Mutia menatap dengan terisak ruang kaca di mana papahnya terbaring dengan selang infus ditangannya serta alat bantu napas. Mutia merasa bersalah karena menyebabkan papahnya terbaring lemah, meski Mutia sadar semua yang terjadi juga ada campur tangan Maria dan Devi.
"Pelacur, apa yang kau lakukan disini?" Maria menarik rambut Mutia hingga menengadah seraya meringis menahan sakit.
"Siapa yang Bunda maksud dengan pelacur? Bunda yang telah menjual aku."
"Pergi sana, dasar anak sialan." Berbisik di telinga Mutia.
Mutia menepis kasar tangan Maria dari rambutnya dan menjauhi mereka, kedatangannya ke rumah sakit hanya ingin menjelaskan apa yang terjadi dengannya tadi pagi kepada papahnya.
Setelah hampir lima jam, Hendra akhirnya sadar, Mutia menyerobot masuk menemui papahnya, akan tetapi Hendra mengusirnya.
"Papah malu, Mutia. Kamu sudah mengecewakan papah, mau di taruh dimana muka papah? Pergilah dari hidup papah, jangan pernah kembali."
"Pah, maafkan Mutia ini bukan salah Mutia. Ini semua karena Bunda dan Devi percayalah pada Mutia, Pah."
"Terus saja kau fitnah kami, Mutia!" Teriak Devi.
"Tapi, aku tidak bohong, Pah. Bunda sudah menjual aku kepada om Irwan!" Mutia terus merengek sambil mencoba memeluk Hendra, kedua wanita itu tidak memberikan Mutia kesempatan untuk menjelaskan, mereka menarik tubuh Mutia menjauhi papahnya.
Maria dan Devi berhasil mengusir Mutia keluar kamar.
"Mampus kau," ucap Devi penuh penekanan.
"Jangan pernah kembali ke rumah kami, dasar pelacur."
"Anda tak pantas disebut Bunda, dasar penyihir," ucap Mutia. Selama ini ia hanya terus menerima perlakuan kasar dari Maria. Tapi, kali ini dirinya tidak akan mengalah lagi.
"Mamah kamu yang penyihir, hanya karena ia kaya bisa mengambil orang yang aku cinta."
Mutia terkekeh. "Tentu saja papah akan memilih mamah, karena mamah lebih baik dari dirimu."
Maria menyeringai menatap Mutia. "Aku akan membuat kalian susah, sebagai balasan rasa sakit hatiku."
"Tinggalkan Papahku sekarang dasar penyihir." Gigi Mutia hingga mengadu karena menahan amarah.
Devi mendorong bahu Mutia dengan satu tangan karena tidak terima Maria di sebut sebagai penyihir, Maria menahan Devi. Kemudian tamparan keras mendarat di pipi Mutia.
"Tunggu saja nanti, aku belum puas jika kalian belum terkapar di jalan." kemudian Maria menarik Devi pergi dari hadapan Mutia kembali ke kamar rawat Hendra.
Mutia hancur, ia merasa dirinya tidak beruntung hidup di dunia. Pacarnya berselingkuh, diperkosa dan tidak diterima oleh papahnya.
Mutia terisak meninggalkan rumah sakit, dengan menaiki taksi Mutia kembali ke kosan. Tidak habis di situ kesialan Mutia, Lala sudah menunggu kedatangan Mutia sejak tadi, Dirga juga hadir.
"Masih berani kamu pulang ke sini?" Lala bertolak pinggang di hadapan Mutia.
"La, sudah." Dirga berusaha menenangkan Lala.
"Rumah ini bukan milikmu, La."
"Eh, sudah berani kamu menjawab!"
"Ck, aku sedang lelah, La. Diam lah."
Secepat kilat Lala menarik rambut Mutia sekuat tenaga, Mutia sudah pasrah, ia hanya meringis menahan sakit tanpa membalas. Sampai seisi kosan datang karena mendengar ocehan lala yang keras dan menonton mereka.
"La, lepaskan!" Dirga berhasil menarik Lala. "Cukup, Lala!"
"Kenapa?! Kamu sudah mulai menyukai si kerbau ini, hah?!"
Mutia terkekeh geli. "Kalian berdua manusia aneh, bisa-bisanya kamu menyuruh Dirga menerima cintaku padahal kalian sepasang kekasih. Kenapa? Hanya karena ingin merubah aku menjadi kerbau." Mutia tertawa. "Sekarang justru kamu yang marah, karena Dirga mulai mencintaiku." Mutia terbahak seraya naik ke kamarnya.
