Chapter 3

Rena berada di meja makan bersama dengan Tante Kirana, sedangkan Ade belum keluar dari kamarnya. Hari ini Rena sudah mulai masuk sekolah dan dia harus bisa terbiasa dengan sekolah di Indonesia. Begitu juga dengan seragam yang dipakainya saat ini. Dari tadi Rena bergerak- gerak terus, karena belum nyaman dengan seragamnya.

“Hari ini Tante yang nganter kamu.” Kata Tante Kirana yang dari tadi memperhatikan Rena.

“Ehm, nggak usah Tan. Rena berangkat sama Kak Ade aja.”

“Kalau kamu sama Ade, bisa dipastikan kamu bakal telat. Ini hari pertama kamu masuk loh.”

Ade turun dan berjalan menuju meja makan, seperti biasa tanpa duduk terlebih dulu Ade langsung meminum susu dan mengambil sepotong roti isi. Lalu berjalan keluar tanpa mempedulikan Tante Kirana juga Rena.

“Kalau gitu Rena berangkat sekarang aja.” Ucap Rena dan bangkit dari kursinya, berjalan menghampiri Ade yang sedang mengeluarkan motornya dari garasi.

“Aku ke sekolah bersama Oniichan, ya?” pinta Rena dalam bahasa Jepang.

“Cepat naik!” jawab Ade tanpa menoleh kearah Rena.

“Sebelum masuk kelas, Rena ke ruang kepala sekolah dulu.” Pesan Tante Kirana pada Ade, Ade hanya mengangguk. Ade pun segera menggas motornya keluar komplek perumahan.

🍂🍂🍂

Sesampainya di sekolah, mereka berdua menjadi pusat perhatian seantero sekolah. Rena segera turun dari motor Ade dan merapikan roknya. Ade melepas helmnya dan berdiri di samping Rena, mereka berdua berjalan menuju ruang kepala sekolah.

“Kenapa di Indonesia harus berangkat pagi? Dan juga, apa tidak ada rok yang lebih pendek dari ini?” gerutu Rena.

“Bukankah itu sudah peraturannya? Jadi, patuhi saja.” Jawab Ade, kedua tangannya terselip di kantong celana.

Sepanjang jalan mereka berdua tidak luput dari perhatian anak- anak.

Mereka berdua segera masuk ruang kepala sekolah dan duduk di sebuah sofa untuk tamu. Ade segera mengambil Koran di meja kecil sebelah sofanya, dia menganggap ruang kepala sekolah seperti rumahnya sendiri. Pak Rasyid – kepala sekolah – hanya meggelengkan kepalanya, tapi itu memang sudah menjadi pemandangan biasa. Pak Rasyid beralih pada Rena.

“Jadi, kalian berdua saudara?” Tanya Pak Rasyid. Rena hanya mengangguk kikuk.

“Bukannya Mama udah cerita tentang Rena?” Ade yang menjawab tanpa menoleh, wajahnya tertutup oleh Koran.

“Bisa bahasa Indonesia?” Tanya Pak Rasyid lagi.

“Bisalah, dia lahir di Indonesia.” Lagi- lagi Ade yang menjawab. Pak Rasyid masih berusaha bersabar menghadapi Ade. “Kalau begitu sekarang Rena silakan ke kelas. Kelas kamu 11 IPA 1.”

Mendengar perkataan Pak Rasyid, Ade langsung menurunkan korannnya dan meletakkan pada meja didepannya. Dia menatap Pak Rasyid dengan pandangan tidak suka.

“Memang nggak ada kelas lain?” Tanya Ade.

“Hanya kelas 11 IPA 1 yang masih kekurangan anak.” Jawab Pak Rasyid.

“Kalau gitu pindahin aja anak IPA 2 ke IPA 1.”

“Tidak bisa.”

“Kenapa enggak? Kalau Bapak nggak bisa, biar saya yang pindahin salah satu anak ke IPA 1.”

Pak Rasyid menghembuskan nafasnya pelan. “Baiklah, akan saya pindah salah satu anak.”

