Suara masih hening di antara Mutia dan Dirga, Mutia pun masih mengaduk-aduk nasi di piringnya, masih terhipnotis kalimat cinta dari Dirga meski mengetahui bahwa dirinya hadir diantara Dirga dan Lala, entah apa maunya Dirga padanya sekarang.
“Makanlah, dengan terus kamu pandangi seperti itu tidak akan mengenyangkan perutmu.”
Mutia mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan tangan gemetar menahan sedihnya, sesekali dia menginsruk karena lendir di hidungnya mencoba turun.
“Berikan aku waktu beberapa hari.”
“Untuk apa?”
“Agar aku bisa menentukan wanita mana yang harus aku pilih.”
“Kamu gila.”
“Ya, aku gila. Aku tidak bisa memilih diantara kalian.
“Kita putus saja, aku bukan pilihan.”
Dirga masih bersikukuh tidak ingin putus dari Mutia, sedang Mutia juga tidak ingin hubungannya dengan Lala memburuk. Dirga mengusap lembut ujung kepala Mutia sebelum pamit dan menasihati Mutia untuk meminum obat dan segera beristirahat.
Mutia masih dalam kebimbangan, bagaimana jika Dirga memilihnya dan hubungannya dengan Lala justru memburuk, atau sebaliknya. Mungkin tadi ia bersikap tegar jika ingin putus saja dari Dirga padahal hatinya pasti terasa sangat sakit jika Dirga akhirnya akan memilih Lala daripada dirinya. Bahkan semuanya sudah jelas terlihat bahwa Dirga sudah mencium Lala, itu pasti karena Dirga sangat mencintai Lala.
Ponsel Mutia muncul notifikasi, Hendra-papahnya meninggalkan pesan, meminta Mutia untuk pulang esok hari karena akan ada acara di perusahaan papahnya bekerja. Mutia sudah diberitahu sebelumnya oleh Maria.
Mutia melihat jam pada ponselnya, waktu masih menunjukkan pukul delapan malam, masih aman untuk ia pulang ke rumah Hendra dan berharap sesampainya di sana papahnya belum tidur.
Mutia bergegas merapikan beberapa barang juga membawa satu gaun berwarna hitam untuk ia pakai ke acara pesta besok. Sepertinya Dirga sudah pulang karena mobilnya sudah tidak terparkir lagi di halaman kosan.
Mutia harus berjalan kaki selama lima menit untuk sampai ke jalan raya dan mendapatkan angkutan kota, butuh satu jam lebih untuk sampai ke rumahnya.
Hati Mutia terasa nyeri, ia baru saja melihat Dirga dan Lala sedang berduaan disebuah angkringan dekat taman. Air matanya tak bisa lagi ditahan, Mutia segera menyekanya jika tidak ingin jadi pusat perhatian orang.
“Assalamualaikum,” ucap Mutia seraya mengetuk pintu. Ketika telah sampai di depan rumahnya, rumah yang pernah ia tinggali bersama papah dan mamahnya sewaktu ia kecil.
Mutia harus meninggalkan rumah karena terus saja berkelahi dengan Devi Kaka tirinya, Hendra menikah dengan Maria setelah menjadi duda selama lima tahun. Mamah Mutia meninggal karena kangker payudara.
“Waalaikumsalam.” Pintu terbuka. Bukannya senyuman yang ia dapat tapi justru muka kusut dari Kaka tirinya.
“Siapa Ka?” tanya Hendra pada Devi.
“Muti, Pah!” Teriak Mutia sebelum Devi menyebutnya.
“Eeh, cepat sekali anak papah ini datang, baru di WA sudah langsung sampai.” Mutia mencium punggung tangan Hendra juga Maria yang sejak tadi hanya diam seraya menonton televisi.
“Muti kangen sama Papah.” Manja Mutia dalam pelukan Hendra.
Maria dan Devi tidak suka melihat drama keduanya dan memilih untuk masuk ke kamar mereka masing-masing, membiarkan anak dan bapak itu saling melepas rindu.
“Mata kamu bengkak, habis menangis, ya?”
“Iya, Pah. Menahan rindu sama Papah.” Mutia bersandar di pundak Hendra.
“Kapan kamu mau kembali ke rumah? Bunda dan Kakamu jarang di rumah, sibuk. Papah selalu sendirian di rumah.”
Hendra tidak pernah tahu alasan pasti kenapa putrinya meninggalkan rumah dan memilih untuk kos, yang Hendra tahu karena kosan lebih dekat ke tempat kerjanya.
