Ketukan pintu membuat seorang perempuan berdiri dari kursi. Dia tinggalkan sejenak sketchbook yang baru tergambar separuh karena tidak ada yang akan membuka pintu kecuali dirinya.
“Assalamualaikum, Friska.”
Suara lembut seseorang menelusup ke pendengaran Friska. Wanita itu mendongak dan memperhatikan siapa yang kini ada di depannya. Bibir Friska melengkung perlahan setelah menjawab salam, lalu diikuti kehebohan. “Myria!” Perempuan itu langsung memeluk erat. “ Ya, Allah, My. Kenapa nggak bilang kalau balik?”
Myria terkekeh di pelukan. Tubuhnya dan Friska bergoyang kanan dan kiri saking bahagianya bertemu. “Sengaja. Sure prize buat kamu.”
Bibir Friska mengulum senyum. “Untung aku nggak pindah rumah, lho. Jadi kamu bisa langsung ke sini.”
“Mau pindah emangnya?”
“Enggak juga, sih.”
Dua wanita yang sama-sama telah dewasa itu tertawa lagi. Memang darah persahabatan mereka telah bercampur seperti keluarga. Sikap, sifat, bahkan pemikiran sering kali bisa sejalan saking eratnya hubungan yang terjalin sejak sekolah.
“Masuk, deh. Di luar panas.”
Myria setuju. Dia segera masuk dan duduk di sofa empuk berwarna abu-abu. Hampir sepuluh tahun tidak mengunjungi tempat Friska, ternyata banyak barang berubah. Rumah yang dahulu terlihat sangat sederhana, kini lebih luas dan lega. Myria baru sadar jika bangunan itu mengalami perombakan.
“Beda banget sama dulu.”
Paham ucapan sahabatnya, Friska tertawa lirih. “Alhamdulillah, ini berkat bantuan dari ayahmu juga, kan? Sejak waktu itu, Ibu jadi bisa ngembangin usaha jahitnya yang dulu cuma sendiri, sekarang banyak temen karena usahanya berkembang jadi konveksi. Ditambah lagi, aku makasih banget juga, My, karena kamu ngajakin aku kuliah sampai beres.”
“Apa, sih, Fris. Aku yang makasih sama kamu udah mau nemenin. Kalau nggak punya temen kayak kamu, nggak tahu lagi, deh, hidup aku bakal gimana.” Tatapan Myria menerawang jauh. Jelas dia tidak lupa semua hal besar yang telah berhasil dilewati selama ini.
Hidup Myria berubah drastis. Bukan hanya perkara dari miskin jadi kaya, tetapi tentang keluarga baru. Tuan Tirta membawanya pergi dan tinggal di keluarga asing. Perbedaan pandangan dan cara hidup, terutama keyakinan adalah perubahan besar di hidup Myria selain berpisah dari Angkasa.
“Eh, udah. Jangan mikir macem-macem. Aku buatin minum, ya.” Mengalihkan perhatian sahabatnya itu dirasa lebih baik menurut Friska. Wanita berjilbab navy itu beranjak dan pamit ke belakang.
Myria menarik gambaran Friska. Tangan mulusnya ganti mengambil pensil dan meneruskan coretan. Lulus dari salah satu universitas di Turki dengan jurusan fashion and textile design, gadis itu kembali ke negara di mana Tuan Tirta tinggal. Kemudian, soal pekerjaan tentu tidak pusing, Myria mengikuti sang ayah dan bekerja di satu gedung.
Friska datang dengan dua gelas jus melon. Bukan dia tidak tahu jika sahabatnya lebih suka stroberi, tetapi memang stok buah di rumah mulai habis.
“Minum, My.”
Skecthbook dikembalikan ke meja, Myria menarik gelas yang masih penuh isinya. “Nggak ada orang, kan?”
“Nggak ada. Ibu ke toko, pulang nanti sore.”
Mendengar jawaban Friska, Myria menaruh gelas, lalu melepas ikatan cadar dari balik kepala. Dia simpan di tas dan mulai menikmati minum buatan sang sahabat.
“Pesenan dari sekolah kita itu.” Tiba-tiba Friska bicara tanpa ditanya. Dua matanya mengarah ke gambar di atas meja yang baru dikerjakan sejak dua hari lalu.
“Seragam olahraga ini?”
“Iya. Pak Zayyan sendiri malahan yang datang ke tempat Ibu. Aku kaget lihatnya.”
“Kenapa kaget? Nggak nyangka gitu, ya, dapat orderan dari tempat sekolah dulu.”
“Salah.” Friska meneguk minumnya sebentar, baru melanjutkan, “Kaget lihat Pak Zayyan, nambah umur tapi makin cakep orangnya.”
“Astagfirullah, Fris.” Myria geleng-geleng. Memang benar keduanya belum menikah, tetapi tidak menyangka mata sahabatnya ke mana-mana selama ini. Myria kira, Friska masih sibuk membahagiakan sang ibunda sehingga belum juga ingin menikah. “Suami orang. Jaga pandangan.”
“Pak Zayyan duda tahu, My.”
Mata bulat Myria makin melotot. Wajahnya yang ceria berubah dalam sekejap. “Terus? Kamu mau ngelamar beliau? Ya, Allah, Friska.”
Bukannya menenangkan sahabatnya, Friska justru tertawa lepas sembari menutup mulut. Usia memang masuk ranah dewasa, tetapi sikap perempuan itu tetap saja sedikit konyol ketika bertemu Myria.
