Bagian 3

...🍁Disclaimer🍁...

...Dilarang mengcopy / menulis ulang cerita ini dalam bentuk apapun. Cerita ini asli dari imajinasi Author. Baik dari segi nama, tempat dan alur cerita semua dari hasil pengembangan imajinasi Author sendiri. Harap-harap diperhatikan dengan baik. Mencuri hak orang lain tidak akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik....

...•••...

"BUNDAAAAA!!!"

Suara keras yang terdengar dari lantai dua membuat Bi Rina yang sejak kepulangan majikannya berada di dapur mulai merasa khawatir dan ketakutan. Bagaimana tidak takut, jika beliau datang menolong Anna saat ini, Bi Rina bisa kehilangan pekerjaannya dalam waktu singkat.

Sekarang Bi Rina hanya menunggu waktu yang tepat agar ia bisa membantu nona nya yang sedang kesakitan di dalam kamar. Sungguh, beliau tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya Anna merasakan pukulan dari ayahnya selama bertahun-tahun.

Ryan tidak memberikan kesempatan sekalipun pada Anna untuk sembuh dari luka bekas pukulannya. Bukan sekali dua kali ia mendengar isakan tangis, bentakan, bahkan suara pukulan di rumah ini tapi terlalu sering dan sudah biasa terjadi.

Seperti kejadian malam ini, Bi Rina yang berdiri di ambang pintu kamar gadis itu segera bersembunyi di balik lemari ketika mendengar langkah kaki menuju pintu. Setelah bersembunyi dengan aman, Bi Rina mengintip majikannya keluar dan berjalan menuruni tangga.

Pelan-pelan Bi Rina mengamati keadaan sekitar dan mendengar pintu rumah terbanting dengan keras. Bahkan suara mobil yang menjauh dari pekarangan rumah membuat Bi Rina langsung berjalan cepat memasuki kamar Anna.

Kalau sudah seperti ini, majikannya itu pasti akan pulang lebih lama. Beliau segera berjalan cepat memasuki kamar dan melihat Anna berada di kamar mandi, basah kuyup dan menggigil hebat. Beliau mendekat dan membungkus tubuh gadis itu dengan selimut tebal.

"Mari non ikut Bibi. Non bisa demam kalau berlama-lama di sini." Anna bangkit dengan tubuh bergetar menuju sofa besar di dekat tempat tidur.

Setelah mengeratkan selimut di tubuhnya, Anna menatap kaki renta Bi Rina berjalan ke arah lemari, meraih sepasang baju tidur dan tidak lupa sebuah kotak P3K dari lemari bagian bawah.

"Kenapa sakit sekali ya Bi. Kenapa ayah tidak sekalian saja bunuh Anna. Kenapa harus menyiksa Anna seperti ini sesuka hati ayah," lirih Anna dengan mata berair dan napas yang tersendat-sendat. Hidung dan matanya juga sudah memerah.

Bi Rina duduk dengan memangku kotak P3K. "Maafin ya non. Bibi tidak bisa bantu tadi, bibi sangat takut ikut campur. Sekarang, biar Bibi bantu bukain bajunya ya."

Anna mengangguk pelan dan mengangkat kedua tangannya keatas. Rasanya ia sudah seperti anak kandung Bi Rina, diperlakukan seperti ini pun tak membuatnya Anna merasa malu lagi jika bagian tubuhnya dilihat Bi Rina.

Punggung yang dulunya mulus kini sudah dipenuhi dengan memar, luka bekas pukulan baik yang sudah mengering maupun luka basah dari pukulan ayahnya tiga hari lalu.

"Tahan sebentar ya non. Bibi obati dulu luka di punggung non baru setelah itu non bisa istirahat," ucap beliau.

"Padahal kemarin punggung non ini lukanya sudah hampir kering tapi sekarang malah berdarah lagi. Selain ini non masih ada yang luka?" Anna memiringkan badannya, ia menunjuk perut dan kakinya. Matanya tampak sayu melihat Bi Rina.

"Perut Anna sempat ditendang ayah Bi. Kaki Anna juga diinjak ayah sampai merah begini."

"Ya Tuhan, perut non juga ditendang bapak?" Anna mengangguk. Bi Rina yang merasa sedih menghentikan tangannya mengobati punggung Anna. Beliau menunduk dengan mata berkaca-kaca. Ini sudah diluar batas.

"Bibi jangan menangis. Cukup Anna ajah yang menangis seperti ini. Bibi jangan..."

"Bagaimana non... bagaimana bisa Tuan-ah, bibi ngga sanggup non bilangnya. Mau sampai kapan non tahan denga sikap ayah non yang selalu seperti ini."

