Bagi seorang Ibu, harapan terbesar untuk anaknya adalah anaknya Bahagia di jalan yang benar, mendapatkan pasangan yang menerima anaknya apa adanya, juga membawa kebaikan dunia dan akhirat untuk.
Terlebih untuk menjadi madrasah dan pendidik untuk calon cucu- cucunya. Buna Alya sangat pilih- pilih terhadap calon mantu. Karena Amer tak kunjung mengenalkan calon padahal usianya sudah 25 tahun.
Dengan segala pertimbangan yang hanya Buna dan Baba yang tahu. Buna mantap mengundang Ibu Amira, yang ternyata dulu adalah teman Buna yang aktif di Lembaga sosial semasa mendiang ayah Amira menjabat sebagai wakil walikota.
Sebagai pihak yang mengundang, Buna dan Baba pun berdiri menyambut Amira, dan Ibunya, Ibu Arumi.
“Waalaikum salam, Alhamdulillah Jeng terima kasih ya sudah bersedia datang,” jawab Buna berdiri menjawab salam Amira, lalu mengulurkan tangan bersalaman dan berpelukan juga cium pipi kanan kiri.
“Ah.. Kamu Sukanya begitu. Aku yang terima kasih atas undanganya!” jawab Ibu Amira.
“Aku tahu, kamu sibuk, meluangkan waktu kesini suatu kehormatan bagiku!” jawab Buna bosa basi. Mereka pun berpelukan saling melepas rindu.
Begitu tahu itu Amira dan Ibunya, Amer mengulum lidah dan mengeratkan rahangnya sangat kesal, Amer memalingkan muka malas sekali.
Sementara Amira berdiri dengan satu tangan lurus menjinjing tas dan satu tangan tertekuk memeluk hingga membentuk postur yang begitu santun menunggu Ibunya dan Ibunya Amer melepas rindu.
“Oh iya gimana kabarnya? Sehat, kan? Tak lihat- lihat tambah muda malah, lho!” tanya Ibu Amira ke Buna Alya memuji.
“Alhamdulillah sehat, ish. Muda apanya? Tambah kurus iya, anaknya banyak soalnya!” jawab Buna mengajak bercanda sembari mengurai pelulaknya.
Bu Arumi pun tersenyum mencebik, lalu menganggukan kepala dan menangkupkan kedua tanganya ke Baba. Ya, walau Amira, atau saat SMA suka dipanggil Elena, tidak memakai hijab, tapi ibunya, Ibu Arumi, seperti Buna, mengenakan hijab, malah lebih lebar dan Panjang dari Buna.
Bu Arumi pun hanya memberikan salam hormat pada Baba dan Amer dengan menangkupkan tangan.
“Silahkan duduk, Bu Arumi! Nak Amira!” Baba pun mempersilahkan Bu Arumi dan Amira duduk.
Amira menyapa Buna dulu, lalu ikut duduk. Amira sempat melirik Amer tapi Amer tampak memalingkan muka. Amira pun tak memperdulikanya dan langsung duduk.
“Ehm…,” dehem Amer merasa risih ingin bangun.
Akan tetapi rupanya Baba dan Buna jauh lebih peka. Sepatu Baba rupanya tergerak menginjak sepaatu Amer, sehingga Amer sedikit mengernyit, tangan Buna pun tergerak memegang ujung tangan Amer sebagai perintah tetap stay.
“Udah jam makan siang, kita langsung makan aja kali ya!” ucap Buna.
“Iya, benar. Amer, kamu juga baru pulang kerja kan?” sahut Baba beramah tamah.
Amira dan Bu Arumi jadi menatap Amer. Akan tetapi Amer yang gondok tidak menjawab dan hanya mengeratkan rahangnya.
“Kita ikut aja, Pak Ardi, Bu Alya. Kalau memang Nak Amer baru pulang kerja, ya baiknya makan dulu!” sahut Bu Arumi.
Baba pun memberi kode ke pelayan, meminta agar segera menyajikan makan, sementaran Amer benar- benar tak komentar. Tidak lama makanan disajikan, Baba dan Buna menyilahkan Bu Amira mengambil makan lebih dulu, sebagai adab menghormati tamu.
Bu Arumi dan Amira jadi canggung, tapi Buna yang ramah akhirnya yang mengambilkan piring melayani Bu Arumi.
"Lhoh kok diambilkan, sudah. Sini aku ambil sendiri saja!" jawab Bu Arumi akhirnya.
Amer yang melihatnya jadi sangat jengah, merasa Bu Arumi sok dekat dengan Buna, lalu Amer melirik ke Amira dengan tatapan benci, dan tepat saat itu Amira juga menatapnya, dan secepat kilat, Amer memalingkan muka.
Amer sebenarnya ingin protes, tapi entah kenapa bibirnya kelu, tidak bisa berucap untuk berontak menyaksikan romantisme orang tua ini yang bagi Amer sangat memuakan dan berlebihan. Di hati Amer masih ada sungkan dan segan terhadap Baba dan Buna. Walau hatinya gondok, emosi ingin marah, Amer mempertahankan adab, tubuhnya pun seperti terpaku tidak bangun.
