...🍁Disclaimer🍁...
...Dilarang mengcopy / menulis ulang cerita ini dalam bentuk apapun. Cerita ini asli dari imajinasi Author. Baik dari segi nama, tempat dan alur cerita semua dari hasil pengembangan imajinasi Author sendiri. Harap-harap diperhatikan dengan baik. Mencuri hak orang lain tidak akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik....
...•••...
Setelah membersihkan tubuhnya dan selesai memakai seragam sekolah, juga Anna sudah begitu cantik setelah merias diri dengan riasan sederhana yang ia punya, Anna segera bergegas meraih tas sekolahnya di atas sofa lalu berjalan keluar dari kamar.
Saat berjalan lima langkah dari pintu dan kini ia berdiri di dekat tangga—sepasang manik hitam miliknya menangkap sosok Ayahnya di lantai bawah, tepatnya di meja makan sedang menikmati sarapan paginya sambil membaca koran.
Anna turun tanpa menimbulkan suara langkah sepatunya. Sesampainya di meja makan, ia mengambil posisi ternyaman duduk di kursi seraya mencuri pandang ke arah ayahnya yang duduk tidak jauh darinya.
Ia menarik napas panjang lalu berkata, "Ayah?" ucapnya pelan. Panggilan Anna yang terdengar pelan membuat Ryan mengangkat pandangannya menatap Anna yang ternyata sudah ada di meja makan.
Sesaat Ryan menatapnya lalu kembali menatap koran di tangannya. Detik berikutnya Ryan berkata, "Ini meja makan bukan ruang rapat. Kalau tidak ingin sarapan, sana kau berangkat sekolah.. dan ini uang sakumu kau cukupkan sebisa mungkin."
Anna menelan ludahnya kasar, bibirnya juga ia tekuk kebawah lalu melirik selembar uang lima puluh ribuan di atas meja. Ia menghela napas lesu. Itu tidak akan cukup. Ia butuh lebih dari itu.
"Bagaimana dengan uang sekolah yang Anna katakan kemarin ayah. Pihak sekolah tetap meminta pelunasan uang sekolah walau Anna tidak masuk enam bulan. Ayah sudah berjanji juga akan melunasinya. Tolong ayah, berikan Anna uang lebih..."
Ryan yang menyudahi acara sarapan paginya dan sedang berdiri di depan sebuah kaca dibagian lemari tua dekat ruang tamu sambil merapikan pakaian kantornya kembali menoleh pada Anna. Tatapan itu begitu tajam menyorot Anna membuat gadis itu dengan cepat merunduk ketakutan.
"Apa kau tidak bisa cari uang tambahan di luaran sana untuk membayar uang sekolahmu? Mandirilah mulai sekarang, Anna. Jangan selalu merepotkan orangtua," jawab Ryan lalu berjalan meraih tas kantornya di atas sofa.
Anna pun terkekeh. Ya, gadis itu terkekeh mendengar jawaban ayahnya yang baru saja terdengar.
"Sejak awal Anna juga ingin melakukan semua yang ingin Anna lakukan tanpa melibatkan Ayah. Tetapi apa? satu langkah saja aku keluar dari rumah ini ayah sudah marah-marah bahkan tidak segan-segan memukulku. Apa seperti ini yang ayah bilang mandiri?" Ryan menoleh, memandang Anna yang berbicara dengan kepala menunduk.
"...harusnya ayah gak bisa salahin Anna terus. Yang buat Anna mogok sekolah hampir setengah tahun ini itu karena ulah ayah kan—aku juga bisa capek Ayah. Anak mana yang tahan dengan sikap seorang ayah seperti ayah ini."
Anna mengangkat pandangannya. "Ayah memukulku hampir setiap hari! Mengatakanku anak pembawa sial, jadi untuk apa aku tinggal dengan ayah lagi. Kalau ayah membenciku karena kematian bunda ayah salah besar--jelas-jelas ayah sendiri yang dengar Bunda bilang apa sebelum kejadian itu terjadi. Anna ingat semua ayah. Ayah ingat apa yang terjadi beberapa tahun lalu."