"...Lihat, lihat semua yang ada di tubuh non ini. Bibi juga orangtua non, bibi juga punya anak. Membayangkan anak bibi dibuat orang seperti ini Bibi tidak akan sanggup. Dan non sudah Bibi anggap seperti anak bibi sendiri."

"Hiks... hiks... Anna harus apa Bi. Harus apa yang Anna lakukan sekarang. Apa Anna pergi saja dari rumah ini atau Anna bunuh-"

"Jangan non, jangan lakukan itu. Dosa non..." kata Bi Rina menggenggam kedua tangan Anna yang bergetar. Hanya itu yang ada di pikiran Anna sekarang, ingin cepat mati dan semuanya berakhir.

"Apapun masalahnya jangan sampai bunuh diri Non. Bibi mohon jangan melakukan itu."

Anna langsung memeluk Bi Rina erat. Menumpahkan semua rasa sakitnya lewat air mata di pundak beliau. Napasnya juga ikut naik turun, sampai usapan pelan dan nyaman membuat Anna perlahan merasa tenang.

"Jika hari ini Tuhan belum memberi izin untuk non bahagia, semoga kelak ada kesempatan non merasakan kebahagian."

Tak ada jawaban dari sang empu, Anna justru menatap kosong objek di hadapannya. Kenapa dirinya harus seperti ini? Apa yang harus dia lakukan agar terlihat baik di depan ayahnya?

"Bibi obati lagi ya?" Anna mengangguk. Ia menyeka air matanya kasar dan setelah itu...

"Arrghhh... sakit Bibi...." ringisnya ketika merasakan sesuatu yang dingin, lembab dan beraroma tidak enak menyentuh punggungnya bagian tengah.

"Maaf Non. Obat ini baru tadi pagi Bibi beli di pasar. Pakai obat ini katanya lebih manjur dan luka non bisa cepat kering."

Anna mengangguk dan menggigit bibir bawahnya kuat merasakan obat itu mulai beraksi di punggungnya dan sesekali ia menutup mata menahan rasa sakitnya.

"Sudah selesai non," ucap Bi Rina menurunkan baju tidur gadis itu pelan-pelan. "Sekarang non istirahat saja ya karena besok non mulai sekolah. Bibi permisi dulu."

"Bibi..." seru Anna pada Bi Rina yang hampir keluar dari kamar. "Iya Non?"

"Bibi harus janji jangan tinggalin Anna apapun yang terjadi. Kalau bibi berani ninggalin Anna sendiri Anna gak akan pernah maafin Bibi."

"Iya Non iya. Bibi akan selalu ada untuk non suka maupun duka. Bibi janji..." Setelah itu beliau keluar dari kamar Anna.

Sebelum Anna tidur, ia mencoba berdiri sebisa mungkin untuk berjalan ke arah pintu, hendak mengunci pintunya. Setelah itu kakinya melangkah naik ke atas ranjang dan dengan hati-hati berbaring.

Anna mengubah posisi tidurnya menyamping karena merasa tidak nyaman dengan punggungnya yang masih terasa perih bekas cambukan ayahnya beberapa hari lalu. Menatap langit-langit kamar dengan waktu cukup lama Anna pun akhirnya terlelap begitu juga dengan napasnya yang perlahan teratur.

...🍁🍁🍁...

Esok paginya. Ryan terlihat sudah rapi dengan setelan kantornya dipagi yang mendung ini. Pria itu tengah berdiri sambil mengepalkan tangan dengan rahang yang mengetat memukul pintu bercat putih di depannya. Pintu kamar Anna.

Pria itu sudah sudah lima belas menit lalu menghabiskan waktunya disana dan tidak mendengar jawaban dari dalam kamar.

"Apa dia belum bangun juga jam segini? Kenapa anak ini selalu saja membuat masalah!" gumam Ryan kesal.

"Bu Rina, cepat kemari!"

"Ada apa, Tuan?" Bi Rina menghampiri majikannya di depan pintu kamar nona mudanya.

"Ambilkan kunci cadangan kamar ini. Cepat! Anak ini kalau tidak diberi pelajaran tidak akan pernah jera saya lihat! Sudah dihukum semalam dan sekarang malah buat masalah lagi!"

"Baik, Tuan. Segera saya ambilkan." Beliau berlari ke tempat lemari untuk mencari kunci cadangan kamar nona mudanya.

"Sudah diingatkan semalam kalau dia akan masuk sekolah hari ini. Tapi diperingati terus-terusan malah tidak dengar."

