Chapter 1

Mentari baru saja menampakkan wajahnya, terlihat di salah satu blok perumahan banyak warga yang sudah memulai aktivitasnya. Walaupun perumahan, para warganya selalu bersosialisasi. Satu blok terdiri dari sepuluh rumah, sementara perumahan ini terdapat tujuh komplek. Perumahan yang masuk kategori elit, orang- orang yang tinggal kebanyakan adalah pengusaha sukses. Banyak anak- anak yang bermain sepeda bersama, sedangkan para orang tua mengawasi anak- anak mereka.

Sekarang memang adalah hari libur, hampir separuh rumah di blok ini kosong, karena semuanya pergi berlibur bersama keluarga. Namun, tidak semuanya pergi berlibur, mungkin tidak sempat untuk pergi karena sangat sibuk. Baru pukul delapan pagi jalanan komplek yang tadinya ramai kini mendadak sepi, mereka pulang ke rumah masing- masing.

Ada satu rumah yang menarik perhatian, berada di blok C. Rumah dengan arsitektur bergaya Negeri Matahari Terbit, di taman depan banyak terdapat tanaman hias yang cantik- cantik. Ada sebuah pohon kamboja dengan bunga berwarna putih didepannya, dengan rumput jepang yang berwarna hijau muda dan sangat terawat. Dari luar rumah itu nampak sepi, pagar rumah itu terbuka sedikit. Tepat pukul sepuluh ada taksi berhenti di depan rumah itu, tidak lama keluar seseorang. Supir taksi membantu menurunkan koper milik penumpang itu.

Seorang perempuan yang baru keluar dari taksi memperhatikan rumah itu, matanya tertutup lensa hitam dan rambutnya dikucir ekor kuda ada ponsel ditangannya. Setelah taksi itu pergi, perempuan itu berjalan masuk ke dalam halaman rumah itu. Di depan rumah terparkir satu motor Ninja Hitam, satu mobil Jazz merah, dan satu Ferarri Enzo hitam.

Perempuan itu menyeret koper menuju pintu depan, dipunggungnya terdapat ransel dengan ukuran lumayan besar dan pastinya berat. Perempuan itu melihat kearah ponselnya untuk memastikan rumah yang dia datangi benar. Perempuan itu menekan bel rumah dan menunggu seseorang muncul.

Tidak lama kemudian pintu terbuka, keluarlah seorang wanita paruh baya dengan memakai kebaya. Wanita itu melihat penampilan perempuan yang sedang tersenyum didepannya dari atas sampai bawah dengan seksama, lalu dahinya berkerut. Karena merasa tidak mengenal tamu didepannya itu. Tiba- tiba wanita itu kembali menutup pintu membuat perempuan itu ternganga.

Wanita paruh baya itu berlari tergopoh- gopoh menghampiri seseorang yang sedang duduk santai di depan televisi yang dibiarkan menyala tanpa minat untuk ditonton. Dia sedang terfokus pada game diponselnya.

“Mas, di luar ada tamu.” Lapor wanita itu.

“Siapa? Kok nggak disuruh masuk?” Tanya laki- laki itu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

“Bibi nggak tau. Dia cantik, tinggi, putih, pakai kacamata hitam. Cantik deh pokoknya, kayak artis kolera.” Jelas Bi Tun – nama wanita itu – dengan mata berbinar.

“Korea kali, Bi.” Kata laki- laki itu membenarkan perkataan Bi Tun.

Lalu keningnya berkerut, karena tadi mendengar kata cantik, laki- laki itu segera berlari menuju pintu depan dan meninggalkan ponselnya tergeletak di sofa.

Berkali- kali bel berbunyi di dalam rumah ini, pintu kembali terbuka. Laki- laki itu kini yang ganti membuka mulutnya tanpa suara karena melihat makhluk didepannya. Dia juga memandang perempuan itu dari atas sampai bawah, sama yang tadi dilakukan oleh Bi Tun.

“Akhirnya dibuka juga, aku sudah lama menunggu.” Kata perempuan itu dalam bahasa Jepang dan hendak masuk, tapi seketika dicegat oleh laki- laki didepannya.

“Siapa Kau? Bisa bahasa Jepang juga.” Tanya laki- laki itu.

“Lo nggak kenal gue?”

“Lo siapa sih?”

“Sumpah, jahat banget lo. Gue Rena, adek lo.”

