Suara berisik semua pengunjung seolah lesap begitu saja bagi Angkasa. Dia seperti itu lantaran fokusnya hanya ada pada wanita di depannya kini.
“Kasa, kamu ingat aku.” Myria bertanya hati-hati karena Angkasa tak lekas menjawab. Rasa takut mendadak menyerang kepercayaan diri dan berpikir mungkinkah Angkasa membencinya sehingga pria itu mengabaikan?
“Ka … sa.” Myria mengulang ragu.
Angkasa baru mengangguk setelah panggilan ketiga. Kemudian, dia tidak berkata apa pun dan justru memutar setengah badan karena enggan menghadap mantan istrinya lagi.
Hati Myria seketika nyeri mendapati sikap Angkasa. Tidak pernah tebersit bahwa mantan suaminya itu akan bersikap dingin, bahkan lebih parah dibanding masa sekolah. Myria pikir akan bisa bertegur sapa dan bersikap biasa saja, tetapi kenyataan tidak sesuai harapan.
Waktu, pengalaman, serta lingkungan memang bisa mengubah sikap seseorang, dan itu Myria dapati secara nyata pada Angkasa. Suka atau tidak, dia harus siap terima itu semua.
Tuan Aji dan Nyonya Nasita ikut bersedih, tetapi dua orang tua itu tidak ingin memihak siapa pun. Perpisahan menantu dan sang putra adalah salah satu goresan takdir yang tak bisa lagi diulang. Hukum tabur tuai memang terjadi dan Tuan Aji tidak pernah mengira imbas dari pernikahan mendiang ibunya bersama Tuan Sastra dahulu akan dialami putranya kini.
Tuan Aji juga tidak mau menyalahkan Tuan Tirta. Beliau memahami posisi kakak tirinya itu sama-sama tidak mudah, apalagi sampai melihat penderitaan ibu kandung yang harus menjalani poligami.
Situasi kurang nyaman itu tidak bertahan lama karena tiba-tiba suara pembawa acara mulai menyambut. Tuan Aji dan Nyonya Nasita pamit pada anak-anak yang mengelilingi. Dua orang tua itu sempat memberi tepukan ke bahu putranya sebelum benar-benar pergi dan sikap itu tidak lepas dari perhatian Myria.
Demi mengurai kecanggungan yang membelenggu , Sakti berinisiatif membawa Angkasa pergi. Sedikit banyak, dia hafal perangai sahabatnya sejak dahulu. “Acara udah dimulai. Gue pamit sama kalian. Belum nemuin nyokap juga ini tadi,” katanya membuyarkan perhatian Myria.
“Oh, iya. Aku sama Friska juga mau cari tempat duduk, kok.”
Sakti mengangguk, lalu merangkul punggung Angkasa dan berpamitan pada dua wanita yang dahulu jadi teman kelasnya.
“Lo kuat, Ka?” Aura jelas terasa berbeda, Sakti bisa merasakan tubuh Angkasa mendadak sedikit kaku. Dia khawatir kecemasan sahabatnya kambuh dan membuat heboh seisi gedung. “Sorry banget kalau bawa lo justru ketemu sama Myria. Abis ketemu nyokap, kita pulang aja.”
“Nggak perlu.” Setelah puluhan menit membisu, mulut Angkasa terbuka juga. Tatapan pria itu tetap lurus ke depan tanpa menoleh pada Sakti yang berusaha menenangkan. “Gimana pun juga, gue harus bisa ngelawan trauma itu. Gue masih pengin hidup.”
Hati Sakti ikut sakit mendengar perkataan Angkasa. Meski dirinya seorang lelaki, tetapi tidak pernah tenang menyaksikan kehancuran sahabatnya di masa lalu. “Istighfar, Bro. Gue ada buat lo.”
Langkah dua pria itu berhenti. Angkasa baru menoleh pada Sakti, lalu menepuk punggung. “Thanks.”
Acara berlangsung tenang. Sambutan dari pemilik dan pimpinan perusahaan mengisi keheningan. Semua menyimak dan mencoba memahami apa yang ingin disampaikan.
Ucapan terima kasih, beberapa rencana ke depannya perkara Kalastra Group dibahas bersama. Dalam kondisi seperti ini, Tuan Tirta dan Tuan Aji tidak terlihat saling bermusuhan. Justru, yang ada sikap saling professional sebagai owner serta pemegang jabatan tertinggi yang saling menghormati.
“Beberapa bulan ke depan, kami ada rencana akan mengembangkan bisnis ke ranah rumah tangga. Salah satu anak perusahaan yang bergerak di industry makanan, kami harap bisa membangun pabrik baru dengan produk baru yang bisa diterima di masyarakat.” Tuan Aji menyampaikan pidato, sementara Tuan Tirta yang sedang duduk jadi penyimak bersama Nyonya Caroline dan Daniel.
“Hal ini masih tahap pengembangan, kami akan mencari investor agar semua rencana ini segera terealisasikan. Sebelum keputusan final, saya beserta jajaran direksi akan membahasnya pada pemilik Kalastra Group yang kebetulan tahun ini hadir.”
Tepukan semua orang menyambut saat beberapa menoleh pada Tuan Tirta. Pria yang jadi pusat perhatian itu hanya tersenyum tipis.