Setelah Buna mengambilkan nasi untuk Bu Arumi, Buna berganti melayani Baba hingga kini tinggal Amer dan Amira yang belum ambil.
Keduanya sama- sama mematung canggung dan menunduk, Ketiga orang tua mereka jadi menatap mereka berdua juga dan tersenyum.
“Kalian kok diam?” tanya Buna.
“Ha…,” pekik keduanya kompak menoleh ke Buna, ternyata mereka berdua sama- sama sedang melamun.
Buna dan Bu Arumi jadi tersenyum mendengar mereka berdua kompak melamun dan kompak memekik, sementara Amira dan Amer jadi saling lirik canggung lalu saling melempar tatapan.
“Kompak bener?” celetuk Baba.
“Sepertinya ini tanda, ikhtiar kita ketemu jawabanya dan tepat ya Jeng!” ucap Buna memberikan sindiran halus ke Bu Arumi.
Amer yang mendengarnya menelan ludahnya kesal, "apaan Buna gaje banget!"
Sementara Arumi melirik ibunya. Tapi Ibunya malah tersenyum ke Buna tidak peduli Amira.
“Aamiin…” jawab Bu Arumi.
Amira jadi menyenggol ibunya. “Ibu apaan sih?” bisik Amira.
Tapi Bu Arumi tidak menjawab, karena Buna langsung menyahut. “Ayo makan, Nak Elena ya kan ya? Dulu kalau nggak salah namanua Elena? Apa Amira nih manggilnya?” tanya Buna ternyata tahu nama Amira.
Ya saat kecil Amira sering ikut ibunya, Amira dipanggil Elena tapi di kartu nama sebagai pegawai WO, Amira.
“Panggil Elen aja Bu Alya!” jawab Elena.
“Oke… yuk makan yuk. Amer ayuh makan, Katanya kamu masih ada agenda lagi kan? Yuk sat set biar cepat selesai!” ucap Buna sedikit tajam, juga tatapanya, Buna tahu anaknya sedang ngambek. Itu sebabnya, Buna sebagai Ibu Amer, tidak mau anaknya melawan, Buna menunjukan kekuatanya dengan sedikit galak dan menekan.
Entah mantra apa yang Buna lafalkan, walau hati Amer berkecamuk, Amer selalu tak kuasa melawan Buna. Padahal Buna hanya berisyarat lewat tatapan dan mimik wajah. Ya Amer tetap patuh tidak menolak ambil makan.
Mereka semua mulai menikmati hidangan, hingga selang beberapa waktu makanan mereka habis. Baba yang selesai lebih dulu tidak membuang waktu mulai membuka pembicaraan.
“Nak Elen!” panggil Baba.
Elena yang sedang mengelap mulut dengan tisu langsung menoleh menjawab panggilan Baba Ardi.
“Ya, Pak Ardi!”
“Ibumu sudah memberitahu kenapa kami mengundang kamu dan ibumu ke sini?” tanya Baba.
“Gleg!” seketika itu bola mata Elena memutar tanda berfikir, Elena menelan ludahnya mencoba mengingat percakapan dia dan ibunya tadi pagi sebelum pergi, namun dalam ingatanya tak dia temukan jawaban, Ibunya hanya bilang di wa Bu Alya untuk makan siang.
Elena menatap ibunya, Ibunya tenang. Elena kemudian kembali menatap Baba Ardi.
“Tidak! Ibu hanya bilang Bu Alya undang Ibu ke sini,” jawab Elena jujur.
Tak… tiba- tiba Amer meletakan sendok dengan kasar sehingga Elena kaget dan menoleh, tapi sepertinya tangan Buna dan Kaki Baba kembali bekerja memberi peringatan ke Amer. Hingga Amer kembali menahan emosi.
“Coba tebak, menurut kamu kenapa kita undang kamu?” sahut Buna.
“Ehm…,” Elena berdehem berfikir lagi, kemudian garuk- garuk rambutnya yang tidak gatal. “Evaluasi kerja saya, di pernikahan Kak Ikun?” tanya Elen menebak.
Buna tersenyum menggeleng. "Bukan, mana nggak ada Ikun kan? Tempo hari kan kita udah meeting!" jawab Buna.
Elena mendadak gelagapan dan menelan ludahnya menegang. Elena melirik Amer, sebenarnya dalam hati Elena, sejak awal juga terbersit curiga kenapa ada Amer dan dirinya, juga isyarat Bu Alya dan Ibunya, tapi Elena sadar diri dan tidak mau ke Gran.
“Bu Alya dan Ibu sillaturaahim? Atau mau ada proyek lagi, yang bisa saya kerjakan? Saya akan senang hati jika ada job untuk saya?” tanya Elena sopan.
Baba dan Buna tambah tersenyum.
“Kamu dan Amer dulu teman sekolah kan?” tanya Baba tiba- tiba.
Elena melirik Amer, Amer benar- benar tampak sangat murung, mukanya menunduk, Elena jadi tambah tegang.
