2. Bridezilla

Anggi

Tiga hari setelah ia menyelesaikan sidang skripsi dan segala tetekbengeknya, Rendra kembali datang ke rumah, kali ini bersama keluarga besarnya. Ada 3 kendaraan yang membawa rombongan sekitar 15 orang, termasuk Papa, Mama Dina, Mama Evi, dan Rakai tentunya.

Ia yang baru pulang dari Jogja malam sebelumnya, tak sempat melakukan perawatan untuk persiapan lamaran. Jadilah ia tampil seadanya, menyisakan wajah lelah dan kulit kusam setelah stripping persiapan sidang, sidang skripsi, sekaligus revisi.

"Kapan terakhir facial, Nggi?" Joyce, MUA sekaligus teman SMU nya mengernyit.

"Lupa, heee," ia meringis. "Kenapa? Banyak jerawat kecil-kecil ya?" Wajahnya mungkin terkesan mulus tanpa jerawat, namun kalau diperhatikan dengan seksama, ada jerawat kecil-kecil yang sering muncul di dahi atau pipi, biasanya seminggu menjelang haid.

"Jerawat sih nggak ada, mulus kok. Cuman banyak sel-sel kulit mati sama komedo."

Ah ya, ia dan komedo memang musuh bebuyutan.

"Aku bersihin dulu bentar ya, biar maksimal," Joyce memandang jam dinding. "Acara jam 10 kan?"

Ia mengangguk. Masih ada 2 jam lagi.

Entah apa yang dilakukan Joyce pada wajahnya, karena ia tak diijinkan melihat kaca.

"Kenapa?" protesnya. "Ntar kamu ngerjain aku lagi," sebenarnya nggak mungkin dikerjain sih, karier profesional Joyce sebagai MUA jelas sudah mentereng di seantero Karesidenan. Ia cuma penasaran campur grogi.

"Surprise," Joyce tersenyum penuh arti. "Sama kayak kamu ngasih surprise ke aku."

"Surprise apaan?" ia tertawa.

"Kirain yang ngelamar kamu itu Dio, eh ternyata orang lain," ujar Joyce blakasuta (apa adanya).

"Di grup alumni udah rame Dio di ceng ceng in sama anak-anak, pulang dari Jepang langsung ke KUA nih," sambung Joyce dengan wajah berbinar.

"Emang ya kalau belum jodoh kita bisa apa," pungkas Joyce dengan wajah menyesal. "Padahal kalian serasi banget."

Ia hanya bisa menelan ludah yang mendadak terasa pahit. Begini nasib punya circle pertemanan yang sama dengan masa lalu terindah, semua berita berputar tanpa filter. Membuat hati terkadang kembali terseret arus perasaan bimbang yang tak berkesudahan.

Namun kegundahannya menguap karena acara lamaran yang diadakan di rumahnya berlangsung lancar dan khidmat. Rendra, yang entah kenapa di acara ini terlihat shining, shimering, splendid dengan kemeja batik lengan panjang -padahal ia sudah beberapa kali melihat Rendra mengenakan kemeja batik lengan panjang, namun siang ini dia terlihat lebih glowing-, terus mengulum senyum sambil mengerling kearahnya sepanjang acara berlangsung. Bahkan saat Papa Rendra tengah berbicara di depan semua orang, memintanya pada Papah, Rendra justru mengedipkan sebelah mata padanya. Ish!

Dan keluarga Rendra melalui Rakai sebagai juru bicara meminta pernikahan dilaksanakan secepat mungkin.

"Besok, minggu depan, atau dua minggu lagi kami sanggup," begitu kata Rakai diikuti senyum lebar penuh percaya diri Rendra kearahnya. "Jangan khawatirkan soal biaya. Akan kami tanggung semua."

"Karena pernikahan adalah ibadah yang mulia, tidak seharusnya ditunda-tunda. Dan jarak ideal dari lamaran ke pernikahan sebaiknya tidak terlalu lama," pungkas Rakai yakin. Kira-kira dapat contekan darimana Rakai bisa ngomong sefasih itu. Wong dia aja belum menikah. Hmmm.