“Hebat bener orang satu ini.” Sakti bicara tanpa sadar. Dua tangannya masih memberi tepukan, sementara mata terus fokus pada Tuan Aji dan Tuan Tirta bergantian.
Angkasa terdiam. Dia hanya bersuara dalam hati, “Lo aja ngakuin kalau Paman Mandala bukan orang biasa, Sakti, padahal harta keluarga lo juga nggak kalah banyak. Kalau gini, alasan apa yang bikin gue percaya diri buat dapetin Myria lagi?”
Berbeda dari Angkasa dan Sakti yang fokus ke depan, Myria justru sejak tadi memperhatikan dua pria itu. Deret kursinya bersama Friska berada di satu garis dengan Angkasa sehingga pandangan wanita itu beberapa kali terarah pada pria berlesung pipit tersebut.
“My.” Friska memanggil. Bukan dia tidak tahu sikap Myria sejak tadi yang terus memperhatikan Angkasa, tetapi dia sengaja membiarkan asal tidak kebablasan.
“Myria.” Wanita berkulit kuning langsat itu mencolek lengan sahabatnya.
“Eh, iy-iya, Fris.”
Bibir Friska tak lekas berkata. Dia pikirkan masak-masak apa yang ingin disampaikan. Namun, semua itu diurungkan karena khawatir Myria akan sakit hati. “Aku mau ke toilet dulu,” katanya mengganti maksud.
“Oh, iya. Ayo, aku temenin.”
“Nggak perlu. Kamu di sini aja, aku bisa cari sendiri.”
Kursi didorong Friska sedikit. Dia segera meninggalkan tempat setelah dapat persetujuan dari Myria. Kemudian, wanita itu bergegas menuju arah toilet.
“Sakti.” Baru saja menyingkir dari kerumunan orang-orang, Friska mempercepat langkah untuk mengejar pria yang lebih dahulu beranjak dari barisan kursi tadi. Sebenarnya, hanya akal-akalannya saja mengenai keperluan ke toilet. Tujuan utama Friska ternyata adalah sahabat Angkasa tersebut.
“Ya.” Tubuh Sakti berputar. Dengan satu tangan berada di saku celana, pria itu menunggu wanita yang berjalan ke arahnya.
“Elo, Fris.” Sakti keheranan, tetapi lekas mengubah ekspresi karena merasa spesial sampai-sampai dikejar. “Lo buntutin gue?”
“Iya,” jawab Friska jujur.
“Astaghfirullah, Ukhty, itu sepertinya sedikit aneh. Seharusnya pihak laki-laki yang mengejar wanita, bukan? Tapi, nggak pa-pa, gue justru merasa tersanjung kalau gini.”
“Ngomon apa, sih, lo?” Friska memukul lengan Sakti dengan mini bag yang dibawanya. “Gue bela-belain ngejar lo ke sini karena mau nanya soal Kasa.”
Sakti mencebik. “Kasa kenapa? Gue kebelet, buruan kalau ngomong.”
“Ya, udah, sana ke toilet dulu. Gue tungguin lo di depan pintu.”
“Yakin lo?” Tawa renyah Sakti memenuhi lorong menuju toilet. Pria itu geleng-geleng dan lanjut berjalan.
Abaikan ejekan Sakti, Friska serius dengan ucapannya. Dia ikut melangkah ke mana mantan teman kelasnya itu berjalan dan berhenti di dekat pintu masuk toilet laki-laki. Meski agak aneh dan khawatir ada yang melihat, Friska nekad menunggu sampai sepuluh menit.
“Jiah, masih di sini lo,” kata Sakti saat muncul.
Friska memutar bola matanya. Demi Myria, dia rela berkorban. “Buruan, deh, ceritain soal Kasa.”
“Kepo banget lo!” Bukannya menjawab, Sakti mengabaikan itu dan melenggang kembali.
“Sakti, tunggu!” Kaki Friska berusaha menyejajari langkah Sakti meski sedikit kesusahan karena heels yang tidak mendukung. “Bukannya kepo atau ikut campur. Tapi, masa lo nggak mau berbagi cerita kehidupan lo sama Kasa setelah kita lulus. Kuliah di mana, kerja di mana, sekarang sibuk apa gitu? Kita udah lama nggak ketemu, lho.”
Bibir Sakti menyeringai aneh. “Cewek emang pinter bener kalau ngomong. Gue tahu lo cuma modus.”
Wajah Friska memberengut. Susah sekali merayu Sakti.
“Tapi santai aja, gue masih anggep lo temen. Kalau sekarang emang gue nggak banyak waktu buat ngomong, Fris, apalagi pergi ke acara ini tadi sama Kasa. Gue kasih lo kartu nama, besok atau kapan lo ada waktu senggang, kabari gue buat ngobrol.”
Kartu hitam kecil dengan bentuk persegi panjang diterima Friska. Wanita itu mengeja tulisan yang tercetak di atasnya. “Sakti Eka Pradana, Direktur perusahaan Angkasa Pradana.”
Friska berpikir sejenak. Otaknya baru terhubung beberapa menit setelah Sakti pergi. “Tunggu! Ini artinya dia satu kerjaan sama Kasa?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Sri Puryani
tuan aji kan direktur perusahaan masak rmhnya sederhana thor
2024-12-04
1
Nendah Wenda
betul fris
2023-12-19
0
Happyy
😘😘
2023-10-04
0