Hening,

“Bohong lo! Nggak mungkin, pasti lo bohong.”

“Bener- bener jahat nih orang.” Kata Rena, lalu dia menekan- nekan layar ponselnya.

Menempelkannya disalah satu telinga, setelah berhasil tersambung Rena langsung mengadu pada orang diseberang sana. “Ma, Kak Ade nggak ngakuin Rena sebagai adiknya.” Adu Rena, laki- laki didepannnya hanya mengerutkan dahi. Rena segera mendekatkan ponselnya ditelinga laki- laki itu.

“Ade, yang sekarang ada didepan kamu itu Rena adik kamu! Azura Rena Ridwana! Papa yang nyuruh dia pulang dulu, beberapa hari lagi baru kami nyusul.” Jelas Mama Rena diujung sana dengan suara yang pasti dapat sangat memekakan telinga. Dan belum sempat menjawab, sambungan sudah diputuskan sepihak.

“Masih nggak ngakuin gue?!” sengit Rena.

“Lo beneran Azura Rena yang itu? Yang dulu item, bulet, udik?”

“Kya! Itu dulu, sekarang udah beda.” Bentak Rena dan memukul Ade.

“Iya sih, sekarang udah lumayan. Terakhir gue lihat muka lo, lo masih pake kawat gigi.”

“Terus aja ngeledek, tapi lo juga jadi item buluk.”

"Enak aja buluk, kulit gue eksotis tau."

Rena hanya mencibir, Ade pun mempersilahkan Rena masuk ke dalam rumah itu.

Rena duduk di sofa ruang tamu, dia melepas kacamatanya dan memperhatikan sekeliling.

Sebenarnya ini adalah rumah baru, jadi Rena sedikit bingung dengan alamat yang diberi oleh Mamanya, karena dia belum pernah datang kesini. Saat Rena berumur sebelas tahun dia ikut Papanya ke Jepang untuk mengurus perusahaan keluarga disana, sementara Ade tinggal bersama Mamanya.

Ade lahir di Jepang dan pada umur sepuluh tahun mereka kembali ke Indonesia. Dan kini Mamanya pergi ke Jepang untuk menemani Papannya yang ternyata sudah selesai dengan perusahaannya.

“Tante Kirana kemana?” Tanya Rena.

“Tau, arisan mungkin. Berarti setelah Papa Mama pulang, tuh Tante bakal balik ke asalnya kan?”

“Iya kali.”

Semenjak ditinggal Mamanya pergi ke Jepang, Ade di rumah bersama adik sang Mama. Itu yang membuat Ade tidak dapat bebas pergi kemana saja. Ade merasa terkurung di rumah sendiri, karena Tante Kirana menerapkan peraturan- peraturannya dengan tegas. Pertama, tidak boleh pulang terlambat. Kedua, tidak boleh keluar malam. Ketiga, tidak boleh menonton televisi diatas jam Sembilan dan lain sebagainya. Memangnya Ade masih anak SD ingusan yang hidupnya dipenuhi aturan?

“Tapi mobilnya ada di depan.” Kata Rena.

“Nebeng temennya kali."

Kakak beradik ini memiliki kesamaan fisik. Kedua mata mereka sipit, memiliki tinggi yang proposional, memiliki lesung pipi, dan memiliki warna mata coklat. Tadinya mereka berdua memiliki kulit yang sama- sama putih, seperti orang- orang Jepang sana. Namun, karena Ade terlalu lama mengendap di Indonesia kulitnya berubah warna. Papa mereka memang asli orang Jepang, sementara Mamanya asli orang Jawa.

🍂🍂🍂

Malam pun tiba, ini malam pertama Rena di Indonesia. Langit Jepang dengan Indonesia sangat berbeda, di Indonesia Rena jarang menemukan bintang di langit. Tante Kirana baru saja pulang, Rena bisa melihatnya dari balkon kamarnya. Tante Kirana sedang mencari- cari sesuatu di dalam tas tangannya, setelah ketemu dia menghampiri mobil Jazz yang terparkir di sebelah Ferrari Enzo milik Ade.

Tante Kirana memasukkan Jazz- nya ke dalam garasi, dengan wajah kesal dia masuk ke dalam rumah. Rena masih memperhatikan gerak- gerik Tantenya yang masih sangat muda itu dan tentunya masih melajang. Tidak lama terdengar teriakan dari ruang sebelah kamarnya.