Namun Papah punya pandangan lain, "Sebaiknya tidak terlalu terburu-buru juga. Terus terang keluarga kami perlu waktu untuk mempersiapkan semuanya."

Setelah diskusi lumayan alot, negosiasi dengan keluarga besar, masukan dari Pakde Marsono sebagai sesepuh yang dituakan dalam keluarga besar Papah, akhirnya disepakati pernikahan akan dilaksanakan tanggal 27 April, sekitar dua bulan setelah ia wisuda.

Ia pikir setelah tanggal berhasil disepakati semua berakhir indah. Namun ternyata masih ada hal lain yang kembali memicu perdebatan.

"Kami ingin resepsi dilaksanakan di 2 tempat lain selain disini," ujar Rakai setelah sempat berbisik-bisik dengan Papa dan Rendra.

"Pertama di Jogja. Kenapa Jogja? Karena banyak teman, rekan, kenalan, dan relasi calon pengantin pria berdomisili di Jogja dan sekitarnya. Yang kemungkinan besar akan mengalami kendala jika resepsi hanya diselenggarakan disini. Karena jarak yang lumayan jauh dan waktu tempuh yang tidak sebentar."

"Jadi, resepsi di Jogja nanti ibarat ngundhuh mantu bagi keluarga Bapak dan Ibu Mulyo. Karena disana juga pasti banyak terdapat teman dan sahabat dari calon pengantin wanita."

"Yang kedua masih diantara dua pilihan. Yaitu Banjarmasin atau Samarinda. Daerah tempat asal dan tempat tinggal dari keluarga besar Darmastawa."

"Kalau pesta yang ini memang sudah tradisi kami. Istilahnya hadiah dari orangtua bagi anak yang melepas masa lajang. Semua anak yang terlahir di keluarga Darmastawa akan dibuatkan pesta seperti ini."

Ia yang sejak awal sudah mulai kurang nyaman karena pihak keluarga Rendra selalu membahas tentang biaya yang tak perlu dikhawatirkan, langsung mencelos begitu Papah menjawab dengan nada datar. -Fyi Papah selalu menghormati siapapun tamu yang datang, dengan bersikap antusias dan ekspresif. Jadi kalau Papah memasang wajah dan nada datar berarti beliau tersinggung-.

"Untuk resepsi di tempat lain kita pending dulu saja. Kami juga harus musyawarah dengan keluarga besar."

"Nggak usah mengkhawatirkan tentang biaya Pak, seluruh biaya kami yang tanggung, begitu juga resepsi yang disini," sambung Rakai cepat, yang malah jadi boomerang.

"Kami sama sekali tidak keberatan atau kesulitan soal biaya," ujar Papah cepat. "Yang penting disini kita sudah sepakat tentang hari pernikahan yaitu tanggal 27 April. Itu saja sudah cukup!"

Ia pun semakin tak nyaman. Mamah beberapa kali meremas tangannya. Sementara di seberang terlihat Rendra berbisik serius di telinga Rakai.

"Baik, Pak, Baik," suara Rakai mulai grogi. "Mohon maaf atas kesalahan redaksional saya tadi. Itu murni kekhilafan saya dalam berucap. Mohon dimaafkan."

Namun Papah tak menjawab.

"Sungguh tidak ada sedikitpun maksud kami disini untuk mengecilkan peran keluarga Bapak. Tadi hanya sebuah penegasan dari kami bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan...."

Papah masih diam sebelum akhirnya menjawab, "Begini saja, dari sekarang masih ada waktu dua setengah bulan ke tanggal pernikahan. Nanti kami musyawarahkan lagi usul dari keluarga calon mempelai pria tentang resepsi di beberapa tempat. Semoga bisa cepat mendapat kata sepakat. Nanti kalau sudah ada keputusan, akan kami informasikan ke pihak keluarga mempelai pria."

