang mahasiswa yang lewat di depannya ketika bunyi Ting terdengar, disusul pintu lift yang terbuka, lalu keluarlah gadis berlesung pipi bersama dua orang temannya. Entah kinerja otak bagian mana yang membuat langkahnya justru menghampiri gadis itu,

"Maaf, saya belum nemuin ruangnya."

"Hah?" mata gadis itu membulat kaget demi melihat dirinya. Sempat terdiam sebentar sebelum akhirnya bertanya bingung, "Belum ketemu juga?"

"Siapa Il?" salah satu temannya ingin tahu.

Gadis itu memperhatikannya sekali lagi, sekedar memastikan bahwa mereka memang pernah bertemu sebelumnya, "Mas ini diundang Seminar FES tapi belum nemu ruangnya."

"Loh, seminar bukannya pindah ruangan ya karena peserta membludak?"

"Oya?"

"Ari Icha pan ikutan, cuman tadi sempat telat datang, tahu tuh masih bisa masuk nggak."

Ia kembali menjadi orang linglung karena hanya bisa diam mendengarkan percakapan mereka bertiga.

"Sebentar, Ku telepon panitianya dulu ya Mas," ujar gadis itu kearahnya sambil membuka layar ponsel.

"Kalau gitu aku duluan ya," dua temannya pamit pergi.

"Iya, iya, sok duluan weh," gadis itu mengangguk kearah temannya. "Ja, kamu di seminar?" sambil mulai bicara di ponsel.

"Ini...ada Narasumber disini belum nemu ruangannya. Kamu dimana sih?"

"Owalah....sebentar," lalu beralih padanya. "Mas namanya siapa?"

"Dio."

"Dio katanya," gadis itu kembali bicara di ponsel, tapi langsung beralih padanya lagi. "Nama lengkapnya?" sambil mengkerut.

"Dio Kamadibrata, dari Ganapati. Saya lupa nggak bawa ponsel dan....," kalimatnya terpotong di udara karena gadis itu kembali bicara di ponsel.

"Dio Kamadibrata, Ganapati," ujar gadis itu sambil manggut-manggut. "Ari kamu teh gimana sih, teu balegh (nggak bener) jadi panitia. Ya...ya...di lantai 1. Buruan," lalu menutup ponsel.

"Maaf Mas, ternyata seminar dan workshop dipindah ke lantai 3," gadis itu meringis. "Tapi sebentar lagi salah satu panitia mau kesini."

Ia mengangguk, "Wah, makasih, maaf jadi merepotkan."

"Enggak repot kok," gadis itu kembali tertawa memperlihatkan lesung pipi. Membuatnya harus menahan napas untuk sementara waktu. Untung tanpa harus menunggu lama datang seorang berkalung id card panitia yang tergopoh-gopoh menghampiri mereka.

"Waduh, maaf banget Mas Dio, maaf banget," orang itu mengajaknya bersalaman. "Gaza."

"Dio."

"Ruangan awal kurang representatif jadi dipindah. Tapi saya udah kirim informasi pemindahan ruangan via chat ke Mas tadi pagi, apa nggak kekirim ya?" Gaza garuk-garuk kepala.

"Terus terang saya belum lihat ponsel dari ta...," kalimatnya terpotong karena gadis itu menyela.

"Karena udah ketemu, aku duluan ya, Ja."

"Oh, ya...ya...thanks, Il."

Gadis itu tersenyum sambil mengangguk ke arahnya.

Ia balas mengangguk.

"Silahkan Mas," Gaza mengarahkannya untuk segera memasuki lift. "Sepuluh menit lagi giliran Mas."

"Ini sih saya yang harus minta maaf," ia menepuk bahu Gaza. "Saya belum lihat ponsel dari pagi, terus ketinggalan pula di kantor, kesini nggak bawa ponsel jadi nggak bisa hubungi panitia."

"Nggak papa, Mas," Gaza tersenyum lebar. "Yang penting sekarang kita udah ketemu."

Sebelum pintu lift tertutup, ia masih sempat melihat gadis berlesung pipi itu sedang ngobrol dengan beberapa orang di salah satu sisi lobby.

