“Ayah, apa besok malam aku boleh berangkat sendiri?”
Denting sendok Tuan Tirta berhenti. Makan malamnya terjeda karena pertanyaan sang putri. Pria berkemeja biru itu menatap Myria. “Kenapa tidak ingin berangkat bersama Ayah dan Mommy?”
Di samping Tuan Tirta, Nyonya Caroline mengangguk. Wanita berkebangsaan Singapura itu ikut menunggu jawaban.
Dapat perhatian dari kedua orang tuanya, Myria menaruh sendok dan meraih segelas air. Dia minum sebentar, baru menjawab, “Aku mau ajak Friska. Jadi berangkat sama dia.”
Wajah datar Tuan Tirta berubah. Beliau mengangguk dengan senyum tipis. “Jangan sampai telat. Kalau ada apa apa, telepon Ayah.”
“Siap, Yah.”
Obrolan ringan menjadi teman makan malam keluarga itu. Sampai akhirnya tiba waktu untuk istirahat dan semua penghuni masuk kamar masing-masing.
Myria merebahkan badan di kasur. Berbeda dari malam-malam yang telah berlalu selama beberapa tahun, sejak hari di mana melihat Angkasa, malamnya pun penuh dengan bayangan pria itu. Tidak jarang Myria berpikir, bagaimana kabar mantan suaminya tersebut? Di mana dia bekerja sekarang? Apa semua mimpi-mimpi yang dahulu pernah diceritakan, kini telah diwujudkan Angkasa?
“Kasa ….” Tangan Myria refleks menyeka sudut matanya. Ratusan purnama terlewat, lintas negara pernah memisahkan, tetapi nyatanya kenangan Angkasa tak pernah terkikis.
***
Bel dari pagar depan memaksa Angkasa ke luar rumah. Pria yang baru akan naik ke kamar itu berputar arah untuk melihat siapa yang berkunjung.
Jam digital di ponsel menunjuk angka delapan malam, Angkasa sempat berpikir siapa yang datang malam-malam padahal tidak ada janji. Ayah dan ibunya telah berangkat ke acara tahunan Kalastra Group, mungkinkah dua orang tua itu lupa membawa sesuatu.
Pintu utama terbuka, Angkasa berjalan menyusuri halaman yang tidak terlalu luas. Tidak seperti rumah keluarga Sastra dahulu, tempat tinggalnya kini lebih sederhana dan terjangkau untuk dibersihkan secara sendiri. Nyonya Nasita hanya dibantu satu pekerja rumah tangga, itu pun hanya dari pagi sampai sore tanpa menginap.
Dari balik pagar, Angkasa melihat mobil berhenti tepat di depan. Pria itu memfokuskan pandangan pada pria yang ada di balik kemudi.
“Kasa!”
Suara itu membuat Angkasa berdecak. Ternyata Sakti yang datang tanpa diundang. “Ngapain lo ke sini? Kesambet apaan bawa mobil segala?”
“Lo lupa, Bro? Gue udah kirim pesan sama lo tadi mau ngajak pergi ke acara perusahaan.”
“Kalastra Group?” Angkasa menyela lebih dahulu sebelum sahabatnya menyelesaikan penjelesan. Pesan Sakti sengaja tidak dibalas karena dia memang tidak berminat.
Rambut yang telah tersisir rapi itu diacak, Sakti menyengir karena sahabatnya telah mengetahui. “Bentar, Ka.”
“Nggak. Berangkat sendiri sana, males gue.”
“Ka, ayolah, nyokap gue berisik banget kalau gue nggak nurutin kemauannya.”
“Kenapa nggak berangkat sama nyokap lo aja tadi?”
“Nggak bisa. Ke mana-mana, gue harus sama lo. Kita udah kayak belahan jiwa soalnya.”
“Sinting lo!” Kaki Angkasa menendang lutut Sakti cukup kuat hingga membuat sahabatnya itu mengaduh.
“Buruan, Ka. Bantuin gue, kek.”
Mendengar rengekan Sakti, sekali lagi Angkasa berdecak. Namun, akhirnya, pria itu kembali masuk rumah dan bilang akan bersiap.
Seperti dapat cahaya kehidupan, Sakti langsung semringah. Dia setia menunggu di mobil sampai sahabatnya itu keluar lagi.