Akhirnya acara lamaran hanya menghasilkan kesepakatan tentang tanggal pernikahan, dan masih menyisakan tentang resepsi. Ia pun berdoa dalam hati, semoga Allah lembutkan hati semua orang yang hadir di acara lamaran ini.

Dan saat jamuan makan siang sedang berlangsung di ruang tengah, tanpa diduga Rendra datang menghampirinya yang sedang mencuci tangan di wastafel ruang makan.

"You're beautiful," bisik Rendra sambil celingak-celinguk sebelum mendaratkan ciuman singkat di ubun-ubunnya. "Really beautiful..."

Ia tersenyum sebelum bertanya, "Aneh ya?"

"Aneh apanya?"

"Aku," ia mengkerut. "Dari tadi Joyce nggak ngebolehin liat kaca. Bener-bener nggak tahu wajahku diapain sama dia."

Rendra justru tersenyum simpul sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana. "Coba kita foto dulu sama JKT48," seloroh Rendra sambil menempelkan pipi mereka berdua lalu berpose di depan kamera ponsel, cheers.

"Oh," setelah tiga kali cekrekan ia baru sadar. "Jadi fave kamu yang begitu," cibirnya. "Apa nggak pedofil namanya ngefavoritin ABG," ia semakin mencibir.

Rendra langsung terbahak. Membuatnya kembali mencibir.

"Habis siapa lagi yang mirip imutnya sama kamu," Rendra masih tertawa. "Aku nggak hapal nama-nama artis. Tadi aja pas kesini lewat perempatan ada baliho segede gaban tulisannya begitu."

Ia terus saja mencibir. "Nggak hapal nama artis tapi mantannya artis semua," namun ia jadi malu sendiri karena sudah keceplosan.

Untung Rendra tak memperpanjang, dia hanya tertawa sambil mencium rambutnya lalu berbisik, "Sehat sehat sampai tanggal 27 April ya. Love you."

Ternyata efek dari resepsi tiga tempat baru terasa pada malam hari, saat Papah memanggilnya secara khusus ke dalam kamar beliau. Ini artinya, Papah mau ngobrol yang serius banget.

"Manggil Pah?"

Mamah merangkulnya, "Sini duduk," mengajaknya duduk di sofa tanggung yang ada di dalam kamar.

"Anggi, tolong kamu musyawarahkan baik-baik sama Rendra tentang resepsi di Jogja sama di Samarinda."

"Itu penting dan mendesak atau tidak."

"Karena kalian kan harus mikir panjang. Kamu baru lulus, belum kerja, katanya mau lanjut master."

"Rendra juga mau master."

"Jadi ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Karena kalau kamu udah nikah, udah keluar dari rumah ini, tanggungjawab udah ada di suami kamu, Rendra."

"Papah sama Mamah memang masih bisa bantu, tapi nggak seleluasa sekarang kamu masih gadis tinggal di rumah Papah.

"Kuliah lagi itu perlu biaya. Belum nanti tempat tinggal, biaya hidup, dan lain-lain."

"Tolong dipikirkan yang matang. Daripada habis untuk pesta sehari dua hari, mendingan buat tabungan jauh ke depan."

"Iya Pah, nanti aku obrolin sama Rendra," ia mengangguk.

"Apalagi Rendra orang bisnis, yang keadaannya nggak tentu. Mikirnya harus jauh ke depan."

"Sekarang keadaan tenang, gimana kalau ada masalah kayak kemarin?"

Membuatnya harus menelan ludah.

"Tolong kalian pikirkan baik-baik, diskusikan, nanti kalau udah ada kesepakatan kasih tahu Papah."

"Jadi...Papah nggak setuju resepsi di tempat lain lagi?" tanyanya hati-hati. "Kenapa?"

"Ya itu tadi udah Papah bilang, kalian harus visioner. Papah sama Mamah nggak keberatan tentang biaya. Udah ada alokasi biaya-biaya untuk kamu, Adit. Tapi pesen Papah satu itu, pikirkan lagi manfaatnya."