🍂🍂🍂

Rena masih tidak mengerti, kenapa ia tidak boleh masuk kelas IPA 1. Pertanyaan itu masih belum terjawab hingga sekarang. Rena masuk ke kelas dengan seorang guru yang sepertinya walikelas Rena. Namanya Bu Chaca, seorang guru muda yang cantik. Saat memasuki ruang kelas, semua pandangan tertuju pada Rena. Rena menjadi merasa bersalah karena dirinya, seorang anak harus terusir dari kelasnya.

“Perkenalkan dirimu!” pinta Bu Chaca.

“Ohayou Gozaimmasu, watashiwa…”

Rena tidak melanjutkan ucapannya, karena melihat ekspresi seluruh penghuni kelas termasuk gurunya yang tidak mengerti apa yang diucapkan Rena.

“Maaf, perkenalkan nama saya Azura Rena Ridwana. Teman- teman bisa memanggil saya Rena, semoga kita dapat menjadi teman dan mohon bantuannya!” kata Rena dan membungkukan badannya.

Kembali seluruh penghuni kelas terbengong- bengong dengan tingkah Rena yang tidak biasa. Namun, Rena hanya bersikap biasa saja.

“Baik, Rena. Kamu duduk disana!” pinta Bu Chaca dan menunjuk sebuah bangku yang kosong.

Pelajaran pun di mulai, Rena berusaha mengikuti pelajaran tersebut. Walau pun dirinya belum paham sepenuhnya, terkadang Rena tidak mengerti apa yang diucapkan gurunya.

Bel istirahat pertama berbunyi, hampir semua anak di kelas Rena berhamburan keluar menuju kantin. Kini hanya tersisa beberapa anak yang duduk bergerombol sedang mengobrolkan sesuatu. Rena berjalan mendekat kearah anak- anak yang sedang merumpi tersebut, seketika pandangan anak- anak laki- laki yang masih berada di kelas tertuju pada Rena.

“Ehm, mau tanya kantin dimana ya?” Tanya Rena ragu. Anak- anak perempuan menoleh bersamaan.

“Di sebelah koperasi.” Jawab salah seorang dari mereka.

“Koperasi sebelah mana?”

"Deket UKS, UKS deket ruang guru. Lo tau letak ruang guru?"

"Hmm, iya. Thank's"

“Eh, bentar! Lo siapa sih? Kenapa tiba- tiba si Sesil pindah kelas saat lo masuk kelas ini?”

“Maaf, bukan maksud gue buat nyuruh temen kalian pindah kelas. Sebenernya gue juga bingung, kenapa gue nggak diijinin masuk kelas IPA 1.” Jelas Rena dengan logat bahasa yang sedikit berbeda.

“Kenapa lo nggak boleh masuk kelas sebelah?” Tanya Wiwid. Rena hanya mengangkat bahu.

“Gue duluan ya?”

Yang lain hanya mengangguk. Rena pun berjalan keluar kelas menuju kantin.

🍂🍂🍂

Sebenarnya Rena ke kantin bukan untuk makan atau minum, dia hanya ingin menemui Ade untuk meminta penjelasan tentang kelasnya sekarang. Rena duduk di salah satu sudut kantin. Tidak lama dari arah pintu kantin datang tiga orang yang tidak diketahui oleh Rena, karena sedari tadi Rena berkutat dengan ponselnya. Salah satu diantara ketiga orang itu mengedarkan pandangannya keseluruh meja kantin untuk memilih tempat yang kosong. Dan pandangannya terhenti pada satu sosok yang sedang menunduk, seketika mata orang itu membulat. Namun, detik berikutnya sebuah senyum tercipta pada bibirnya.

“Disana kosong!” tunjuk orang itu pada meja yang Rena tempati, dia segera berjalan menuju meja itu.

“Depan lo masih kosong kan? Gue duduk depan lo ya? Sama temen- temen gue.” Kata Tara meminta izin.

Rena mendongakkan kepalanya, seketika mata Rena membulat kaget.

Tara menyambut kekagetan Rena dengan sebuah cengiran tanpa dosa. Sedangkan Nevan dan Bams saling menyikut dan memberikan tatapan yang seolah- olah mengatakan ‘Siapa?’. Dan mereka berdua juga mengangkat bahu bersamaan.

“Wah, ternyata lo sekolah disini juga.”

“Baru masuk tadi pagi.” Balas Rena kembali dengan ponselnya.

