KCJ - 02

Selama tiga hari Bora mengalami situasi dimana makan tak enak, tidur tak nyenyak ibarat buang air besar tapi tidak tuntas akibat pesan yang dikirimkan oleh pemilik mobil mewah itu. Agnia pun merasa iba dengan kondisi yang di alami sahabatnya itu, tetapi ia tak bisa banyak membantu.

Hingga tibalah hari yang telah ditentukan oleh sang pemilik mobil. Di pagi yang mendung semendung hati Bora, ia sudah berdiri tepat di halaman kantor yang berupa gedung pencakar langit yang tidak bisa dibandingkan dengan kantor lamanya dulu. Mulutnya sampai menganga kala melihat gedung perkantoran yang mewah itu.

"Alamak salah pake kostum pula aku ini," keluh Bora saat memperhatikan tampilannya yang hanya menggunakan celana jeans, kaos oblong tak lupa sepatu sneakers andalannya. Untuk menutupi kegugupannya Bora menyapa setiap karyawan yang dia jumpai di kantor itu hingga membuat orang yang memandangnya menjadi geli.

"Pagi Mba, saya Bora, saya mau ketemu sama orang yang ada di kartu nama ini!" ujar Bora sopan yang membuat resepsionis yang bertugas pagi itu memandangnya geli. Namun pandangan geli itu berganti menjadi pandangan aneh, saat membaca kartu nama yang diberikan oleh Bora.

"Mbanya, mau ketemu sama Pak Auriga?" tanya sang resepsionis tak percaya. Bora mengangguk mantap, yang membuat resepsionis yang bernama Indah itu menatapnya ngeri.

"Maaf, apa sebelumnya Mba udah punya janji temu dengan CEO kami?" tanya Indah memastikan kembali karena tampilan Bora sama sekali tak mencerminkan sebagai orang yang mungkin dekat, bahkan sekedar kenal dengan orang selevel Auriga Dipta, CEO sekaligus anak pemilik PT. Buana Dipta yang memiliki beberapa cabang di seluruh nusantara.

Bora menunjukkan pesan yang dikirimkan oleh nomor yang sama dengan nomor kontak yang tertera di kartu nama yang diterimanya beberapa hari yang lalu itu. Indah begitu terkejut, ia meminta Bora untuk menunggu terlebih dahulu agar ia bisa mengkonfirmasi hal tersebut kepada sekretaris CEO.

Indah mengantar Bora ke lift, dan menekan tombol lantai dimana ruangan CEO berada. Sebelum pintu lift tertutup, Indah sempat menatap iba ke arah Bora sambil berkata,

"Kuatkan hati ya, Mba. Semoga berhasil!"

Perkataan Indah itu membuat bingung Bora. Ia mencoba mengingat kembali percakapannya dengan Indah tadi. Ia merasa ada yang mengganjal dan membuat dirinya merasa tak nyaman.

Ehmmm, CEO, oke..., batin Bora dan ia mulai menyadari sesuatu.

"C. E. O? Apa?!!!" seru Bora saat berada di dalam lift. Kebetulan hanya dia sendiri yang berada dalam lift itu. Ia segera merogoh lagi kantong celananya dan mencari kartu nama yang ia simpan tadi.

Chief Executive Officer? Batin Bora yang langsung merasa lemas saat mengetahui jati diri orang yang akan ditemuinya ini. Bunyi lift terbuka pun menggema, Bora melangkah kakinya dengan berat menuju ke ruangan yang bertuliskan label CEO di depannya.

"Dengan Mba Bora? Silakan masuk Pak Auriga sudah menunggu!" sapa Nadine sang sekretaris dengan ramah. Bora mengangguk lemah. Nadine membukakan pintu dan mempersilakan Bora masuk ke ruangan CEO itu.

"Semangat Mba," bisik Nadine sebelum menutup pintu ruangan Auriga yang membuat Bora bertanya-tanya seperti apa sosok lelaki yang bernama Auriga itu karena sejak tadi sudah dua orang yang menyemangati dirinya seolah memahami kegalauannya.

"Permisi om, ehhh, bapak..., Saya Bora. Saya mau ketemu sama Pak Auriga..., seru Bora dengan sedikit sungkan kepada seseorang yang sedang duduk membelakanginya. Kursi kerja itu berputar dan memperlihatkan sesosok pemuda tampan dalam balutan jas mewah yang membuat Bora tanpa sadar membelalakkan matanya dengan mulut yang ternganga.