“Udah, ah. Ngapain bahas Pak Zayyan.” Mengganti topik obrolan sepertinya lebih baik. Friska menaruh gelas dan bersandar. “Kamu belum cerita kapan nyampek sini.”
Apa yang dilakukan Friska, dilakukan pula oleh Myria. Perempuan berjilbab teracota itu menarik napas sebentar. “Pagi tadi, sih. Istirahat bentar di hotel terus ke sini nyamperin kamu.”
“Kamu nginep hotel? Kenapa nggak ke rumah Om Tirta aja, sih?”
“Ayah nggak ikut. Sabtu besok baru terbang dari sana sama Mommy Caroline.”
“Tumben banget ibu tiri kamu ikut.”
“Ada acara di Kalastra akhir pekan ini. Semua pimpinan perusahaan ngumpul. Kata Om Daniel, ada penggalangan dana kegiatan amal juga, sih. Nggak tahu, lah. Liat aja besok.”
Friska manggut-manggut.
Myria lantas berkata, “Aku ke sini mau minta tolong jahitin baju buat acara itu.” Kalimat itu diakhiri dengan senyum lebar.
“Hah? Yang bener aja, My. Kurang berapa hari minta bikinin baju, harusnya paling nggak sebulan sebelumnya.” Kesal sendiri Friska menanggapi permintaan Myria. Sebagai sesama desainer fashion, bisa-bisanya sang sahabat meminta hal mendadak. “Beli aja, deh, ke butik. Aku temenin sekarang.”
Dengan wajah manyun karena ditolak, Myria tetap beranjak dan mengikuti sahabatnya. Dua wanita berpakaian serba tertutup itu keluar dan menuju salah satu pusat perbelanjaan.
Usai berputar-putar di dalam mal dalam waktu beberapa jam, Myria dan Friska akhirnya dapat apa yang diinginkan. Tiga paper bag masing-masing ada di tangan mereka. Niat hati cukup membeli satu set gamis beserta kerudugnnya, tetapi lain hal yang didapat. Satu paper bag memang berisi pakaian, sementara dua paper bag lagi berisi sepatu dan sandal.
“Laper, nih. Makan dulu, yuk.” Eskalator terakhir menuju lantai dasar telah dilewati, Friska menarik Myria ke salah satu restoran yang tersedia. Tanpa menolak karena merasakan hal yang sama, Myria menurut.
“Emang harus, ya, aku ikut, My? Aku bukan siapa-siapa, lho. Malu, ah, sama orang-orang kaya.” Sembari menunggu makanan tiba, Friska mengutarakan pendapat. Selama jalan-jalan tadi, Myria bilang bahwa akhir pekan akan mengajak ke acara perusahaan.
“Nggak masalah. Kamu bagian nemenin aku aja. Nggak bakal ada yang berani ganggu.”
“Aku boleh nanya sesuatu nggak, My?”
Dua alis Myria langsung mengeriting. “Tumben banget nanya pakek izin.” Masih mencoba berkelakar, Myria sering menanggapi omongan Friska dengan candaan.
“Bukan gitu. Ini agak sensitif, sih. Jadi ….”
“Nanya aja. Kamu aneh serius gini, Fris.”
“Kalau kamu dateng ke acara itu ….” Friska berkata hati-hati. “Ada kemungkinan besar ketemu Kasa. Kamu … udah siap?”
Myria membeku. Dari sorot mata, wanita itu terlihat berubah serius. Dia membuang napas pelan. “Insyaallah. Gimana pun juga, selama Papa Aji masih berada di Kalastra Group, akan banyak kemungkinan-kemungkinan lain.”
Friska tak lagi bertanya. Dia menyudahi pembahasan serius itu karena makanan telah tiba. Dengan sifatnya yang ceria, Friska berusaha mengalihkan pikiran Myria agar tidak terus menerus ingat masa lalu.
Keluar dari mal dengan perut kenyang, kebahagiaan dua wanita berusia 27 tahun itu makin bertambah. Rasa rindu mereka terobati, apalagi bisa menikmati waktu mengobrol lebih lama.
Pintu mal bergeser ketika hendak dilewati. Friska melenggang santai dengan pandanga mengedar ke sekitar. Hari mulai senja, padatnya jalanan sedikit membuat jiwa frustrasi.
“Eh, bentar. Aku pesenin taksi online,” kata Myria sembari mengorek isi tasnya mencari ponsel yang sejak tadi tersembunyi. Wanita itu agak kesulitan karena dibarengi membawa paper bag terlalu banyak sehingga tidak sadar salah satu barang terjatuh.
Belum sempat Myria melangkah jauh dan masih fokus membuka aplikasi taksi online, seseorang mendekat dan berkata padanya, “Dompet Anda jatuh, Nona.”
Perhatian Myria teralihkan, begitu juga Friska yang ada di sebelah. Wanita itu menerima dompetnya yang diambilkan oleh orang tadi.
Dua mata indah Myria tak berkedip saat tahu paras pria yang membantu. Bahkan, setelah pria itu masuk mal bersama satu pria lainnya, dia tetap diam seperti patung.
“Angkasa ….” Bibir Myria menggumam tanpa ada yang bisa mendengar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Nendah Wenda
jadi penasaran
2023-12-19
0
Happyy
😘😘
2023-10-04
1
@ Mmh adil @
duh ketemu ey
2023-09-28
2