Tara memberi kode pada dua temannya untuk meninggalkan dirinya bersama dengan Rena. Nevan dan Bams pun segera menuruti permintaan Tara, tapi mereka tidak benar- benar keluar dari kantin. Anak- anak yang berada di kantin mencuri- curi pandang pada Tara dan Rena. Rena meletakkan ponselnya diatas meja dan mendengus kesal, karena Ade sama sekali tidak membalas pesannya.

“Lo kelas berapa?” Tanya Tara.

Rena baru akan membuka mulut, saat ponselnya bergetar. Rena hendak mengambil, tetapi kalah cepat dengan Tara.

“Balikin HP gue!” pinta Rena berusaha mengambil ponselnya.

“Ade nih telepon.” Kata Tara santai.

Rena masih berusaha meraih ponselnya, salah satu tangan Tara terus menghalangi usaha Rena. Sedangkan tangan yang lain menempelkan ponsel Rena pada telinga kanannya. Tara berhasil menahan Rena, dia meletakkan kepala Rena di meja dan menahannya agar tidak bangkit.

“Halo?” sapa Tara sok ramah.

“Siapa lo?” Tanya Ade di seberang telepon.

“Gue Tara, kenapa lo telepon?”

“Eh, yang ada juga gue yang tanya. Kok HP Rena ada di elo?”

“Gue ambil.” Jawab Tara pendek.

Rena kembali mencoba bangkit, tetapi kekuatannya sudah habis. Dia hanya bisa pasrah dan tentu saja kesal.

“Gue kesana!”

“Gue tunggu.” Tara langsung mematikan sambungan telepon dan kembali menatap Rena. Dia duduk kembali di depan Rena dan mengembalikan ponsel milik Rena.

“Seenak jidat ngambil HP gue, lo siapa sih? Seenaknya sendiri.” Tanya Rena kesal.

“Gue Tara.” Jawab Tara dengan senyum kalem, tapi menurut Rena adalah senyuman paling menjengkelkan.

Tiba- tiba Ade menyeruak masuk kantin, Nevan dan Bams yang berada di pintu masuk kantin spontan menyingkir memberi jalan. Ade memandang sekeliling kantin dan menemukan Rena sedang duduk berhadapan dengan Tara. Melihat raut wajah Rena yang sudah sangat sebal pada Tara, Ade langsung menghampiri meja mereka.

“Lo lupa kemarin gue ngomong apa?!” Tanya Ade dingin pada Tara.

“Ya elah, gue cuma duduk disini kali. Meja lain penuh semua.”

“Banyak alesan lo.”

Ade sudah bersiap akan memberi pelajaran pada Tara. Dicengkeramnya kerah kemeja Tara. Sedangkan Rena hanya memandang kedua laki- laki didepannya dengan mata membulat, dia belum pernah melihat Ade bertindak kasar seperti itu.

“Lo nggak malu diliatin Rena?” Tanya Tara kalem. Seketika seluruh emosi Ade menguap dan dia melihat kearah Rena yang sedang membulatkan mata terkejut.

“Ayo pergi!” ajak Ade menarik tangan Rena dan membawanya keluar dari kantin.

Tara memandang kepergian Ade dan Rena dengan senyuman terukir dibibirnya. Dia kembali merasa menang.

🍂🍂🍂

Ade membawa Rena ke taman belakang yang selalu sepi. Sejenak mereka berdua terdiam. Rena masih terbayang kejadian di kantin tadi, sedangkan Ade sedang berusaha mengontrol emosinya. Ade menarik nafas dan menghembuskannya kasar.

“Itu sebabnya kenapa gue nggak mau satu sekolah sama lo.” Ucap Ade tiba- tiba, Rena langsung menoleh. “Disini gue banyak musuh dan pasti akan banyak yang ngincar lo.” Lanjut Ade.

Rena membuka mulutnya, dia ingin sekali bertanya pada Ade. Namun, diurungkannya niat tersebut.

“Salah satunya Tara. Megantara Putra Fairuz.”

“Gue juga nggak ijinin lo masuk kelas IPA 1 karena dia ada di kelas itu.”

Mereka berdua kembali terdiam, Rena hanya mendengarkan penuturan Ade. Sedangkan Ade terlihat melamun, entah apa yang dipikirkannya.

Bel masuk juga sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu, tetapi Ade tidak berniat untuk beranjak dari tempatnya. Rena juga melakukan hal yang sama, dia tidak berniat meninggalkan Kakaknya.

