“My.”
“My, ayo!”
Friska terheran. Dia alihkan posisi ke depan sahabatnya dan menggerakkan tangan ke kanan serta ke kiri perlahan. “Myria, sadar.”
“Astaghfirullah.” Cepat-cepat Myria menoleh. Dia sadar tidak seharusnya memandang pria sebegitu dalamnya bahkan sampai punggung pria itu menghilang. “A-ayo, Fris. Udah deket taksinya.”
“Bentar.” Satu tangan Friska menahan lengan Myria. Tindakan wanita itu tentu menghentikan gerakan sahabatnya. “Kenapa jadi kebingungan gini. Kamu lihat siapa, sih? Cowok tadi? Iya, aku juga lihat dia ganteng. Tapi nggak biasanya kamu gini, My.”
Bibir kemerahan yang tersembunyi di balik cadar itu bergetar, bahkan untuk menyebut nama Angkasa pada sahabatnya saja, Myria masih kesusahan. Jantungnya berdegup hebat seperti usai lari maraton. “A-aku nggak lihat apa-apa. Bukan siapa-siapa, Fris. Cuma orang baik.”
Jawaban Myria nyaris disanggah oleh Friska lagi, tetapi bunyi pemberitahuan dari ponsel menghentikan niat wanita bergamis navy tersebut.
Myria menarik Friska setelah membaca pemberitahuan bahwa taksinya telah menunggu dalam jarak beberapa meter. Mereka akhirnya masuk kendaraan dan berbaur di jalanan yang masih macet.
Tiba di rumah, Friska dan Myria langsung disambut sang ibunda. Wanita paruh baya yang baru pulang dari konveksi itu menyuruh anak dan sahabat sang anak untuk segera mandi.
Meja makan di ruang tengah menjadi tempat duduk saat ini. Myria dilarang pulang cepat karena ibu Friska telah menyiapkan hidangan makan malam.
“Menginap di sini saja, Myria.” Ibunya Friska mulai bicara. Wanita pemiliki konveksi itu menambahkan lauk ke piring Friska dan Myria bergantian.
Merasa terharu atas apa yang didapat, Myria mengulas senyum dan mengucap terima kasih. “Aku udah check in hotel pagi tadi, Tante. Baju-baju aku juga di sana.”
“Ukuran badanmu dan Friska tidak jauh berbeda. Kalau hanya untuk malam ini, bisa, kan, pakai piyama dia?”
Friska yang tengah menelan makanan itu mengangguk. Dia ikut menambahi. “Iya, ih. Belum puas aku ketemu kamu, My.”
Lengkungan di bibir Myria tak lekas turun. “Tenang aja, kita bakal ketemu tiap hari. Aku menetap di sini sekarang. Udah izin sama Ayah buat tinggal di kota ini lagi.”
Terjadi adu pandang antara ibu dan anak. Friska beserta sang ibu seolah saling bertanya dan tidak percaya atas apa yang diucap Myria. Dua wanita beda usia itu juga tahu tentang Tuan Tirta yang membawa Myria pergi beberapa tahun lalu karena sengaja menjauhkan dari Angkasa.
“Serius kamu, My?”
“Um.” Myria mengangguk lalu menyuap sepotong udang. “Ayah ngasih kebebasan, asal komunikasi tetap berjalan. Ada Om Daniel yang bakal bantuin aku kalau ada apa-apa.”
Mata Friska mengerjap-ngerjap tidak percaya. Makanan di piring bahkan diabaikan beberapa detik.
“Awalnya nggak boleh, sih. Tapi aku yang ngeyel buat pergi dari Singapur. Aku mau mutusin jalan hidup aku sendiri tanpa bergantung pada Ayah.”
Belum usai keheranan Friska, masih harus ditambah penjelasan panjang dari Myria. Sahabatnya satu itu memang mandiri sejak dahulu, kemungkinan itulah yang jadi alasan tidak betah tinggal bersama Tuan Tirta dan keluarga baru.
“Jadi, kamu mau kerja di sini?”
“Betul. Bahkan aku udah kirim beberapa CV ke perusahaan di kota ini.”
Friska tergagap. Dia hanya membuka mulut dan mendadak kehilangan semua kosakata yang biasa dikeluarkan. “Ka–kamu segitunya, My? Kalau nggak pengin ikut Om Tirta di sana dan pengin kerja di sini, kenapa nggak ambil posisi aja di salah satu perusahaan yang ada di bawah naungan Kalastra Group? Kenapa pakai kirim lamaran segala kayak orang susah.”
Ibu Friska ikut bingung. Wanita itu hanya jadi penyimak.
“Enggak. Kalau orang-orang tahu aku anaknya yang punya perusahaan, ntar khawatirnya pada memperlakukan aku beda. Nggak mau kayak gitu, mending kerja di tempat lain biar aku punya tantangan tersendiri.”
Mulut Friska membulat saat mengucap “ooh” atas pengakuan Myria. Sebagai sahabat, dia hanya bisa mendukung setiap keputusan Myria asal tidak membahayakan. Seperti halnya dahulu, saat Myria dan Angkasa memutuskan berpisah, Friska tidak membela siapa pun. Dia masih bersikap baik pada Angkasa sampai ujian akhir kelulusan.