“Papah juga sibuk, Muti yang selalu sendirian di rumah.”
Hendra terkekeh. “Maafkan papah yang selalu sibuk ya?”
Mutia mengangguk. “Yang penting Papah selalu sehat.”
Setelah lama mengobrol bersama Hendra, Mutia segera beristirahat di kamarnya, kamar kecil yang berada paling belakang di rumah ini. Kamar yang sedikit lebih luas dari pada gudang di sebelah kamarnya. Kamar terlihat tidak pernah di bersihkan, kotor dan pengap.
Pagi-pagi sekali Mutia sudah berangkat kerja dari rumah Hendra, karena jarak dan kemacetan membuat Mutia harus berangkat lebih awal dari pada biasanya. Sesampainya di kantor semua karyawan memandang ke arahnya dengan tatapan sinis, Mutia jadi merasa heran apa ia sudah melakukan kesalahan.
Mutia menaiki lift seorang diri, sembari memainkan ponselnya, membaca room chat kantornya yang sedang meributkan dirinya, Dirga dan Lala. Segala makian tertuju kepadanya, tubuh babi, tidak tahu diri, buruk rupa dan kata kasar lainnya yang terlontar untuknya. Air mata Mutia sudah mengembang karena hinaan Lala terhadapnya, mereka yang tidak tahu menahu ikut menghakimi dirinya begitu saja.
Di perusahaan Mutia dilarang memiliki hubungan asmara sesama karyawan apa lagi dalam satu bagian, maka salah satunya harus keluar dari perusahaan atau di pindahkan ke cabang lain, maka dari itu hubungan mereka dirahasiakan.
Pandangan mata tertuju padanya ketika Mutia memasuki ruang kerja, tatapan mereka seakan menjatuhi hukuman mati. Tiba-tiba saja rambut Mutia di tarik hingga lengkingan panjang keluar dari mulutnya.
“Argh!”
“Dasar sundal, berani-beraninya kau merebut Dirga dariku.”
Berusaha sekuat tenaga juga dibantu Dirga akhirnya rambut Mutia berhasil diselamatkan.
“Apa maksud merebut, La. Kamu yang menjodohkannya kepadaku.”
“Cih, dasar tidak tahu diri.”
“Cukup, La. Jangan mempermalukan dirimu.” Dirga berusaha menenangkan Lala.
“Asal kamu tahu, Mutia. Dirga selama ini tidak mencintai dirimu. Dia hanya menuruti apa mauku.”
“Maksudnya?”
“Dirga tidak pernah menyukai wanita gendut seperti kamu.”
“Jadi?”
“Ya, kamu benar. Aku dan Dirga hanya ingin kamu terlihat seperti badut, dan lihat. Kini kau tidak ada bedanya seperti badut.” Lala tertawa sedang Dirga hanya diam.
“Dirga, apa aku bisa mendapatkan penjelasan?” tanya Mutia. Tapi, Dirga tidak menjawab karena semua yang dikatakan oleh Lala itu benar.
Dirga dan Lala berhasil merubah tubuh Mutia yang kecil menjadi besar seperti sekarang, dengan muka tumbuh jerawat akibat makanan berlemak yang selama ini telah dikonsumsinya.
Diubah menjadi gendut bukan masalah untuk Mutia, tetapi hatinya sakit melihat Dirga diam membisu. Semalam ia masih bersikap manis dan berkata tidak ingin putus darinya.
Mutia kesal dan malu sehingga ia memilih meninggalkan kantor, Dirga berusaha mengejar tapi ditahan oleh Lala.
“Mutia!”
“Kalau kau mengejarnya, kamu tahu akibatnya, Dirga.” Lala mengancam dengan suara berbisik.
Mutia berhenti di sebuah taman di dekat rumahnya, malu jika harus pulang ke rumah dalam keadaan menangis, belum lagi jika mendapatkan makian dari Maria. Mutia menangisi cintanya yang tragis, dikhianati, ditipu bahkan nanti akan kehilangan pekerjaannya.
“Mah, ternyata sakit sekali rasanya. Mutiara harus gimana, Mah?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Kiaaflyv 🦋
cinta emang buta 😒
2023-08-22
0
Ayano
Akan aku angkat Lala jadi korban santet online
Berbahagialah karena sebentar lagi dirimu akan pergi ke isekai yang disebut neraka ☺☺
2023-08-22
0
Ayano
Nah gitu
2023-08-22
0