Lelaki muda nan tampan itu memperhatikan penampilan Bora dari atas hingga bawah.

"Ekhemmmm! Mingkem!" ujar lelaki itu. Bora langsung tersadar dan menutup mulutnya. Ia memperbaiki posisi berdirinya sembari merasakan perasaan rendah diri yang sesungguhnya. Aura Auriga sangat mengintimidasi, jauh berbeda dengan Brama, atasan Bora yang dulu. Ia merutuki dirinya karena tak mencari tahu terlebih dahulu orang yang akan dijumpainya itu.

"Silakan duduk, tak perlu panjang lebar, saya akan langsung ke intinya saja. Bayar kerusakan mobil saya karena ulah kamu, tiga hari yang lalu," tegas Auriga yang membuat Bora meringis.

"Pak, berapa biaya untuk kerusakannya ya?" tanya Bora.

"10 juta hanya untuk kaca mobil, belum termasuk biaya penggantian!" ujar Auriga singkat yang langsung membuat kaki Bora terasa lemas. Ia pun menjelaskan tentang dirinya yang baru dipecat dan meminta keringanan dari Auriga agar bisa mencari pekerjaan terlebih dahulu supaya bisa menyicil biaya perbaikan kaca belakang mobil sang CEO.

"Kamu pikir saya jasa peminjaman online apa, pake acara bisa nyicil segala! Engga bisa! Saya kasih kamu waktu satu minggu buat gantiin kaca mobil saya!" ujar Auriga tegas yang membuat Bora mencebik. Ia berusaha memutar otaknya, mencari cara untuk membujuk Auriga agar memberi keringanan kepada dirinya.

Tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponsel Auriga. Ia mengangkat jari telunjuknya untuk menyuruh Bora diam. Bora langsung menutup mulut dan menegakkan punggungnya. Ia berusaha mendengarkan dengan saksama pembicaraan Auriga tanpa bermaksud menguping karena lelaki itu masih tetap duduk di tempatnya semula.

"Halo Mi...," sapa Auriga dengan tenang. Auriga terlibat beberapa percakapan yang membuat Bora bisa menyimpulkan bahwa yang menelepon adalah ibu dari lelaki tampan itu.

"Mi, aku udah bilang berapa kali, aku engga mau dijodohin! Titik! Apalagi hadir di kencan buta yang udah mami persiapkan. Aku sibuk, Mi. Nanti aku telepon lagi. Bye!" Auriga langsung memutuskan panggilannya dan kembali menatap ke arah Bora.

Auriga menatap ke arah Bora dengan lekat, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan sofa yang ia duduki, sembari menatap Bora dari atas ke bawah yang membuat gadis itu merasa tidak nyaman.

"Misi Pak, kembali ke laptop kayak kata Mas Tukul, saya mintol Pak, tolong kasih saya keringanan untuk nyicil biaya perbaikannya waktu saya udah dapat kerjaan baru." Bora menatap Auriga dengan tatapan memohon sambil menangkup kedua telapak tangannya ke depan dada.

Auriga tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia tetap sibuk dengan pikirannya sendiri, dan mengabaikan keberadaan Bora di ruangan itu, yang membuat Bora menjadi kesal. Bora bukanlah tipe perempuan penyabar yang akan diam saja bila ia merasa tidak dihargai. Agnia selalu mengatakan bahwa tingkat kesabaran dari Bora adalah setipis tisu.

Bora pun menunjukkan ekspresi kesal ke arah Auriga. Bora hampir saja mengumpat di hadapan sang CEO, tetapi tak sempat ia lontarkan karena Auriga kembali membuka suara.

"Pokoknya saya engga mau tau, waktu kamu seminggu untuk membayar utang kamu! Atau...." Ucapan Auriga menggantung seolah sedang menimbang sesuatu sebelum mengutarakannya pada Bora.

"Atau...?" timpal Bora yang berharap ada solusi lain yang diberikan oleh CEO tampan itu karena dengan keadaannya saat itu tak mungkin ia bisa mengumpulkan uang sebesar yang diminta oleh Auriga tepat waktu.

"Kamu kerja untuk saya, sebagai kekasih kontrak!"

APAAA!!!

****

Terpopuler

Comments

Bilqies

Bilqies

mampir lagi Thor

2024-04-29

1

Mimik Pribadi

Mimik Pribadi

Kayanya bakal menarik nich,,,,

2024-01-23

1

HARTIN MARLIN

HARTIN MARLIN

baru baca udah bikin ketawa 😂😂

2023-11-01

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!