Seperti biasa, otaknya langsung mendelete kejadian random sehari-hari, sampai siang ini saat koordinasi bulanan Fayyad mengeluhkan keterbatasannya dalam mengelola keuangan Lumina.

"Aing teu sanggup. Geus lieur (Aku udah nggak sanggup. Pusing)."

"Istri kamu ikut bantuin kita lagi lah," mereka jelas harus bekerja seefektif dan seefisien mungkin. Kalau perlu berdayakan insan sekitar.

"Ayeuna mah teu bisa. Nuju coas (Sekarang udah nggak bisa. Sedang coas)." Zahra, istri Fayyad, mereka menikah sejak sama-sama duduk di semester 4, memang masih menyelesaikan pendidikannya di FKG.

"Cewek lo," ia mengarah ke Gerry yang sejak tadi asyik di depan laptop. "Anak SBM kan?"

Gerry menggeleng, "Jangan pernah campurkan hubungan asmara dan profesionalitas. Sering tak sejalan," jawab Gerry yakin. "Never ever."

"Oprec lah. Urang geus perlu bagian keuangan. Meh teu lieur (Buka lowongan lah. Kita memerlukan bagian keuangan. Biar nggak pusing)."

Ia menggeleng, terakhir oprec untuk posisi Junior Programmer mereka sampai kewalahan. Sebagian besar pendaftar bahkan lulusan S1, yang notabene lebih tinggi statusnya dibanding mereka bertiga yang baru selesai TA.

"Pinjam anak keuangan Rippa dulu gimana?" Gerry memberi ide yang sebenarnya sudah pernah mereka lakukan. Dua bulan lalu mereka meminjam staf keuangan Rippa Architeam, untuk membereskan keuangan Lumina yang berantakan.

-FYI Lumina dan Rippa berbagi kantor yang sama untuk menekan biaya sewa tempat. Maklum, masih usaha rintisan, belum banyak menghasilkan keuntungan yang signifikan. Rippa sendiri digawangi oleh anak-anak Arsi teman seangkatan mereka di Ganapati.-

Tapi Rippa tak bisa membantu mereka kali ini, karena sedang banyak on going project, membuat jobdesc staf keuangan mereka almost overload.

"Closrec weh," usul Fayyad. "Neangan babaturan nu kenal (Cari dari teman yang udah kenal)."

Ia dan Gerry setuju. Mereka bertiga sama-sama hunting mencari anak keuangan. Tapi ternyata tak mudah mencari orang yang bisa dipercaya, capable dan mau untuk mengelola keuangan mereka. Beberapa kandidat langsung gugur atau mundur teratur begitu masuk ke ranah salary. Ya, terus terang Lumina baru mampu memfasilitasi sesuai UMR. Meski ke depannya ia sangat berharap bisa memberi kompensasi lebih dari layak. Hope so.

Tapi setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Fayyad memberi mereka harapan, "Urang aya kenalan budak DU, tapi keur kuliah keneh, semester opat. Kumaha?"

(Saya ada kenalan anak DU, tapi masih kuliah, semester empat. Gimana?)

"Nggeus weh. Derrr. Teu nananon.(Sudah, jadi, nggak papa)," Gerry setuju.

"Manehna tos pengalaman ncan (Dia udah pengalaman belum)?" ia sempat ragu. "Ngke riweuh deui urang kudu ngawulang (Nanti ribet lagi kita mesti ngajarin dulu)."

"Da lain sasaha. Anu sok ngabantuan keuangan Groovy kan anjeuna. (Dia bukan orang lain. Yang suka bantuin keuangan Groovy kan dia)," Fayyad tertawa. "Ari maneh teu percayaan. (Kamu nggak percaya amat)."

"Saha? Groovy nu eta lain (Siapa? Groovy yang itu bukan)?" Gerry penasaran.

"Nya Groovy eta, anjeuna adena si Jidni. (Iya Groovy yang itu. Dia adiknya si Zidni -orang Sunda kalau bilang huruf Z jadi J-)."

Ia mengernyit, "Groovy?" Kayak pernah dengar tapi lupa.

"EOnya anak DKV," ujar Gerry.

"Lain DKV hungkul. Maranehna sekelompok pas Ospek (Bukan hanya anak DKV. Mereka semua sekelompok pas Ospek)," terang Fayyad.