"Apa Papah tersinggung...karena....keluarga Rendra bahas tentang biaya terus," ia semakin memberanikan diri.

Papah menghela napas sebelum menjawab, "Ya, Papah tersinggung. Kamu pikir keluarga kita setidakmampu itu sampai hal biaya diulang terus."

Maka ini jadi masalah serius. Belum juga urusan vendor selesai, Papah malah begini. Jadi begitu kembali ke Jogja, ia langsung minta ketemuan sama Rendra.

"Kamu kangen banget sama aku ya, sampai nggak sabar mau ketemu," Rendra terkekeh sambil mencium pipinya sekilas, yang langsung mendapat cubitan darinya.

"Aduh," Rendra mengaduh.

Rendra itu kalau deket-deket aja pasti langsung nyosor. Bener-bener mirip peribahasa kucing disodorin ikan langsung nyaplok.

"Kan kita udah resmi tunangan, bolehlah dikit-dikit...," Rendra kembali mendekatkan wajah, namun gerakan menghindarnya lebih cepat. Maklum, sudah terlatih. Membuat Rendra hanya bisa mencium angin karena ia kini sudah duduk di kursi.

Rendra pura-pura mencibir sambil mendudukkan diri di kursi.

Sore ini Raudhah kosong. Anak-anak belum ada satupun yang pulang dari kampus, sepertinya lagi pada sibuk mau UTS. Jadi ia memilih ngobrol di teras saja sampai anak-anak pulang jelang Maghrib nanti. Karena ia sedang malas keluar.

"Kita ngobrol disini aja ya," ia meminta persetujuan.

"Boleh," Rendra mengangguk. "Sepi. Anak-anak belum pulang?" sambil celingukan ke arah ruang tamu.

"Nggak akan dijawab," gerutunya.

Membuat Rendra terkekeh, "Tenaaang...nggak ada orang juga nggak akan diapa-apain kok," sambil mengerling. "Paling aku rasain yang semanis madu dikit," lanjutnya menyebalkan.

"Serius dong," ia merengut.

"Iya serius...serius," Rendra terkekeh sambil mengambil ponsel dari dalam saku. "Tapi kita pesen GoFood dulu ya, lapar nih. Kamu mau apa?"

Rendra memesan makanan dan minuman yang cukup untuk 5 orang. Padahal mereka hanya berdua. "Aku belum makan dari pagi," celoteh Rendra sambil melahap double cheese burger.

"Pasti diomelin...pasti diomelin...," lanjut Rendra cepat dengan gaya kocak.

Membuat mulut yang sudah terbuka setengahnya langsung tertutup rapat. Tapi akhirnya nggak tahan juga, "Kamu nyuruh aku sehat, kamunya nggak jaga kesehatan."

"Pagi udah makan tuan putri," seloroh Rendra. "Udah makan kok, serius. Ini emang lagi lapar aja tadi lewat jalanan macet gila."

Lalu sambil makan mereka mulai membicarakan semua hal tentang pernikahan. Mulai dari konsep, vendor, resepsi, biaya, kehidupan setelah menikah, semuanya. Dan ternyata berdiskusi dengan kepala dingin itu tak mudah. Beberapa kali mereka berdua saling mempertahankan argumen.

"Kenapa mesti tersinggung? Orang lain justru senang kalau nggak harus mengeluarkan biaya."

"Tolong jangan ungkit masalah biaya lagi," ia mulai nggak sabar. "Untuk akad dan resepsi di tempatku tolong jangan ungkit biaya. Kalau mau bantu silahkan, tanpa merendahkan. Kalau enggak juga nggak papa karena semua udah diperhitungkan."

Nada bicaranya yang lumayan tinggi membuat Rendra mulai menyadari ada yang missed. "Kamu...juga tersinggung?"

Ia tak menjawab.