***
“Pertemuan jajajaran direksi dan semua pimpinan perusahaan milik Kalastra Group? Enggak, Ma. Mama aja sama Papa. Aku di rumah.”
Nyonya Nasita mengusap bahu putranya yang masih sibuk di ruang kerja. Wanita itu menyodorkan segelas susu ke meja. “Papa ingin sekali-sekali membawamu dalam acara seperti ini, Nak. Kamu keberatan? Siapa tahu juga kamu dapat kolega baru buat perusahaanmu dan Sakti.”
Angkasa menggeleng. Meski dia akui perusahaannya tidak sebesar tempat kerja sang ayah, tidak sedikit pun Angkasa ingin berurusan dengan Kalastra Group. Pria itu tidak ingin membawa embel-embel keluarga dalam urusan kariernya.
“Nggak, Ma. Aku bisa nyari kolega di luaran sana tanpa harus hadir di tempat itu.”
“Pamanmu hadir tahun ini.”
Ucapan sang ibunda membuat Angkasa menahan napas. Dadanya seolah dihantam kabar mengejutkan setelah hampir sepuluh tahun Tuan Tirta tidak menampakkan diri.
“Bagaimana? Masih tidak ingin ikut? Kemungkinan Jumat, beliau baru akan terbang dari Singapur.” Lagi, Nyonya Nasita memberi penjelasan lebih rinci.
Angkasa menoleh pada Nyonya Nasita dengan tatapan gamang. Bibirnya yang mungil mengatup sempurna. Namun, setelah itu, dia tetap menggeleng. “Ada Paman Mandala, aku justru takut bertemu Myria.”
Ditariknya kepala sang anak ke pelukan, Nyonya Nasita mengusap rambut Angkasa dengan penuh rasa sayang. Wanita bergamis hitam itu menghela napas, lalu berkata, “Mama tidak akan memaksamu lagi. Minum susunya dan segera istirahat.”
Satu kecupan di ubun-ubun didapat Angkasa. Pria itu mengangguk dan membiarkan Nyonya Nasita pergi. Dalam terangnya lampu ruang kerja di rumah, pikiran Angkasa mulai berkelana.
“Gimana rasanya bertemu mantan istri yang sekarang justru lebih baik dianggap jadi kakak sepupu?” Angkasa tersenyum miris. "Apa dia sudah menikah sekarang? Heh." Ingin sekali pria berkaus hitam itu berteriak dan mengatakan pada dunia bahwa dia tidak terima, tetapi apa yang bisa diperbuat. Kedua orang tuanya jauh lebih berharga dibanding kebahagiaan diri sendiri.
Hari berlalu dengan kesibukan masing-masing individu. Angkasa bekerja seperti biasa, sementara Myria beberapa hari ikut Friska ke konveksi. Dua wanita berprofesi sama-sama sebagai desainer itu ikut membantu mengerjakan pesanan kaus olahraga sesuai permintaan sekolahnya dahulu.
“Tante, gimana kalau aku kerja di sini?”
Ibu Friska beserta beberapa karyawan lain langsung menoleh. Aktivitas mereka terjeda beberapa saat.
“Myria, jangan bercanda. Tante tidak bisa memberikanmu gaji besar seperti perusahaan luar negeri.”
Dua mata Myria menyipit. Di balik cadarnya, semua orang tahu wanita itu sedang tersenyum. “Aku nggak butuh gaji banyak, Tan. Tapi butuh pengalaman. Sambil nunggu panggilan kerja, nih. Boleh, ya?”
“Nggak usah aneh-aneh, deh, My. Om Tirta bisa ngeratain bangunan ini kalau tahu anaknya dibiarin kerja di tempat kecil gini.” Friska yang baru ke luar dari kamar mandi berceletuk. “Buka butik sendiri aja, deh, kalau emang nggak mau balik ke sana.”
“Nggak mau. Orang aku maunya deket sama kamu aja. Tiap hari bisa ketemu.”
Mendengar alasan aneh dari Myria, bola mata Friska berputar. Dia meneruskan jahitan di sebelah. “Ya, udah patungan sama aku. Gimana?”
“Tapi kalau ntar aku dapat panggilan kerja gimana?”
“Astaghfirullah, Myria. Ya, nggak usah didatengin. Kan, udah buka usaha sendiri.”
“Nggak jadi, deh. Aku mau jadi pengangguran aja selama nunggu interview.”
“Serah, deh, My. Terserah.” Gemas sendiri Friska sampai tanpa sadar menggigit kain kaus yang akan dijahit. Sontak, tingkah aneh itu mengundang tawa seisi ruang produksi.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
murniati cls
apa yg terjd dimasa lalu,n kok istri,bila umur skrg sm 9 THN yg lalu,Brati 18 THN nikah,gmn crtnya
2023-12-22
0
Nendah Wenda
apa yang terjadi di masa lalu angkasa dan Myria jadi penasaran
2023-12-19
1
Happyy
👍🏻👍🏻
2023-10-04
0