"Oh," ia mendadak teringat sesuatu. "Groovy na Zidni jeung Brian Sipil (Groovy nya Zidni dan Brian -jurusan- Sipil)?"

"Nya eta (Iya itu)," Fayyad mengangguk.

"Ok," ia setuju. "Coba panggil kesini anaknya. Interview dulu."

Dan siang ini, saat ia sedang mengistirahatkan mata karena terlalu lama menatap layar komputer, Fayyad memberi tahu kalau calon orang keuangan mereka sudah datang.

"Kita interview bertiga," ujar Gerry semangat, langsung mendudukkan diri di sebelahnya.

Ia yang sempat heran dengan keantusiasan Gerry mendadak paham begitu melihat siapa orang yang memasuki ruang meeting.

***

Ilma

"Wah, kita ketemu lagi."

Ia heran melihat orang yang duduk di tengah, menyambutnya dengan begitu gembira.

"Ingat sama saya kan?" tanya orang itu lagi sambil memakai kacamata tanpa bingkai.

Ia sampai harus mengkerut untuk mengingat siapa gerangan, tapi otaknya mampet, tak bisa menemukan clue apapun. Siapa ya? Yang jelas bukan salah satu teman kakaknya yang sering main ke rumah.

"Masa sih nggak ingat sama saya?" orang itu sampai tetawa sekaligus ditertawakan oleh dua teman lainnya.

"Udahlah, Yo, emang dia nggak ingat," ledek yang duduk di sebelah kiri yang memperkenalkan diri sebagai direktur operasional, siapa tadi namanya...oh ya Gerry.

"Nya, maksa pisan," ledek A Fayyad, teman Aa nya yang duduk di sebelah kanan.

"Kalau gitu habis ini ke ruangan saya," ujar orang itu yakin. "Siapa tahu kamu jadi ingat sama saya."

Sambil masih mengernyit ia berjalan mengikuti orang itu masuk ke sebuah ruangan yang disebut sebagai 'ruangan saya', tak jauh dari ruang meeting.

"Duduk," ujarnya yang sudah lebih dulu duduk dengan posisi penuh percaya diri. Lengkap dengan punggung diletakkan ke sandaran kursi, sementara satu kaki diangkat dan disilangkan ke kaki yang lain.

"Sekarang, udah ingat saya belum?" rupanya orang itu masih penasaran. Membuatnya makin mengernyit. Siapa ya, ia benar-benar tak bisa mengingat apapun.

Akhirnya orang itu menyerah, "Ya udah, sekarang perkenalkan diri kamu."

"Nama saya Ilma Adzkia, jurusan akuntansi semester empat..."

"Ilma....Adzkia...," orang itu mengulang menyebutkan namanya.

Ia mengangguk.

"Mau digaji berapa?" tanya orang itu straight to the point.

Ia hanya bisa meringis grogi sambil menatap tak percaya kearah orang yang menurutnya berkulit terlalu putih untuk rata-rata orang Indonesia, namun terlalu kuning untuk disebut orang Tiongkok dan negara rumpunannya, sementara wajah lebih mirip orang Korea campur Jepang. The most handsome man i've ever seen, batinnya.

"Bisa buat financial statement?"

"Bisa."

"Laporan pajak?"

"Bisa."

"Ok. Mulai sekarang kamu bagian dari Lumina."

"Saya...diterima?"

Orang itu mengangguk. "Sekarang, udah ingat saya belum?"

Membuatnya kembali mengernyit.

***

Keterangan :

Sidag. : perempatan Simpang Dago, sebuah perempatan di tengah kota Bandung yang mempertemukan Jl. Dago (Ir. H. Juanda, Jl. Dipati Ukur, dan Jl. Siliwangi)

DU. : Dipatiukur

FEB. : Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Terpopuler

Comments

Monica Lora

Monica Lora

dan akhirnya ILMA dn Dio berjodoh.. Dio maunya yg ad lesung pipi nya

2024-12-13

0

Nita Ria Nita

Nita Ria Nita

A' Dio maksa bnget se,minta pujaan hati nyruh ingat spa saya🙈🙊

2024-11-15

0

sakura🇵🇸

sakura🇵🇸

bener banget...mending ketinggal dompet kalau jaman sekarang,karena dihp udah bisa dijadian uang juga😅 klo ketinggal hp mending puter balik