“Adelard Radmilo Emery Ridwan! Motor sama mobil kamu belum dimasukkan ke garasi, cepet sekarang kamu masukkan! Kalau besok udah nggak ada Tante nggak mau tanggung jawab.” Teriak Tante Kirana di depan pintu kamar Ade.

Tidak terdengar jawaban dari dalam, Tante Kirana hanya mendengus kesal dan dia memutuskan masuk ke kamar disebelahnya lagi. Rena tidak berniat mengganggu kegiatan mereka, dia tetap berdiam diri di dalam kamarnya.

🍂🍂🍂

Rena berjalan dari dapur menuju kamarnya, rumah ini sudah sangat sepi dan lampu- lampunya hanya menyala beberapa saja, suasana terkesan remang- remang. Langkah Rena terhenti saat melihat ada seseorang berjalan mengendap- endap memeriksa sekeliling. Rena mengerutkan keningnya, seketika pikiran buruk menghinggapi kepalanya.

“Lo maling ya?” Tanya Rena dengan berbisik tepat dibelakang orang tersebut.

Orang itu memakai jaket kulit dan celana berwarna hitam. Seketika orang itu menoleh kaget, karena tiba- tiba ada yang mengajaknya bicara.

“Ngapain lo belum tidur?” Tanya orang itu yang ternyata Ade.

“Nggak bisa tidur, lo mau kemana? Ngendap- endap gitu, gue kira maling.”

“Gue mau kumpul sama anak- anak, kamar Tante Kirana aman?”

“Tadi udah gelap sih, mungkin udah tidur. Eh, bukannya lo nggak boleh keluar malem ya?”

“Iya, tapi gue sering keluar malem. Gue keluar diatas jam sebelas, terus pulang sekitar jam dua dini hari.”

“Curang lo, gue aduin Papa kalo lo sering ngelanggar peraturan Tante Kirana.”

“Jangan dong! Udah ah, gue buru- buru.” Ade melangkah dengan langkah pelan dan tanpa suara, Rena menarik tangan Ade cepat.

“Gue ikut, nggak bisa tidur nih.”

Ade menghembuskan nafas kesal, lalu menoleh ke belakang dimana Rena masih menarik- narik tangannya.

“Hhh, iya. Sana ambil jaket lo.”

“Yes.”

Rena segera berlari ke kamarnya, akibatnya timbulah suara gedebak- gedebuk membuat Ade merasa cemas jikalau Tantenya itu terbangun dan mendapatinya sedang berusaha keluar rumah.

Namun, kecemasannya itu hilang saat melihat Rena keluar rumah tanpa ada yang membuntuti dari belakang. Rena sudah mengenakan jaketnya dan memakai celana jeans panjang. Dia segera menghampiri Ade yang sudah berada di luar rumah dengan motor Ninja Hitamnya. Begitu sampai, Ade segera menyodorkan helmnya pada Rena.

“Kok naik motor?” Tanya Rena protes.

“Iyalah, gue mau balapan. Udah cepet naik, jadi ikut atau nggak?”

“Iya deh”

Rena naik ke motor Ade, Ade segera menggas motornya menuju tempat biasa dirinya dan teman- temannya nongkrong.

🍂🍂🍂

Jalanan yang cenderung lengang membuat Ade melajukan motornya benar- benar diatas rata- rata yang dianjurkan. Rena hanya diam tidak merasa ketakutan, dia hanya berpegangan pada pinggang Kakaknya itu. Dan sampailah mereka di suatu tempat yang sudah banyak orang dengan sepeda motor masing- masing.

“Kalau di Tokyo pasti masih sangat ramai.” Gumam Rena dalam bahasa Jepang dan turun dari motor, dia melihat sekeliling jalan yang memang sudah sangat sepi.

“Ini bukan di Tokyo,  Zura-chan. Kau ingat?” jawab Ade juga menggunakan bahasa Jepang.

“Aku ingat.”

“Lo pada ngomong apaan sih? Bahasa lo aneh banget.” Kata seseorang yang sudah berada di depan motor Ade.

Seketika Ade dan Rena menoleh kaget.

“Eh, elo. Udah lama?” Tanya Ade.

“Lumayan, lo ngaret banget. Kemana aja? Si Tara nungguin lo daritadi tuh.”

Ade melihat orang yang bernama Tara, dia sudah bersiap diatas motor cagiva merah terangnya. Ade menggas menghampiri Tara. Sedangkan Rena yang ditinggal hanya melongo.