“Memangnya ada masalah apa antara Kak Ade dan Tara?” Tanya Rena.

Mendengar pertanyaan Rena, seketika lamunan Ade buyar. Dia menoleh kearah Rena yang sedang menuntut jawaban darinya.

“Gue juga nggak tau. Udah bel ya? Lo nggak masuk kelas?” Tanya Ade mengalihkan topik pembicaraan.

“Mungkin bolos satu jam nggak apa- apa.”

“Masuk, gih! Ayo gue antar!”

“Gue juga tau jalan ke kelas kali.”

“Kalo lo di cegat Tara?”

“Karate gue lumayan kok.”

“Hhh, ya udah sana masuk. Oh ya, jangan sampai ada yang tau kalo kita saudara.”

“Tapi, guru- guru pasti udah tau semua.”

“Bisa gue atur.”

“Ehm, oke. Gue masuk kelas dulu.”

“Satu lagi, jangan deket- deket atau mau dideketin Tara.”

“Iya, gue ngerti.”

Rena bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kelasnya. Ade hanya mengawasi Rena dari tempatnya, dia belum juga beranjak dari tempatnya sampai bel istirahat kembali berbunyi.

🍂🍂🍂

Begitu bel pulang Rena langsung keluar kelas dan memutuskan menunggu Ade di tempat parkir. Hari ini langit terlihat mendung, angin juga bertiup agak kencang. Tidak lama Ade muncul, tetapi yang membuat Rena heran adalah Ade seperti sedang mengejar seseorang.

Rena mengalihkan pandangan pada orang yang berjalan di depan Ade. Orang tersebut terlihat tidak peduli teriakan Ade yang terus memanggil namanya. Orang itu sudah keluar dari gerbang dan Ade kehilangan jejaknya. Ekspresi Ade menunjukkan bahwa dia terlihat sedih dan frustasi, Ade berjalan menuju tempat parkir.

“Dia siapa, Kak?” Tanya Rena begitu Ade sampai didepannya. Ade terdiam dan memandang kearah gerbang sekolah.

“Ana, anak XI IPA 1.” Jawab Ade, pandangannya masih tertuju pada gerbang sekolah.

Rena hanya terdiam, tidak ingin mengetahuinya lebih jauh lagi. Dia amat yakin bahwa sekarang Kakaknya dalam keadaan yang tidak baik.

Langit bertambah gelap, angin juga bertiup cukup kencang membuat udara semakin dingin. Tidak lama hujan turun rintik, semakin lama semakin deras. Ade segera menepikan motornya di halte terdekat. Ade dan Rena berteduh menunggu hujan reda, suasana halte lumayan ramai. Rena memeluk tubuhnya sendiri karena menggigil kedinginan, apalagi angin terus bertiup kencang. Tubuh mereka juga sedikit basah terkena air hujan. Rena memeriksa isi tasnya, dia berharap tidak lupa membawa jaketnya. Namun, setelah dicari ternyata Rena tidak membawa jaket.

“Kak, lo bawa jaket?” Tanya Rena pada Ade, Ade yang sedari tadi mondar- mandir untuk melihat keadaan langit menoleh kearah Rena.

“Bawa.”

“Pinjem dong! Dingin nih.”

“Ambil aja, ada di tas gue.”

Rena pun segera membuka tas Ade yang berada disebelahnya, setelah menemukan apa yang dicari, Rena kembali meletakkan tas Ade seperti semula. Rena segera memakai jaket Ade, badan Rena sudah sedikit lebih hangat.

Halte makin banyak didatangi orang- orang yang hendak berteduh. Beruntung Rena mendapat tempat duduk, sementara Ade berdiri di samping Rena dan sesekali melongok ke langit. Cukup lama mereka menunggu hujan reda, tetapi walau langit tidak sekelam tadi hujan masih turun dengan cukup deras. Rena juga sudah beberapa kali menguap karena bosan, dan berkali- kali angkutan umum berhenti di depan halte itu mengira akan ada penumpang yang naik.

“Hujannya udah nggak selebat tadi, tapi masih gerimis. Gimana? Pulang sekarang?” Tanya Ade setelah melihat keadaan untuk yang sekian kalinya.