Mobil melaju menuju tempat acara berlangsung. Semua jajaran pemimpin perusahaan milik Kalastra Group berkumpul, ditambah banyak pimpinan perusahaan lain yang memang memiliki ikatan kerja sama. Termasuk perusahaan keluarga Sakti, sehingga undangan tidak terlewat.
“Bokap lo udah berangkat?”
Angkasa hanya berdehem tanpa membuka mulut. Sikapnya itu mengundang helaan napas dari Sakti yang kini memilih fokus mengemudi.
Berbeda dari Angkasa yang masih di jalan, Myria dan Friska telah tiba di gedung pertemuan. Suara riuh dari para tamu memenuhi pendengaran dua wanita yang sama-sama memakai jilbab cokelat muda tersebut.
Dua wanita itu masuk lebih dalam di antara orang-orang. Myria harus bertemu Tuan Tirta agar sang ayah tahu bahwa dirinya telah tiba dalam kondisi utuh.
“Itu Om Tirta, My.” Friska menggamit lengan sahabatnya. Dia arahkan Myria pada sosok yang dicari sejak tadi.
“Ayo!”
Terlalu banyak orang hingga membuat kedatangan Myria tidak disadari siapa pun, bahkan Daniel sekalipun. Pria yang sekarang pindah tugas menjadi asisten Tuan Aji untuk pengawasan itu ikut berbaur bersama klien yang lain.
“Ayah.”
Orang-orang yang mengelilingi Tuan Tirta sontak menoleh. Mereka sempat heran, tetapi tetap memberi jalan saat Myria mendekat.
Usapan lembut diterima Myria, Tuan Tirta berkata padanya, “Nikmati acara ini. Apa kamu ingin naik podium untuk memperkenalkan diri nanti?”
Myria menggeleng. “Enggak. Aku ganggu Ayah ini cuma mau kasih tahu kalau aku udah sampek. Ini sama Friska juga.”
Friska yang ada di belakang Myria menangkupkan tangan dan tersenyum pada Tuan Tirta.
Bibir Tuan Tirta tertarik ke atas. “Kalian bisa pergi. Ayah masih harus bicara pada Daniel. Kalau pulang, jangan lupa pamit pada Ayah.”
Selepas dapat izin, Myria menggandeng Friska pergi setelah menyapa beberapa tamu di sekitar Tuan Tirta. Dua wanita itu hendak mengambil minum atau sekadar menikmati hidangan yang telah disiapkan.
Akan tetapi, belum sampai di meja tempat makanan tersaji, perhatian Myria teralihkan pada pasangan yang ada tidak jauh dari keberadaannya. Dia tahan langkah Friska. “Fris, kamu ambilin aku juga, ya. Aku mau nemuin orang.”
Alis hitam Friska naik kedua sisi. Wajah bermekap tipis itu menunjukkan ekspresi heran. “Nemuin siapa? Emang kamu punya kenalan di sini?”
Pertanyaan tidak terjawab, nyatanya Myria justru seperti orang terkena hipnotis dan langsung menyelonong begitu saja. Dia seolah lupa karena terfokus ke satu titik.
“Biarin aja, deh. Aku haus mau minum dulu,” kata Friska lantas berlalu.
Friska lanjutkan tujuan, sementara Myria melangkah lebih lebar ke tempat lain. Dengan hati berdebar-debar, putri Tuan Tirta itu berusaha setenang mungkin.
“Bu–Bunda.” Setelah susah payah mengatur diri, Myria akhirnya bisa menyapa wanita yang sedang menjadi penyimak obrolan.
Dua pasang suami istri yang ada di depan Myria menengok bersama. Semua orang seperti bingung melihat kemunculan wanita bercadar yang tiba-tiba.
Myria melangkah lebih dekat, lalu memeluk Nyonya Nasita tanpa izin. “Aku Myria, Bun.”
Kaget? Tentu saja itu yang dirasakan Nyonya Nasita. Bahkan, Tuan Aji yang ada di samping beliau memberi respons sama.
Sepasang suami istri yang menjadi teman mengobrol Tuan Aji masih bingung, tetapi mereka izin pergi saat ada rekan lain memanggil. Tuan Aji ikut mengusap kepala Myria dan baru ini beliau melakukannya. Selama Myria jadi menantu, Tuan Aji tidak pernah menyentuh sama sekali.