‘Kok gue ditinggal?!’ batin Rena sebal.

Dia berjalan kearah kerumunan orang yang kini berkumpul mengelilingi Ade dan Tara. Ternyata mereka berdua memang berjanji untuk balapan malam ini. Saat hendak dimulai, orang- orang tadi yang mengerumuni mereka berdua menyingkir.

Ada seorang wanita berdiri di depan mereka dengan membawa saputangan yang diangkat tinggi, tidak lama wanita itu menurunkannya dengan cepat pertanda pertandingan dimulai. Ade dan Tara langsung menggas motornya kencang diiringi bunyi mesin yang nyaring.

Rena memperhatikan jalanan, berharap Ade yang terlebih dulu sampai. Rena memang terbiasa keluar malam, tetapi dia lakukan saat Papanya tidak berada di rumah. Rena tidak menyadari jika ada seorang yang sedang memperhatikannya. Begitu Rena menoleh, dia terkejut karena tiba- tiba ada orang disampingnya.

“Lo siapa? Gue belum pernah lihat lo disini sebelumnya. Bukannya tadi lo datang bareng si Ade ya? Tumben tuh si Ade bawa cewek, nggak takut apa kalau bakal jadi rebutan.” Kata orang itu panjang lebar.

Rena hanya mengernyitkan dahinya, dia memang dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Namun, enam tahun di Jepang dan setiap hari berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang membuat kemampuan bahasa Ibunya memudar.

“Ehm, bisa pelan- pelan kalau ngomong? Gue sedikit nggak paham lo ngomong apa.” Jawab Rena dengan logat yang memang aneh dari awal.

“Siapa nama lo?” Tanya orang itu.

“Rena, Azura Rena Ridwana.”

“Oh, kenalin gue Ferdinan Nafiz. Panggil aja Ferdi.” Ucap Ferdi memperkenalkan dirinya. “Lo bukan orang sini ya? Soalnya wajah lo nggak ada unsur Indonesianya. Lo juga kalo ngomong aneh.”

“Udah dibilangin kalau tanya sedikit- sedikit juga. Gue dari Jepang, baru pulang tadi.”

Ferdi hendak bertanya lagi, tetapi seketika buyar saat orang- orang disekitarnya berteriak histeris karena melihat dua pembalap amatiran itu datang mendekat.

Mereka lebih histeris lagi saat mengetahui bahwa yang pertama kali sampai finish adalah Ade dan tentu saja yang terakhir Tara. Dalam sekejap sekeliling motor Ade menjadi ramai. Tara yang memarkir motor di sebelah Ade hanya mendengus kesal, dia memukul motornya kesal. Namun, pandangannya teralihkan saat melihat ada seorang perempuan asing mendekati Ade, wajahnya terlihat kesal.

“Lupa kalau kau masih mempunyai Adik?” Tanya Rena melipat tangan didepan dada.

Ade yang tadi sempat beruforia karena menang, seketika menoleh kearah Rena.

“Gomenna, biasanya kan gue sendiri. Gue lupa.” Jawab Ade meminta maaf disertai cengirannya.

Para kerumunan dibubarkan paksa oleh Ferdi yang mendekat kearah Ade dan Rena. Ade melihat jam di tangan kirinya, sekarang menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh menit.

“Ayo pulang, udah lewat jam nih.” Ajak Ade.

“Sebentar lagi, masih pengen keliling.”

“Besok gue sekolah, lo enak belum berangkat bisa tidur seharian.”

“Huh, ya udah deh.”

Dengan terpaksa Rena menuruti perkataan Kakaknya tersebut, dia menerima helm yang diberikan Ade dan memakainya. Rena sudah berada diatas motor Ade.

“Gue balik dulu ya?” pamit Ade pada Ferdi dan langsung menggas motornya cepat tanpa menunggu jawaban.

“Eh, gila tuh orang. Bawa anak orang tuh.” Kata Ferdi menggelengkan kepalanya.

Sedari tadi Tara terus memperhatikan gerak- gerik Rena dan Ade. Dia tersenyum miring saat memperhatikan. Dia segera memakai helm dan segera menggas motornya meninggalkan tempat balapan  itu.