Ryan membulatkan matanya tidak percaya. Pria itu terlihat panik dengan arah pandang yang tidak menatap Anna lagi. "Apa yang ayah lakukan sebenarnya? Apa ayah..."
"Urus saja dirimu sendiri," potong Ryan dengan cepat lalu pergi mengabaikan Anna. Anna keluar dari meja makan, mengejar ayahnya ke pintu dan berteriak keras.
"Ayah egois! Mau sampai kapan ayah giniin Anna, Ayah!! Aku gak sekuat itu. Argghh..." seru Anna kencang. Sayangnya teriakan itu sudah tak didengar Ryan lagi karena pria itu sudah lebih dulu keluar dari pekarangan rumah.
Anna meluruh kelantai dengan mata berair. Masih pagi tapi ia sudah sesedih ini. Kedua tangannya mengepal kuat di atas rok abu-abunya. Ia benar-benar tidak tahan menahan perasaannya. Ia merasa dicampakkan dan tidak punya jalan lagi.
"Sudah non sudah. Sekarang non berangkat sekolah ya pakai uang bibi saja dulu lunasi uang sekolah Non."
"Tidak usah Bi, tidak apa-apa. Anna masih bisa cari cara lain buat lunasi uang sekolah Anna. Anna bakalan diam-diam kerja part time entah di cafe atau dimanapun yang penting Bibi tidak kasih tau ayah."
"Tidak papa Non. Pakai saja uang bibi ini, tidak perlu non ganti yang penting urusan sekolah beres dan tidak ada masalah."
Bi Rina lantas menaruh uang tersebut diatas telapak tanganny. Entah berapa nominalnya Anna tidak melihat itu lagi. Ia justru fokus menatap sesuatu yang kosong di depan rumah. Ya, Anna mulai frustasi. Dadanya sampai menggebu-gebu melihat sikap tak enak hati dari sang ayah.
"Sekarang non berangkat sekolah ya, takut terlambat jadi kena hukum nanti. Ini hari pertama jadi harus lebih berkesan."
Anna pun mengangguk pelan sambil menguatkan dirinya berdiri tegak seraya memasangkan ransel sekolahnya. Ia berjalan menuju gerbang rumah--disana sudah ada Mang Dodi satpam rumahnya dan Pak Anton, sopir pribadinya Anna sendiri.
"Maaf ya Non hari ini bapak tidak bisa antar non ke sekolah. Tadi Tuan kasih perintah untuk tidak mengantarkan non ke sekolah, bapak tidak dikasih izin."
"Engga papa kok Pak. Anna bisa naik angkot ke sekolah mulai hari ini. Kalau gitu Anna pamit berangkat sekolah dulu ya, Mang Dodit, Pak Anton."
"Hati-hati ya non." Anna menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis dan berjalan lurus kearah gerbang rumah. Kedua pria paruh bayah itu menghembuskan nafas panjang menatap punggung gadis itu yang hilang dibalik gerbang.
"Berat sekali ya melihat non Anna berangkat sekolah seperti itu. Biasanya saya yang mengantarnya sambil cerita-cerita dalam mobil tapi sekarang—"
"Kita harus maklum Ton. Kalau bukan karena pekerjaan dan untuk makan keluarga di rumah saya mah gak tega biarin non Anna naik angkot seperti itu, apalagi untuk pertama kalinya."
...🍁🍁🍁...
Sementara di depan gerbang rumah, Anna celingak-celinguk mencari keberadaan angkot. Ia menunggu angkot yang biasanya lewat dari depan rumahnya ketika ia selalu berangkat diantarkan sopir.
Anna melirik arloji perak di pergelangan tangannya--pukul 07.10, dua puluh menit lagi waktu yang ia punya sebelum bel berbunyi dan gerbang sekolah tertutup rapat.
Disaat ia sibuk dengan langkahnya di trotoar, tiba-tiba saja dari arah belakang terdengar deruman suara motor yang memekakkan telinga melaju dengan kencang dan spontan berhenti tepat di sebelah Anna yang tengah berjalan.