2024-08-27

1

lihat semua
Episodes
1 PROLOG
2 1. We Both Have Demons
3 2. Bridezilla
4 3. Say It With
5 4. Destiny Like A Coincidence
6 5. Menghitung Hari
7 6. Love Is In The Air
8 7. Janji Suci, Satu Untuk Selamanya
9 8."He's A Really Good ...."
10 9. Bahagia Melihatmu Dengannya
11 10. Gelombang Pasang
12 11. Segitiga Bermuda
13 12. Rahasia Adit
14 13. The Darmastawa's Family
15 14. Baby You're All That I Want
16 15. "Lemme Show You Something...."
17 16. Selalu untuk Selamanya
18 17. A Hundred Thousand Things To See
19 18. Far Away
20 19. Don't You Dare Close Your Eyes
21 20. "Aku Baik-Baik Saja"
22 21. Boys Will Be Boys
23 22. "Sorry, For Being Rude"
24 23. I'll Be By Your Side
25 24. God's Greatest Gift
26 25. You're Just Too Good To Be True
27 26. The Six Million Dollar Twins
28 27. Husband Material, Ever
29 28. Sayap - Sayap Patah
30 29. Love Me Tender, Love Me Sweet
31 30. Never Let Me Go
32 31. Tears In Heaven
33 32. Best Daddys Award
34 33. (Real) Life After Marriage
35 34. The Baby Number Two or Three?
36 35. I'll Give You Everything
37 36. Falling Down
38 37. Going Through The Pain
39 38. Deal With The Pain
40 39. When You Were Here
41 40. Life Is Like A Rollercoaster
42 41. "Stay With Me, Please...."
43 42. Dynamic Duo
44 43. Help Me, Please!
45 44. Always Gonna be You
46 45. Beautiful Life
47 46. Cup of Tea
48 47. Feels Like Yesterday
49 48. Where The Heart Left Behind
50 EPILOG
51 Dibuang Sayang 1
52 Dibuang Sayang 2
53 Dibuang Sayang 3
54 Teruntuk Readers Tersayang
55 From Author with Love
Episodes

Updated 55 Episodes

1
PROLOG
2
1. We Both Have Demons
3
2. Bridezilla
4
3. Say It With
5
4. Destiny Like A Coincidence
6
5. Menghitung Hari
7
6. Love Is In The Air
8
7. Janji Suci, Satu Untuk Selamanya
9
8."He's A Really Good ...."
10
9. Bahagia Melihatmu Dengannya
11
10. Gelombang Pasang
12
11. Segitiga Bermuda
13
12. Rahasia Adit
14
13. The Darmastawa's Family
15
14. Baby You're All That I Want
16
15. "Lemme Show You Something...."
17
16. Selalu untuk Selamanya
18
17. A Hundred Thousand Things To See
19
18. Far Away
20
19. Don't You Dare Close Your Eyes
21
20. "Aku Baik-Baik Saja"
22
21. Boys Will Be Boys
23
22. "Sorry, For Being Rude"
24
23. I'll Be By Your Side
25
24. God's Greatest Gift
26
25. You're Just Too Good To Be True
27
26. The Six Million Dollar Twins
28
27. Husband Material, Ever
29
28. Sayap - Sayap Patah
30
29. Love Me Tender, Love Me Sweet
31
30. Never Let Me Go
32
31. Tears In Heaven
33
32. Best Daddys Award
34
33. (Real) Life After Marriage
35
34. The Baby Number Two or Three?
36
35. I'll Give You Everything
37
36. Falling Down
38
37. Going Through The Pain
39
38. Deal With The Pain
40
39. When You Were Here
41
40. Life Is Like A Rollercoaster
42
41. "Stay With Me, Please...."
43
42. Dynamic Duo
44
43. Help Me, Please!
45
44. Always Gonna be You
46
45. Beautiful Life
47
46. Cup of Tea
48
47. Feels Like Yesterday
49
48. Where The Heart Left Behind
50
EPILOG
51
Dibuang Sayang 1
52
Dibuang Sayang 2
53
Dibuang Sayang 3
54
Teruntuk Readers Tersayang
55
From Author with Love

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!