"Oh, My!" Rendra geleng-geleng kepala. "Kami bukan mau sombong apalagi menyinggung. Ini murni pembicaraan jelas biar nggak salah paham."

"Justru bikin salah paham."

"Oke...oke..," Rendra mengalah. "Aku minta maaf. Janji nggak akan bahas soal biaya lagi. Tapi tolong, lobby Papah kamu buat acc resepsi di Jogja sama di Balikpapan."

"Dan kamu pasti tahu resepsi di Jogja 90% perlu. Banyak teman, rekan, kenalan kita disini yang nggak memungkinkan pergi ke tempat kamu."

Ia tahu itu.

"Aku perlu ini, Nggi. Tolong bantu aku ngobrolin semua ke Papah kamu ya."

Ia menghela napas.

"Nah, kalau resepsi di Balikpapan itu murni ide Papa. Kamu tahu sendiri Papa aku gimana. Semua anaknya dibikin pesta kawinan, nggak peduli anak resmi atau anak siri."

Ia pun tahu ini.

"Udah untung cuma resepsi sederhana. Biasanya Papa abis-abisan 7 hari 7 malam. Bisa-bisa Papah kamu pingsan kalau resepsi kita 7 hari 7 malam."

Kalimat terakhir Rendra membuatnya tersenyum.

"Nah, gitu dong senyum," Rendra bernapas lega. "Ternyata kawin lebih ribet daripada Raker," keluh Rendra sambil melemparkan punggung ke sandaran kursi.

"Lebih ribet daripada LPJ," sahutnya cepat. Membuat mereka berdua akhirnya terbahak bersama.

Namun keceriaan tak berlangsung lama. Karena Papah masih belum melunak dan tidak setuju tentang resepsi di Jogja dan Balikpapan. Ditambah masalah lain ikut mengantre.

Pertama, ia masih disibukkan dengan urusan vendor yang belum juga selesai. Mengurus pernikahan sendiri dengan cara LDR benar-benar menguras tenaga. Membuatnya harus bolak balik Jogja - rumah dalam suasana ribet persiapan wisuda.

"Pakai WO aja lah," sepertinya Rendra mulai tak nyaman dengan sikapnya yang uring-uringan. "Biar kamu nggak cape."

Akhirnya ia setuju acara di rumah diurus oleh WO.

"Nah, gitu dong. Kita kan mau jadi raja dan ratu sehari, bukan mau setres," Rendra tersenyum senang.

Namun urusan dengan WO ternyata juga nggak semudah itu Ferguso. Ada banyak miskom dan mislead yang bikin hal sederhana jadi rumit. Untung resepsi di Jogja dipegang anak-anak ManjoMaju, dan resepsi di Balikpapan dihandle keluarga besar Rendra. Kalau enggak, mungkin kepalanya bakal meledak.

Dan saat ia dan WO di rumah masih berusaha mencari titik temu, Rendra ikut nimbrung dengan mendesaknya untuk segera menyelesaikan pre nup.

"Aduh, aku udah nggak bisa mikir," keluhnya.

"Kamu tinggal bilang setuju, semua beres. As simple as that," Rendra menatapnya bingung.

Ia menunjuk kertas berisi format pre nup dengan berapi-api, "Ini terlalu serem. Kamu berarti dari awal niat pisah sama aku?"

"Kamu nulis 10 milyar itu mikir enggak sih? Emang mampu bayar segitu? Kalau buat perjanjian tuh yang make sense dikit dong!" ia tak kuasa menahan emosi.

"Seriously?" Rendra menatapnya makin bingung. Lalu mengelus kedua lengannya lembut. "Kayaknya kamu udah overload," Rendra geleng-geleng kepala. "Omongan kamu makin ngaco. Kita jalan aja yuk."