Anna pun menoleh dengan dahi berkerut. Dari warna helm juga jaket yang orang itu kenakan, ia tahu kalau itu adalah Kavin. Cowok yang tinggal tidak jauh dari rumah yang Anna tempati. Ya mereka satu komplek. Sekitaran lima rumah dari rumah Anna.
Laki-laki itu melepas helmmya dan langsung tersenyum ramah pada Anna. Lesung pipi yang tercetak jelas di kedua pipinya membuat Anna gemas ingin menusuknya dengan jari tangannya.
"Gue gak nyangka bisa lihat lo lagi pagi-pagi begini berangkat sekolah. Ini rezeki gue apa gimana? Tiap hari gue lewat depan rumah lo ini tapi gak pernah liat lo lagi setelah berbulan-bulan. Lo tinggal dirumah apa selama ini ada disuatu tempat?"
Anna mengernyitkan dahi. "Ah, gue banyak omong ya. Sorry, gue masih gak nyangka ajah bisa lihat lo lagi setelah lama menghilang dari peradaban."
Anna mengernyit. Ia memajukan wajahnya lebih dekat pada Kavin membuat cowok itu menjaga jaraknya dari Anna yang kian dekat padanya.
"Lo udah sarapan kan tadi pagi?" Pertanyaan yang mendadak dan sedikit membingungkan Kavin membuat cowok itu mengernyitkan dahi.
"Gue? Ya pasti lah gue udah sarapan. Masa ia cowok seganteng gue lupa sarapan kagak mungkin lah."
Mendengar itu Anna memutar bola matanya malas. Sungguh percaya dirinya cowok ini menembus langit ketujuh. "Gue kira belum sarapan. Soalnya lo kayak orang kelaparan, cerewet!" ucap Anna dengan tatapan malas.
"Etdah... lo doang yang bilang gue cerewet. Kali-kali ngomong gue cakep napa. Gue belum pernah dengar lo bilang gue ganteng..."
Anna melebarkan sudut bibirnya. "Iya lo ganteng bangat Kavin. Sampai gue mau muntah. Puas!" seru Anna.
"Puas bangat, heheheh..." kekeh Kavin. "Eh, ngomong-ngomong kenapa jalan? sopir lo mana?"
"Lagi ngantar bokap ke kantor."
Kavin menaikkan sebelah alisnya. "Masa sih? Bukannya keluarga lo punya dua sopir ya. Kemarin-kemarin gue lihat yang antar bokap lo ajah beda sama yang sering ngantarin lo ke sekolah," ucap Kavin menatap lekat kepada Anna.
"Lo bohong ya? Hayoloh jujur ajah dah. Kayak sama siapa ajah," lanjut Kavin. Anna hanya bisa menarik napas pelan. Sulit memang meyakinkan Kavin kalau ia tidak langsung melihatnya. Begitulah sifatnya.
"Gak baik tau urusan orang lain Vin. Ngomong-ngomong lo gak ada teman kan berangkat ke sekolah. Gue nebeng ya sekali ini ajah. Gue memang nyusahin tapi boleh lah ya sesekali nyusahin lo."
"Sering-sering juga gak masalah, tapi bayar ongkos lo ya," ucapnya membuat Anna mendelik tidak menyangka kalau cowok ini akan meminta bayaran padanya.
"Muka lo langsung gitu amat. Naik cepat, keburu gerbang sekolah di tutup. Gue cuman bercanda, serius amat..." Anna naik ke atas motor dengan bantuan pundak cowok itu.
"Udah belum?" tanya Kavin. Anna langsung melirik balik lalu mengangguk pelan. Kavin pun menyalakan mesin motornya kemudian melaju pelan-pelan di jalanan kota yang mulai macet menuju sekolah mereka.
"Sekolah bakalan heboh bangat pasti karena lo balik sekolah lagi setelah enam bulan hilang ditelan bumi tanpa jejak sama sekali."
"Lo kali yang ditelan bumi!" Kavin langsung tertawa sambil menyalip-nyalip roda empat yang menghalau jalan mereka menuju sekolah.