“Iya deh nggak apa- apa, ini juga udah terlanjur basah.”

Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menerjang hujan yang memang sudah tidak selebat tadi. Rena naik keatas motor Ade, Ade langsung menggas motornya dengan kecepatan angin. Membuat orang- orang yang berada di halte serentak menggelengkan kepalanya.

“Dasar, jadi ingat masa muda dulu.” Gumam salah seorang diantara mereka.

Sesampainya di rumah, Rena segera berendam dengan air hangat. Dan Bi Tun juga sudah menyiapkan sup hangat beserta teh hangat untuk Ade dan Rena. Setelah mandi dengan air hangat, Rena langsung turun menuju meja makan. Dia melahap sup yang dibuat Bi Tun, selain kedinginan perut Rena juga lapar. Tidak lama Ade juga menyusul, dia keluar dari kamar mandi yang berada di bawah. Dilehernya masih tergantung handuk untuk mengeringkan rambutnya yang masih basah. Ade duduk di depan Rena dan mengambil semangkuk sup, lalu melahapnya.

“Ehm, lo kok bisa kenal sama Ana itu?” Tanya Rena tiba- tiba, pertanyaan yang sedari tadi bersarang dikepalanya.

"Dia adeknya sahabat gue.” Jawab Ade memandang supnya. Rena mengangguk paham dan menyuap supnya lagi.

“Terus tadi kok kayaknya dia nggak ngegubris panggilan lo?”

“Oh itu, dia emang kayak gitu orangnya.” Jawab Ade, tapi kali ini pandangannya semakin menunduk.

Seperti ada sesuatu yang berusaha disembunyikan Ade, itu yang dirasakan oleh Rena. Namun, Rena tidak akan bertanya lebih jauh lagi.

Ade yang sekarang sangat berbeda jauh dari beberapa tahun lalu. Dulu ketika Rena pindah ke Jepang, Ade terlihat lebih baik. Tidak seperti sekarang, Ade saat ini terlihat sangat tertekan dan benar- benar frustasi. Dia bisa meluapkan kemarahannya kapan saja dan pada siapa saja yang mengusik dirinya. Beruntung Rena bisa memahami keadaan Ade saat ini, Rena tidak mau menjadi korban kemarahan Ade.

Rena akan berusaha mencari tahu sendiri, tanpa bertanya langsung pada Ade. Rena bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Ade. Sangat jelas terlihat pada sorot mata Ade, saat pertama kali Rena datang dia sudah merasa ada yang tidak beres pada Kakaknya ini. Rena juga berusaha menahan diri untuk tidak terlalu ingin tahu masalah pribadi Kakaknya. Walau pada akhirnya Rena mencari jawabannya dengan menerka- nerka dan pada ujungnya pikiran buruklah yang datang.

Rena juga menerima permintaan Ade untuk merahasiakan identitas dirinya. Rena tidak merasa keberatan, dia sadar sebenarnya Ade tidak mau jika Rena juga ikut ke dalam masalah yang dihadapi Ade. Rena teringat saat Ade mengatakan bahwa musuhnya berada dimana- mana, Rena sempat berfikir

‘Sebenarnya apa yang dilakukan Ade saat dirinya berada di Jepang?’ sehingga sepertinya masalah yang harus ditanggung Ade begitu besar. Apakah karena Rena yang saat itu memutuskan ikut Papanya ke Jepang dan melanjutkan sekolah disana? Memang dari kecil Ade dan Rena tidak pernah berpisah. Jadi saat mengetahui Rena akan ikut Papanya, Ade menjadi terpukul karena dia akan kehilangan teman bermain. Tetapi jika hanya masalah itu sepertinya tidak mungkin.

Rena menggelengkan kepalanya frustasi, dia lelah memikirkan apa yang terjadi dengan Ade. Rena menghembuskan nafas pasrah, dia berbaring di tempat tidur. Memandang langit- langit kamar, kembali Rena menghembuskan nafasnya perlahan.

“Besok akan gue cari tau.” Tekad Rena pada dirinya sendiri.

Terpopuler

Comments

Nurfajrin fajrin

Nurfajrin fajrin

Like

2020-11-27

1

Erlina Khopiani

Erlina Khopiani

like

2020-10-17

1

Sept September

Sept September

like

2020-10-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!