Kepincut CEO Judes

Kepincut CEO Judes

KCJ - 01

"KAMU DIPECAT!" ujar seorang lelaki paruh baya kepada bawahannya.

Bora Adhisti, sang karyawan menatap sang atasan dengan mata yang membulat karena tak menyangka bahwa Brama Sentosa pemilik perusahaan dimana ia bekerja akan memecatnya dengan semena-mena.

"Apa alasan bapak memecat saya, padahal kinerja saya sangat baik selama bekerja dan itu sudah dibuktikan dari nilai appraisal saya selama ini!" ujar Bora membela diri.

Sang CEO tertawa keras yang membuat Bora berang dan mengepalkan tangan sembari menahan emosinya yang mulai memuncak.

Dasar b*ndot tua! Lelaki uzur mata keranjang! Batin Bora yang ingin sekali menonjok wajah atasannya dengan tinju mautnya.

"Bora..., Bora sayang, kamu tau alasan saya. Saya adalah hukum di kantor ini. Siapa yang berani melawan saya? Kamu menolak permintaan kecil saya, jadi..., yah, secara tak langsung kamu sudah melawan atasan. Simple bukan?!" Brama mengeluarkan seringai liciknya yang membuat Bora ingin muntah.

Baiklah karena toh sudah akan dipecat, kenapa tidak kita ramaikan saja! Batin Bora sembari membalas seringaian licik Brama dengan senyum sinisnya.

"Pak Brama yang terhormat, ahhh, tidak lelaki tua tak tahu diri yang berani mengajak kencan karyawatinya secara terang-terangan. Dan memecat sang karyawati hanya karena menolak ajakannya. Shame of you!" Bora menyiram kopi yang ada di meja Brama tepat ke atas kepalanya dan langsung melenggang pergi dari tempat itu dengan santai. Tetapi sedetik kemudian ia berbalik, sembari memberikan peringatan kepada Brama.

"Jangan berani memanggil keamanan b*ndot tua. Karena aku sudah merekam pembicaraan kita tadi, begitu juga sewaktu anda memaksa saya untuk berkencan dengan anda!"

Pintu ruangan Brama tertutup.

"BORA!!!!"

****

Bora menyusun barangnya secepat kilat, dan berlalu dari perusahaan itu dengan secepatnya. Degup jantungnya sangat perpacu seiring jalannya yang setengah berlari.

"Bora b*goooo, gayamu! Kenapa tadi engga berlutut aja mohon supaya tetap dipekerjakan. Apa salahnya kencan sekali dengan pria kesepian itu, supaya dapurmu tetap ngepul!" Bora merutuki dirinya sendiri karena melakukan tindakan berani tapi tanpa pemikiran sehat itu. Kini ia kehilangan pekerjaannya yang selama ini penopang hidup utamanya.

Ia menggusar rambutnya dengan kasar hingga rambutnya menjadi berantakan. Ia memikirkan uang kos yang harus segera dibayarkan, belum lagi uang bantuan yang biasa ia kirimkan tiap bulan ke panti asuhan dimana ia dibesarkan.

Uang listrik, air, makan, argh!!! Matilah kau, Bora! Selamat menjadi pengangguran! rutuk Bora dalam hatinya. Ia menendang batu yang dilihatnya dengan kencang dan... GOL!!!

Prangg!!!

Suara pecahan kaca terdengar begitu jelas di telinga Bora yang membuat ia membelalakkan matanya.

"Matilah aku!" Bora segera menggetuk kepalanya dan berusaha ingin kabur karena tendangan mautnya baru saja berhasil bersarang pada kaca belakang mobil mewah yang baru saja melewati dirinya.

Mobil itu berhenti, sedangkan Bora membeku di tempatnya. Ia ingin menyembunyikan diri di selokan, tetapi selokan di tempat itu sudah ditutupi semen trotoar. Bora menghela nafas berat dan memilih pasrah dengan kesialan yang menghampirinya hari itu. Ia sudah bersiap menghadapi hal buruk yang akan kembali menimpanya karena yang terburuk sudah ia lalui hari itu, yaitu hari pemecatan dirinya.

Supir mobil mewah itu keluar dan menemui Bora yang masih berdiri mematung di tempatnya.

"KTP, nomor hape!" ujar sang supir. Bora memberikan kedua hal yang diminta tanpa bertanya. Ia sudah tak memiliki opsi untuk membela diri. Supir itu pergi setelah memberikan sebuah kartu nama kepadanya.