Ia jelas menolak mentah-mentah ajakan Rendra. Ia bahkan tak mengangkat panggilan telepon dari Rendra pada malam hari, lalu esok paginya, siang, sore, malam, sampai pagi ini, ia tak mengangkat telepon ataupun menjawab pesan chat dari Rendra. Ia malas, kesal entah pada siapa, sekaligus marah entah karena apa. Ia benar-benar feel alone and lonely. Undescribable worst feelings.

Dan Rendra jelas nggak terima diperlakukan begitu. Ia menelepon sejam sekali. Mengirim puluhan pesan chat yang bahkan tak dibukanya. Mengirim makanan via Ojol. Bahkan datang ke Raudhah namun ia tak mau menemuinya. Ia masih merasa sebal, kesal, marah, yang entah.

Sekarang adalah hari ketiga ia melancarkan aksi tak mau bicara dengan Rendra, yang masih saja berusaha menghubunginya. Namun selalu diacuhkan.

Sementara itu, karena beberapa hari lagi ia di wisuda. Mengharuskannya sibuk bolak balik ke kampus untuk ambil toga, ngurus ini itu, dan lain-lain. Untung ada Mala yang selalu ada, karena akhirnya mereka bisa wisuda bareng. Setelah mengalami drama berliku dengan dosbingnya.

"Elo mau nikah bukannya hepi malah stres sih," gerutu Mala. "Stres dicari sendiri lagi. Coba bayangin gimana khawatirnya Rendra lo nggak mau ngomong sama dia?!"

Ia mendecak. "Males ah. Gue pusing dia ngejar pre nup mulu."

"Itu kan buat kebaikan elo, Nggi. Harus diulang berapa kali sih. Segitu tersinggungnya disuruh bikin pre nup," Mala menggerutu.

"Ya gue nggak mau dipaksa-paksa. Lagian ya, dia bikin redaksional nggak make sense."

"Kan bisa diomongin baik-baik."

"Males ah gue," ia mengkerut. "Jalan yuk."

Mala menghela napas namun mengiyakan. Mungkin karena takut ia akan berbuat aneh-aneh, jadi Mala lebih memilih mendampinginya daripada nanti menyesal. Apa coba.

Ia yang jarang banget nonton di bioskop memutuskan untuk memilih nonton. Ceritanya ingin melakukan sesuatu yang beda dari biasanya. Dan Mala setuju-setuju aja diajak nonton film random tengah hari bolong. Thanks, Mal.

Seperti biasa sebelum film dimulai, yang jualan popcorn berseliweran menawarkan. Ia jelas tak akan membeli karena harus ngirit. Mala apalagi, nggak siap jalan malah diajak nonton. Jadilah duit mereka ludes buat beli tiket tadi. Tapi tiba-tiba ada seorang mba penjual popcorn yang mendekat lalu memberikan popcorn dan minuman bersoda padanya.

"Maaf, enggak Mba," tolaknya halus.

"Ini buat Mbanya, dari Mas-mas di belakang," kata mba penjual popcorn sambil tersenyum.

"Mas-mas yang mana?!" ia mengkerut takut.

"Yang disana," sambil menunjuk baris paling belakang. Namun ia tak bisa melihat dengan jelas siapa yang duduk disana.

"Maaf Mba, saya nggak kenal," ujarnya tambah takut. Ia jelas bukan tipe cewek yang cantik banget, yang bisa bikin orang langsung jatuh cinta dalam first impression.

"Buat Mba nya aja deh," ujarnya yakin.

"Apa sih?" Mala mulai terusik dengan obrolannya dengan mba popcorn.

"Wah, nggak bisa Mba," Mba penjual popcorn ngeyel. "Ini amanah, dari Masnya buat Mbanya. Masnya ganteng banget loh mba, jangan sampai nyesel karena udah nolak," kali ini mba popcorn sambil tersipu malu.

Ia pun bengong, akhirnya menerima dan mengucapkan terimakasih dengan bingung. Lalu menyerahkan popcorn dan minuman bersoda ke Mala yang makin mengkerut bingung.

"Jangan dimakan, serem," pesannya serius.