Sepuluh menit kemudian mereka tiba di depan sekolah. Sebuah papan besar bertuliskan Starlight High School menggantung di atas gerbang sekolah. Gedung sekolah mereka bak seperti kampus internasional. Sekolah berlantai empat yang dikelilingi pohon-pohon rindang yang hijau.
Anna pun bergegas turun dari atas motor Kavin. Setelah itu ia mengamati wajah Kavin dengan lekat, ia akui wajah Kavin memang tampan tapi tidak setampan pria idolanya. Sayangnya wajah tampan itu tidak terlalu menarik perhatiannya karena Kavin cowok yang suka merokok dan itu bukan idaman Anna.
"Ongkos lo mana? Bisa itu buat beli gado-gado di kantin entar buat makan siang," ucap Kavin begitu serius.
"Gak ikhlas bangat..." gerutu Anna.
"Sayang ah," ujarnya spontan membuat pupil mata gadis itu membesar. "Eh, maksud gue sayang bangat lo gak bayar ongkos. Sewa batu memang. Yaudah sono masuk, lain kali gue tagih."
Si kamvret. Katanya becanda malah kapan-kapan ditagih.
"Makasih banyak ya," ucap Anna dan Kavin membalas dengan deheman pelan. Anna menyentuh tangan Kavin tiba-tiba membuat cowok itu menatap tangan kecil Anna diatas pergelangan tangannya.
Kavin menaikkan sebelah alis. "Lo mau kemana? tinggal lima belas menit lagi pelajaran dimulai dan lo malah gak masuk?"
"Gue mau ngerokok dulu Anna. Lo bisa amanin gue kalau kedapatan ngerokok di sekolah?" Anna langsung mengegeleng. Ia tidak mau cari masalah di sekolah ketika hari ini hari pertama ia kembali.
"Tapi ini masih pagi Vin masa lo udah meroko ajah. Rusak bangat paru-paru Lo kalau dibiasain kayak gitu. Katanya cowok ganteng."
Kavin tersenyum simpul. "Gue begadang semalam jadi perlu ngerokok dulu biar gak ngantuk. Rokok doang yang bisa buat gue tenang. Aman deh pokoknya. Gue ngga sering kok ngerokok. Trust me, okay?"
Anna mengangguk. Kavin pun menyentuh pundak Anna. Memutar tubuh gadis itu menghadap arah sekolah. "Anna cantik, yang mimpinya bisa jadi calon istri dari Shawn Mandes, silahkan masuk ke sekolah ya. Jangan khawatirin gue. Lo tau kan, hasil yang baik harus dimulai dengan awal yang baik juga. Sana, lo duluan masuk."
Anna memutar kepalanya kembali melihat Kavin. Cowok itu tengah mengenakan helm full facenya. Benar-benar tidak waras punya teman seperti Kavin ini. Omongannya pun sampai membuat Anna tersentuh. Lalu detik kemudian, suara mesin motor menyala dan tanpa basa-basi lagi Kavin pergi dengan berbelok ke arah yang sama saat mereka berangkat tadi.
Anna yang menatap kepergiannya hanya bisa menggeleng heran. Kenapa ada manusia separah Kavin di dunia ini?
"Hai Anna..." Seorang perempuan berkacamata bulat menyapa Anna saat gadis itu berjalan menuju gerbang sekolah. Anna hanya tersenyum singkat membalasnya.
"Duluan ya," katanya lagi dan Anna mengangguk-angguk.
Kaki jenjang Anna terus terayun menuju gerbang yang tinggi menjulang di depan sana dan gerbang itu sudah terbuka lebar. Beberapa anak OSIS yang bertugas disana menatap kedatangannya dan lagi-lagi Anna mendapatkan senyuman lebar dari mereka.
"Hai Anna..." sapa laki-laki yang berdiri di sisi kanan gerbang itu. Laki-laki berseragam rapi, rambutnya juga ditata rapi dengan potongan undercut.
"Selamat pagi, Anna. Welcome back ya. Semoga hari ini menyenangkan." Perempuan berbando biru memegang buku kecil menyapa dan tersenyum ramah padanya.