🍂🍂🍂

Pagi sudah menyapa dan matahari tidak malu- malu menampakkan sinarnya yang terang hingga menembus jendela kamar Rena. Rena masih terbaring dibalik selimutnya, dia masih tidur pulas. Tadi malam mereka sampai rumah hampir pukul tiga dini hari dan beruntung Tante Kirana tidak mengetahuinya. Tante Kirana duduk di kursi meja makan untuk sarapan, saat melihat meja makan masih sepi dia mendengus kesal.

“Kebiasaan tuh anak, kalau nggak dibangunin nggak bakalan bangun.” Gumam Tante Kirana pada dirinya sendiri dan menggigit sepotong roti isi.

Bi Tun datang dengan membawa beberapa masakan untuk mereka sarapan, seketika dahi Tante Kirana berkerut.

“Kok masak banyak? Bukannya Ade kalau sarapan biasanya cuma makan roti? Dia nggak pernah makan nasi.”

“Ibu belum tau? Kan ada tamu, cantik anaknya mirip artis kolera.” Jelas Bi Tun dengan senyum sumringah.

“Korea kali, Bi. Tamu? Siapa?”

“Iya, cantik pokoknya.”

“Iya, saya tau cantik. Maksudnya namannya siapa?”

“Kok Ibu bisa tau kalau dia cantik, saya juga belum tau namanya. Orang kemarin yang nemuin Mas Ade.”

“Jangan- jangan Ade bawa cewek lagi.” Curiga Tante Kirana.

Saat itu Ade menuruni tangga dengan tas dipunggungnya dan dia sedang mengenakan dasi. Langkahnya ringan, dia menuju meja makan. Ade hendak mengambil sepotong roti isi untuk sarapan, tapi tangannya segera ditepis Tante Kirana. Tante Kirana memandangnya tajam.

“Tante kenapa sih? Ade udah telat nih.” Tanya Ade dan kembali hendak mengambil roti isi. Namun, kembali ditepis.

“Siapa cewek yang kamu bawa pulang?” Tanya Tante Kirana tajam. “Tante aduin ke Papa kamu baru tau rasa.”

“Tante ngomong apa sih? Ade nggak ngerti.”

“Nggak usah pura- pura, tadi Bi Tun cerita kalau kamu ada tamu cewek. Siapa?”

“Oh, kemarin Rena pulang. Tante belum ketemu ya?” jelas Ade yang baru ngeh.

“Rena? Jangan bohong kamu!”

“Kalau nggak percaya, cek aja dikamarnya. Tuh anaknya masih tidur di kamarnya!”

Tante Kirana pun langsung menuju kamar Rena. Sedangkan Ade meminum susu dan menggigit sepotong roti, lalu dia menuju motornya dan segera berangkat ke sekolah. Tante Kirana melihat dari jendela, saat mendengar deru motor keluar dari halaman.

“Dasar anak nakal, ngidam apa Mbak Adel waktu ngandung Ade.” Gumam Tante Kirana menggelengkan kepalanya.

Tante Kirana membuka pintu kamar Rena, disana terlihat koper dan ransel yang belum sempat dibereskan oleh Rena. Sedangkan diatas tempat tidur ada sesosok tubuh yang terbalut selimut. Tante Kirana berjalan mendekat dan langsung menyibak selimut yang menutupi tubuh itu.

“Okaasan, Zura masih mengantuk.” Gumam Rena dalam bahasa Jepang, matanya masih terpejam dan tangannya berusaha meraih selimut yang dipegang Tante Kirana.

“Rena?”

Mendengar suara asing, Rena langsung membuka matanya. Dia terkejut dengan mata terbelalak, walau tetap terlihat sipit apalagi baru bangun tidur.

“Eh, Tante Kirana. Apa kabar, Tan?”

“Kenapa kamu nggak kasih kabar kalau mau pulang? Papa dan Mama kamu mana?”

“Papa dan Mama pulang beberapa hari lagi. Sebenernya Rena mau kasih tau, tapi ternyata lupa. Terus sampai rumah, Tante juga nggak ada. Jadi baru ketemu sekarang deh.”

“Kalau gitu, ayo sarapan.”

“Tan, Rena masih ngantuk. Tadi malam nggak bisa tidur, belum terbiasa.”

“Hhh, ya udah deh. Lanjutin aja tidur kamu. Tante ke kantor dulu.”

Rena hanya mengangguk lemah dan menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Kembali ditutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

Terpopuler

Comments

Erlina Khopiani

Erlina Khopiani

like.

2020-10-16

1

Sept September

Sept September

like

2020-10-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!