Dan sepanjang film diputar ia tak bisa konsentrasi menonton dan terus berusaha menengok ke belakang mencari tahu siapa gerangan orang tersebut.

"Lo kenapa sih?" Mala mulai terganggu dengan tingkahnya, sementara popcorn di tangan sudah licin tandas. Membuatnya mengernyit karena Mala masih segar bugar tak kurang suatu apa. Karena tadi ia sempat takut popcornnya dikasih sesuatu.

"Gue takut, Mal, kita pulang aja yuk," ia benar-benar takut ada orang iseng yang ngeprank atau malah berniat buruk.

"Hah?" Mala jelas bengong saat ia menarik tangannya agar keluar dari theatre. "Film belom abis, Nggi. Gaje gitu juga gue bayar tiketnya. Sayang!"

Tapi ia tak peduli, terus menarik Mala agar cepat keluar. Begitu sampai diluar justru ia yang mendapat kejutan. Seseorang tiba-tiba menarik tangannya. Meski ia merasa si penarik berusaha selembut mungkin, tapi cengkeramannya terasa sakit di tangan.

"Lepas!" ia berusaha memberontak. Namun cengkeraman orang itu terlalu erat.

"Eh..eh...Nggi," Mala langsung panik begitu melihatnya ditarik seseorang. Tapi anehnya, sedetik kemudian, Mala justru tersenyum sambil melambaikan tangan. Hah, apa-apaan Mala, bukannya nolongin?!

"Mal! Tolongin gue!!" teriaknya ketakutan. Tapi senyum Mala justru semakin lebar dan lambaian tangannya makin tinggi. Astaga, Mala tega banget sih lo?!

"Lepas!" ia pun berusaha memberontak dengan mengibaskan tangan keras-keras. Tapi tetap tak berhasil. Karena ia ditarik dalam keadaan mundur, sekarang ia berusaha merubah posisi badan agar bisa melihat siapa orang yang menariknya.

"Lepas!" ia semakin kuat memberontak begitu tahu siapa yang menariknya. Ya ampun, seharusnya ia sudah bisa menebak.

"Lepasin!" ia masih mencoba memberontak. Tapi Rendra justru merangkum bahunya dan membimbing langkahnya cepat menuju basement.

"Masuk," ujar Rendra datar sambil membuka pintu si hitam gagah. Ia yang awalnya ingin kabur langsung ciut demi menatap mata Rendra yang berkilat penuh api.

Akhirnya dengan terpaksa ia masuk ke dalam, dengan nafas masih tersengal karena usaha pemberontakannya tadi. Sementara Rendra bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Tetap mencondongkan badan as usual untuk memakaikan seat belt, lengkap dengan hembusan hangat beraroma mint yang melewati sepanjang bahu dan tulang selangkanya.

***

Keterangan :

Bridezilla : disebut juga sindrom pernikahan, berasal dari dua kata yaitu 'Bride' dan 'Godzilla' yang memiliki arti bahwa perempuan dengan sindrom ini mirip dengan 'Godzilla' yang mudah marah, kesal, atau sedih menjelang pernikahan.

Raker. : rapat kerja, biasanya untuk membahas proker (program kerja) sebuah organisasi

LPJ. : laporan pertanggung jawaban, biasanya disusun di akhir periode kepengurusan suatu organisasi/akhir acara sebuah kepanitiaan

Terpopuler

Comments

Safitri Agus

Safitri Agus

nikah emang belum,tapi....🤭🙈

2025-01-12

0

Safitri Agus

Safitri Agus

love you too,🤭

2025-01-12

0

Ei_AldeguerGhazali

Ei_AldeguerGhazali

Ini kalo anggi ketemu gengs hedon nya mas tama kena nilai berapa ya? Jd inget si nilai 90 🤣