Anna membalas sapaan mereka dengan senyuman yang sama dan disaat bersamaan salah satu siswi perempuan datang dari arah berlawanan--menubruk bahu Anna membuat gadis itu bergeser dari tempatnya.
"Aduh, maaf bangat ya. Gue kira tadi siapa tau-taunya si pembuat onar," ucap gadis itu.
Suara yang terdengar tidak asing untuk Anna mengalihkan pandangan Anna. Dia Ghea—si gadis troublemaker yang sudah sangat terkenal di penjuru sekolah ini.
"Gue pikir siapa tadi, ternyata elo yang hilang mendadak kembali mendadak juga. Gue pikir lo udah mati. Upsss... keceplosan. Sorry..."
Anna sendiri masih terdiam dan enggan untuk membalas ucapan Ghea. "Mending lo masuk kelas ajah An. Habisin energi bangat kalau lo nanggapin omongan dia," ujar laki-laki tadi pada Anna.
"Cih! gak usah sok peduli deh. Mau carmuk sama orang kayak dia?" cetus Ghea pada cowok itu.
Laki-laki bernama Titus itu langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Berurusan dengan Ghea memang tidak akan ada habisnya. Daripada menambah masalah mending ia tidak ikut campur lagi.
Ghea kembali melirik Anna. Pandangannya sedikit angkuh menatap gadis itu. "Kenapa masih sekolah? Enam bulan lo hilang dan kembali tanpa bawa perubahan apapun. Lo udah mulai percaya diri sekarang? Ah, bukan itu. Lo mau cari mangsa baru?"
Anna langsung mendekati Ghea dengan tiba-tiba. "Gak usah urusin hidup orang lain. Kaca di rumah lo sekecil apa sampai lo gak bisa sadar diri gak ikut campur urusan orang!"
"Gue sadar diri kok gue hilang selama setengah tahun. Gue juga tau bokap lo donatur terbesar di sekolah ini sampai-sampai ngomong pun lo bisa ngelunjak kayak gitu, tapi bukan berarti lo bisa urusin hidup orang lain. Kalau hidup lo udah bener baru gue patuh. Minggir lo!"
Anna mendorong pelan tubuh Ghea kesebelah kiri. Gadis itu begitu percaya diri melewati pintu gerbang, meninggalkan Ghea yang masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar dan lihat barusan.
"Wkwkwk... lo gak dengar itu Ghe," cecar Tania tersenyum meremehkan menatap Ghea.
"Diam lo!" seru Ghea membalas.
"Kayaknya lo yang skakmat sampai diam gitu Ghea. Kasian bangat hidup lo ya. Makanya jadi orang itu jangan suka ikut campur kan kena batunya lo!"
"Masalah lo sama gue apa, sih? Lo selalu ajah adu ribut sama gue kalau berurusan sama Anna. Dari dulu lo selalu ikut campur. Apa sekarang lo merasa hebat kayak gitu?"
Tania tersenyum miring menatapnya. "Siapa yang belain Anna sih Ghe. Dia kan memang benar. Lo terlalu suka ikut campur."
Ghea mengepalkan tangan di kedua sisi roknya. "Awas ya lo kali ini gue maafin, tapi lain kali gue balas tingkah lo barusan," kelakar Ghea pada gadis berbando biru itu lalu melangkah memasuki sekolah.
"Dia gak ada segannya ya ngomong sama seniornya sendiri," kata laki-laki di samping Tania.
Tania berdecak pelan. "Biarin ajah. Kalau dia gak ada sengannya sama kakak kelasnya kita juga berhak dong berlaku seenaknya. Mau dihargai ya hargain balik dong," kata Tania.
Sementara Anna yang baru saja melangkah memasuki gedung sekolah tiba-tiba saja berhenti ketika suara cempreng dari arah belakang memanggil namanya.
- to be continued -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
nitch
suka bangat klo Anna lebih tegas begini
2023-07-25
0
nitch
parah bgt tuh temannya
2023-07-25
0
nitch
baca ini jadi keingat masa sekolah dulu
2023-07-25
0