“Iya, saya adik kelasnya Bu,” jawab Elena ragu. Mereka dulu satu SD.
“Bu Arumi…, sekarang waktunya,” panggil Buna mengkode Bu Arumi.
Bu Arumi pun meraih tangan Elena dan menaatapnya tersenyum. Elena tambah dheg- dhegan, hati kecilnya merasa kecurigaanya benar. Tapi Elena benar- benar tidak siap dan menyangka.
“Nak, Ibu dan Bu Alya, kita ingin kamu dan Nak Amer menikah!” tutur Bu Arumi dengan jelas dan tenang membenarkan kecurigaan Elena.
Spontan Elena menarik tanganya, dan matanya membelalak.
“Ibuk?” pekik Elena tidak suka.
“Kami tahu kalian berdua pasti kaget. Kita bisa mengerti. Tapi, kalian sudah saling kenal kan? Kita lihat hubungan kalian kemarin juga kompak. Kami yakin kok, cinta akan datang karena terbiasa, santai saja. Kami beri waktu kalian untuk bicara. Dan kita akan segera beritahu kalian tanggal pernikahannya.” tutur Buna memberitahu.
"Pernikahan?" pekik Amer dan Alen berbarengan.
"Ya. Kalian tunggu saja!" jawab Buna tanpa dosa.
“Gleg!” seketika itu Elena tercekat mematung, mau protes dan menolak tapi dirinya seperti sedang syok.
“Bun…” Sementara Amer langsung menyela membuka suara ingin protes.
Tapi Buna langsung memotong.
“Amer, Buna sudah mengenal Elena, Buna yakin dia pas dengan karaktermu. Kamu sendiri kan yang bilang? Katamu Elena cantik? Kamu juga kemarin yang bilang Elena rajin dan pekerjaanya bagus kan?” jawab Buna membungkam Amer yang hendak protes dengan menyudutkan Amer dan memangkas penolakan Amer.
Amer jadi mengernyit dongkol. "Bun.. Amer!" jawab Amer mau menyanggah tapi terpotong lagi.
“Iya Jeng Alya. Elen juga. Iya kan Sayang. Kamu senang kan? Kamu juga kemarin cerita ke Ibu, kamu bangga bisa bekerja sama dengan Nak Amer, katanya dia rekan bisnis yang professional, juga kakak yang baik. Kalian itu cocok. Jika sekarang kalian syik. Kami bisa mengerti. Tapi ini kenyataanya. Terima. Kalau sekarang kalian mau menenangkan diri, boleh! Sebelum tanggal pernikahan, kalian bisa ngobrol dulu!” sambung Bu Arumi tidak kalah dengan Buna.
“Ibu…, Elena bukan itu maksudnya,” desis Elena ikut geram.
Elena memaang sempat mengatakan itu pada ibunya, tapi kan niatnya hanya sekedar berbagi pengalaman kerja.
“Tidak usah malu, terima perjodohan ini ya?” ucap Bu Arumi sama seperti Buna tidak mau dengar alasan.
“Ibu tapi….,” lirih Elena kesal ke ibunya ingin protes tapi tiba- tiba terpotong Baba.
“Sudah ya. Sepertinya kalian berdua sama- sama malu- malu. Biar nggak malu, kalian bisa mengobrol berdua, kita pamit duluan!” sahut Baba memberi ide menutup acara makan siang.
“Ba… tunggu, Amer mau bicara!” ucap Amer memotong karena tidak tahan dari tadi mau ngomong dipotong Buna terus.
“Kamu ingat kan? 15 menit lagi Baba ada tamu dari Amerika. Ngobrolnya di rumah saja, pulang ke rumah kalau mau ngobrol!” jawab Baba menekan Amer tidak boleh protes.
“Kalian kan sudah punya nomer masing- masing, kalian bisa ngobrol lewat telepon ya. Besok kita silaturrahim lagi!” imbuh Buna menghadap ke Elen raamah tapi kemudian menoleh ke Amer sedikit membelalakan matanya melotot mengancam.
Amer pun hanya bisa mengeratkan rahangnya.
“Kita pamit ya Jeng!” sapa Buna ramah ke Bu Arumi. Bu Arumi juga pamit sementara Amer dan Elena sama- sama menunduk dongkol.
Jengah melihat Ibunya dan Ibu Amira beramah tamah, Amer langsung pergi tidak sopan.
Akan tetapi Baba Buna dan Bu Arumi hanya tersenyum. Mereka sepertinya sangat yakin Amer akan nurut.
Sementara Amer berjalan mengepalkan tangan dan di otaknya berputar ide menggagalkan rencana Buna.
"Ini gila..." batin Amer menendang tembok lift saat dirinya masuk ke lift sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
ummu rekyhan
kok buna jadi gini yaaa...
melebihi baba...
2023-09-12
0
Susi Sidi
kalo jodoh gak bakal kemana-mana
2023-08-31
0
Elvi
mulai seru nih kisah amer😍, semangat update thor💪🏻
2023-08-29
0