****

"Boraaaaaaa, kenapa nasibmu sial kali?!" ujar Bora sembari memukul bantal yang ada di kamar kosnya. Ia menangis sesegukan karena merasa nasibnya begitu malang. Kehilangan pekerjaan dan harus bersiap mengganti rugi kaca mobil mewah yang dipecahkannya tadi siang.

Bora baru beranjak dari kasur miliknya menjelang tengah malam karena perutnya sudah bergemuruh minta diisi. Ia memeriksa lemari kecil yang ada di dekat kasur miliknya.

"Endomi lagi, endomi lagi! Nikmati hari-harimu dengan mie instan terbaik di dunia, sayangku!" ujar Bora berusaha mensyukuri apa yang ia miliki.

Tiba-tiba ketukan di kamar Bora terdengar yang membuat gadis itu melirik jam yang ada di dinding kamarnya.

Jam tengah 12 malam, batin Bora sembari mengerutkan dahinya bertanya-tanya siapa yang ingin menemuinya di waktu semalam itu.

"Siapa?" tanya Bora sedikit ragu. Ia takut mendapatkan kesialan ketiga malam itu. Sudah cukup dua kesialan merusak hari, lebih tepatnya hidup Bora di sepanjang hari itu. Ia tidak ingin menerima kejutan lagi, terutama penampakan makhluk yang bisa membuatnya mati berdiri.

"Agnia, Mak!" seru sang tamu yang membuat Bora menghela nafas lega. Bora segera membuka pintu kamarnya.

"Ayam goreng dan soft drink?" tawar Agnia yang membawa plastik tentengan di tangannya yang membuat Bora bertepuk tangan riang. Ternyata malam itu Tuhan juga menunjukkan kemurahannya sebagai pengobat lara yang menimpa dirinya hari itu.

"Hari baik apa ini kok tumben kamu bawa traktiran?" tanya Bora dengan mata sembabnya.

"Aku naik jabatan, Mak!" balas Agnia riang yang membuat Bora mengerutkan keningnya dan menangis beberapa detik kemudian. Hal itu membuat Agnia terkejut dan tak tahu harus berbuat apa.

"Mamak dipecat, Nak!" Bora menangis dengan keras yang membuat Agnia menutup mulutnya yang menganga karena terkejut.

"DIPECAT?! Omo..., Omo..., OMG..., hel..., to, the ho...!" seru Agnia histeris yang membuat Bora menutup telinganya karena suara nyaring Agnia.

"Woyyy, bisa dilempari tetangga kita kalo suaramu kayak, Nyai kunti begitu!" tegur Bora di sela tangisannya. Bora menceritakan kisah kemalangannya secara lengkap, spesifik dibumbui dengan ekspresi khas anak teater yang digeluti oleh Bora hingga kini.

Agnia tak tahu dia harus ikut menangis atau tertawa malam itu, karena ekspresi kocak Bora menghalangi Agnia untuk bersedih. Ia berusaha menahan tawanya demi rasa solidaritas dan peripertemanan yang sangat ia junjung tinggi. Ia mendengarkan cerita Bora dengan saksama demi kenyamanan sahabatnya itu.

"Jadi pemilik mobil mewah itu belum nelpon dirimu, Mak?" tanya Agnia penuh dengan rasa penasaran. Bora menggeleng lemah, ia mengetukkan kepalanya ke meja yang ada di depannya beberapa kali hingga akhirnya ia menggusar rambutnya hingga berantakan. Agnia bergidik ngeri saat melihat penampakan Bora.

Ia menggeser rambut Bora yang menutupi wajahnya.

"Mak jangan kambuh tengah malam, seram tau!!!" bisik Agnia yang membuat Bora memelototi dirinya. Mereka melanjutkan obrolan mereka hingga menjelang pagi. Karena keesokan harinya adalah hari Sabtu, Agnia bisa menemani Bora bergadang sambil mendengarkan semua curhatan sahabatnya itu.

Menjelang pagi, saat kedua gadis itu mulai memasuki alam mimpinya, tiba-tiba ponsel milik Bora berbunyi yang membuat ia mengerang kesal karena harus bangkit lagi dari kasurnya.

Datang ke alamat di kartu nama tiga hari lagi!Jangan coba melarikan diri!

Sebuah pesan yang membuat kantuk Bora lenyap seketika.

****

Terpopuler

Comments

Bilqies

Bilqies

aku mampir nih kak, salam kenal yaa ..
mampir juga yaa di karyaku.....
terima kasih /Smile/

2024-04-29

1

Leni Marlina

Leni Marlina

assalamulaikum..salam kenak

2023-10-17

0

HARTIN MARLIN

HARTIN MARLIN

Assalamualaikum hai 🖐🖐 salam kenal dari ku,
cerita nya menarik

2023-10-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!