2024-11-24

2

lihat semua
Episodes
1 PROLOG
2 1. We Both Have Demons
3 2. Bridezilla
4 3. Say It With
5 4. Destiny Like A Coincidence
6 5. Menghitung Hari
7 6. Love Is In The Air
8 7. Janji Suci, Satu Untuk Selamanya
9 8."He's A Really Good ...."
10 9. Bahagia Melihatmu Dengannya
11 10. Gelombang Pasang
12 11. Segitiga Bermuda
13 12. Rahasia Adit
14 13. The Darmastawa's Family
15 14. Baby You're All That I Want
16 15. "Lemme Show You Something...."
17 16. Selalu untuk Selamanya
18 17. A Hundred Thousand Things To See
19 18. Far Away
20 19. Don't You Dare Close Your Eyes
21 20. "Aku Baik-Baik Saja"
22 21. Boys Will Be Boys
23 22. "Sorry, For Being Rude"
24 23. I'll Be By Your Side
25 24. God's Greatest Gift
26 25. You're Just Too Good To Be True
27 26. The Six Million Dollar Twins
28 27. Husband Material, Ever
29 28. Sayap - Sayap Patah
30 29. Love Me Tender, Love Me Sweet
31 30. Never Let Me Go
32 31. Tears In Heaven
33 32. Best Daddys Award
34 33. (Real) Life After Marriage
35 34. The Baby Number Two or Three?
36 35. I'll Give You Everything
37 36. Falling Down
38 37. Going Through The Pain
39 38. Deal With The Pain
40 39. When You Were Here
41 40. Life Is Like A Rollercoaster
42 41. "Stay With Me, Please...."
43 42. Dynamic Duo
44 43. Help Me, Please!
45 44. Always Gonna be You
46 45. Beautiful Life
47 46. Cup of Tea
48 47. Feels Like Yesterday
49 48. Where The Heart Left Behind
50 EPILOG
51 Dibuang Sayang 1
52 Dibuang Sayang 2
53 Dibuang Sayang 3
54 Teruntuk Readers Tersayang
55 From Author with Love
Episodes

Updated 55 Episodes

1
PROLOG
2
1. We Both Have Demons
3
2. Bridezilla
4
3. Say It With
5
4. Destiny Like A Coincidence
6
5. Menghitung Hari
7
6. Love Is In The Air
8
7. Janji Suci, Satu Untuk Selamanya
9
8."He's A Really Good ...."
10
9. Bahagia Melihatmu Dengannya
11
10. Gelombang Pasang
12
11. Segitiga Bermuda
13
12. Rahasia Adit
14
13. The Darmastawa's Family
15
14. Baby You're All That I Want
16
15. "Lemme Show You Something...."
17
16. Selalu untuk Selamanya
18
17. A Hundred Thousand Things To See
19
18. Far Away
20
19. Don't You Dare Close Your Eyes
21
20. "Aku Baik-Baik Saja"
22
21. Boys Will Be Boys
23
22. "Sorry, For Being Rude"
24
23. I'll Be By Your Side
25
24. God's Greatest Gift
26
25. You're Just Too Good To Be True
27
26. The Six Million Dollar Twins
28
27. Husband Material, Ever
29
28. Sayap - Sayap Patah
30
29. Love Me Tender, Love Me Sweet
31
30. Never Let Me Go
32
31. Tears In Heaven
33
32. Best Daddys Award
34
33. (Real) Life After Marriage
35
34. The Baby Number Two or Three?
36
35. I'll Give You Everything
37
36. Falling Down
38
37. Going Through The Pain
39
38. Deal With The Pain
40
39. When You Were Here
41
40. Life Is Like A Rollercoaster
42
41. "Stay With Me, Please...."
43
42. Dynamic Duo
44
43. Help Me, Please!
45
44. Always Gonna be You
46
45. Beautiful Life
47
46. Cup of Tea
48
47. Feels Like Yesterday
49
48. Where The Heart Left Behind
50
EPILOG
51
Dibuang Sayang 1
52
Dibuang Sayang 2
53
Dibuang Sayang 3
54
Teruntuk Readers Tersayang
55
From Author with Love

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!