"Mau kemana kamu, Mutia. aku belum selesai!" Dirga menahan tubuh Lala agar tidak mengejar Mutia.
Mutia hanya melambaikan tangan seraya tersenyum seringai menatap Lala yang mengamuk seperti kesurupan.
"Apa benar kata si kerbau itu, bahwa kau mulai mencintainya?!"
"La, bisa gak sih, kamu tidak bicara sambil teriak, sakit telingaku."
"Argh!!" Lala masuk ke dalam kamarnya karena kesal. Satu persatu para penghuni kos masuk ke dalam kamarnya. Tanpa di beritahu pun penghuni kos paham situasinya, penghuni kosan sudah menduga pasti ada cinta segitiga diantara mereka.
Sementara di dalam kamar, Mutia menangis merasakan sakit di seluruh tubuh akibat amukan Lala, tidak hanya tubuh tetapi hatinya sakit dalam satu hari ini. Mutia memukul dada kirinya berkali-kali hanya untuk mengurangi rasa sakit yang terasa amat nyeri.
Pikirannya melayang melihat Dirga mencium Lala di konser, Maria dan Devi yang menjualnya, om Irwan yang memperkosanya bahkan fisiknya luka karena kemarahan Lala, juga papahnya yang tidak mempercayainya dan sudah mengusirnya.
Mutia mengambil ponselnya, ia ingin melihat bagaimana pekerjaannya setelah ia tinggalkan sejak kemarin, ya..dugaannya benar, dirinya di pecat.
Mutia menatap cermin dengan pikiran kosong, bagaimana ia harus melanjutkannya hidup selanjutnya. Air matanya melompat keluar dan Mutia terisak kembali.
Mutia mengepalkan tangan dan memukul cermin yang sejak tadi menatapnya seakan cermin itu mengejeknya. Cermin itu pecah tangannya pun berdarah, Mutia justru terkekeh dari pada menangis. Luka di tangannya tidak terasa sakit dibandingkan hatinya.
Mutia memungut pecahan kaca, ia tekan dan goreskan ke pergelangan tangan hingga urat nadinya sobek hanya dengan sekali sayatan, Mutia meringis ketika darah mulai mengalir dari pergelangan tangannya.
Mutia masuk ke dalam kamar mandi dan menyalakan shower, ia bersandar dan merosot ke lantai. Darahnya mengalir ke saluran pembuangan bersama air dari shower.
"Mah rasanya sakit, mah. Tolong jemput Mutia, Mah. Mutia tidak sanggup lagi hidup di dunia ini. Seandainya Mutia bisa merubah takdir."
Terdengar suara ketukan di kamar Mutia, hampir dua puluh menit orang di luar kamarnya terus mengetuk.
"Mutia." Dirga masuk ke dalam karena ketika Dirga memegang kenop pintu, pintunya terbuka. Sepertinya Mutia lupa mengunci pintu.
"Mutia, kamu sedang mandi." Dirga terus masuk secara perlahan, Mutia tetap tidak menjawab.
Dirga terkejut melihat pecahan kaca di lantai dengan darah berceceran menuju kamar mandi, dengan cepat Dirga mengetuk pintu kamar mandi di mana Mutia berada.
"Mutia, Mutia!" Dirga terus mengetuk pintu. "Please, Mutia. Jawab aku."
Lala tidak menemukan Dirga di tempatnya sedangkan mobilnya masih terparkir, ia mulai mencari Dirga curiga Dirga menemui Mutia, benar saja Lala segera masuk ketika mendengar suara Dirga yang berteriak, Lala juga sempat terkejut melihat darah yang berceceran.
"Dirga, ada apa ini?"
"Entahlah."
Lala keluar mencari bantuan, tapi tidak dengan Dirga, ia langsung mendobrak pintu kamar mandi dan melihat Mutia yang tampak pucat dengan sobekan di pergelangan tangannya.
"Mutia! sadar! Tolong!"
"Aaaaaaa!" Lala dan beberapa penghuni kosan menjerit melihat Mutia yang bersandar di dinding kamar mandi.
"Tidak Mutia, aku mohon jangan pergi." Dirga mengguncang tubuh Mutia yang sudah tak bernyawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
𒁍⃝💜кιαηα🍇
nyesel kan
2023-07-08
0
𒁍⃝💜кιαηα🍇
lawan dong
2023-07-08
0
souja.iswriting
go girl
2023-07-07
0