“Kamu sehat, Nak? Ya Allah, masyaallah, Mama sampai nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini.”
Myria mengangguk di pelukan. “Sehat, Bun. Alhamdulillah.” Ditariknya tubuh itu dari pelukan Nyonya Nasita. “Bunda sama Papa apa kabar?”
“Kami sehat.” Tuan Aji menjawab sambil mengulas senyum. Myria menghampirinya dan mencium punggung tangan dengan sopan.
“Kenapa kamu datangi kami, Myria? Ayahmu akan marah kalau melihat ini.”
“Enggak akan, Pa. Papa tenang saja. Aku udah minta izin buat keliling tadi.”
Dua orang tua itu hanya tersenyum menanggapi omongan Myria. Kemudian, mereka larut dalam obrolan bersama hingga Friska datang dan ikut bergabung.
Jalanan dilalui Sakti dengan lancar. Pria berjas hitam itu hampir menyeret sahabatnya saat tiba di parkiran lantaran Angkasa berubah pikiran dan bilang akan pulang. Namun, beruntungnya itu tidak terjadi karena Sakti begitu pandai mengolah kata untuk merayu.
Dua pria sama-sama berjas hitam itu masuk, tujuan mereka menemui orang tua dan akan duduk ketika acara dimulai.
“Ke mana dulu, nih?” tanya Sakti sembari menghentikan langkah di tengah-tengah kerumunan.
Angkasa mengedikkan bahu. Sepatah kata pun tidak keluar dari mulutnya.
“Ya, udah, jalan. Kita sapa bokap lo sebagai pimpinan Kalastra Group.”
Angkasa mendecih. Dengan setengah hati, dia mengikuti Sakti yang berjalan lebih dahulu. Egonya masih bercokol di hati karena enggan berbaur bersama orang-orang yang berhubungan tentang Tuan Tirta.
“Om Aji.”
Tiga wanita dan satu pria di depan Sakti langsung berhenti mengobrol, perhatian mereka otomatis beralih pada Sakti. Namun, jeda itu tidak bertahan lama karena Tuan Aji menyambut Sakti dengan pelukan.
“Pintar juga kamu membawa Kasa kemari.”
Friska langsung menggandeng Myria saat mendengar Tuan Aji menyebut nama sang anak. Wanita itu tidak menyangka sahabatnya akan bertemu mantan suami, padahal Tuan Aji bilang Angkasa tidak mau datang.
“Siapa dulu, dong, Om?” Sakti berujar bangga dan dapat sambutan tawa dari Tuan Aji.
Lepas pelukan dari Tuan Aji, Sakti ingin menyapa Nyonya Nasita. Namun, langkahnya terhenti melihat dua wanita muda yang menemani. Dia mengerutkan kening ketika melihat paras salah satu dari wanita itu sepertinya tidak asing.
“Ini gue, Friska.”
Dua mata Sakti membeliak. “Wah, beneran elo, Fris? Beda banget sekarang.”
Friska memutar bola mata. Namun, berubah jadi tersenyum aneh saat Myria menyenggol untuk mengingatkan. “Lo juga beda,” kata Friska mengembalikan pujian.
Sakti terkekeh, lalu berdehem beberapa kali sembari membenarkan kerah kemeja yang sebenarnya baik-baik saja. Sejenak, pria itu lupa Angkasa yang mematung di belakang.
Myria yang ikut tersenyum mengalihkan perhatian. Dua mata indahnya bertemu dengan tatapan Angkasa secara spontan. Dia melangkah maju meski jantungnya seolah ingin meledak. Sebisa mungkin Myria tidak menangis melihat mantan suaminya yang kini berubah lebih tampan dari segi penampilan.
“Kasa, kamu ingat aku?” Wanita bermata bulat dengan cadar hitam di wajahnya itu bertanya pelan.
Bibir Angkasa tertutup rapat, tetapi hati berbisik, “Bagaimana aku bisa lupa saat tajamnya namamu mampu memutus semua syaraf di kepala hingga aku nggak ingat lagi kehidupan yang sebenarnya, Myria?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Nendah Wenda
cinta yang sangat dalam terhalang kebahagian orang tua sangatlah sulit untuk di lupakan
2023-12-19
0
Happyy
💖💖
2023-10-04
0
Irsyad Mandala
semangat up ya thor suka banget sma ceritanya kasa and myria
2023-06-30
2