"Cepat Bu! Kenapa kau lambat sekali!"

"Maaf Tuan. Ini kuncinya," ucapnya mengulurkan kunci tersebut ke tangan majikannya. Ryan dengan cepat membuka pintu dan pandangannya langsung jatuh ke arah tempat tidur dimana Anna masih bergulung dengan selimut tebalnya, hanya menampakkan wajahnya yang memerah.

"Anna!!" Ryan berteriak keras dan langsung menguyur tubuh gadis yang berselimutkan selimut tebal itu dengan segelas air dari atas nakas.

Anna sontak terkejut dan terbangun dari tidurnya setelah merasa ada yang menyiramnya. Ia juga terbatuk karena air masuk ke mulut dan hidungnya.

Karena merasa aneh, Anna pun mengangkat pandangannya dan mata itu membulat sempurna menatap wajah marah ayahnya sambil mengusap wajahnya yang basah dengan selimut.

"Ayah..." tuturnya lembut. Anna menatap kehadiran ayahnya segera langsung berdiri tegap. Kepalanya yang terasa berat, badannya panas dingin tidak mampu menahan berat badannya. Sampai sentuhan keras di pipi membuat Anna limbung dan jatuh di lantai. Ia tertugun sesaat.

"Kau pikir kau ini anak pejabat kalau pagi-pagi dibangunin pembantu, hah?! Apa kau tuli sampai tidak dengar ayah memanggilmu? Ayah dari tadi mengedor pintu kamarmu ini. Kau malah asik tidur dan tidur. Kau tidak sekolah, hah?"

Anna mencoba kembali berdiri walau rasa sakit di kepalanya kian menyerang. "Kenapa Anna yang ayah salahkan? Ayah lupa kalau kamar ini kedap suara? Sekuat apapun ayah teriak Anna tidak akan dengar!"

"...dan juga, apa Anna tidak bisa tidak menerima pukulan dari ayah terus? Ayah pikir Anna hidup untuk ayah sakitin begini?"

Mata yang tadinya menatap sendu kini terbuka lebar, membulat sempurna menatap sang ayah yang berdiri dengan kerutan tebal di keningnya.

Ryan pikir Anna itu tidak bisa semarah itu, tentu saja ia bisa. Akan tetapi, mungkin akan terlihat tidak sopan atau kurang ajar dengan sikap berani Anna yang akan terlihat keterlaluan.Walau untuk membela diri, Ayahnya pasti akan marah besar padanya.

"Kalau ayah memang mau menyiksa Anna terus, jangan buat tangan ayah capek, langsung saja bunuh Anna!"

"Mau sampai kapan ayah beri Anna penderitaan seperti ini. Tidak ada masalah besar yang terjadi, hanya masalah kecil saja pun ayah menyiksaku seperti ini. Binatang pun Ayah, Anna rasa tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh pemiliknya, dan ayah sendiri..."

Anna menahan ucapannya dan menarik napas dalam-dalam, sedikit tersengal. "Memangnya apa sih salah Anna sampai ayah seperti ini? Mau sekuat apa lagi Anna mati-matian berdiri di depan Ayah? Bertahun-tahun Anna sabar hadapin sifat keras ayah. Bunuh Anna saja, ayah, bunuh!!" kalakar Anna dengan mata sedikit berkaca-kaca. Anna sebenarnya lelah mengatakan ini. Ayahnya tidak akan pernah mendengarnya.

Anna dengan berani berbicara lantang dihadapan Ryan karena kalau ia masih ingin hidup atau mati menyedihkan disiksa ayahnya sendiri ia harus bisa membela dirinya seperti sekarang.

Baginya, kelakuan ayahnya yang seperti ini sudah makanan sehari-harinya. Entah kesalahan besar atau kecil ayahnya akan selalu bermain tangan padanya.

Selesai melampiaskan rasa marahnya bahkan sampai membuat Anna berani menatap marah dirinya, Ryan yang bergeming sambil menatap wajah Anna, seolah mencari darimana keberanian itu datang tiba-tiba.

"Kau memang anak tidak tahu diri, Anna! Tidak tahu terimakasih! Ayah sudah mengurusmu selama ini. Harusnya kau jaga bicaramu-Ayah tunggu lima belas menit lagi, kalau kau tidak ada di meja makan Ayah tidak izinkan kau sekolah hari ini! Dasar anak tidak tahu diuntung!"

Setelah mengatakannya Ryan beranjak dari sana. Anna menatap punggung lebar ayahnya menjauh dari dalam kamar. Rasa kesal dan marah tampak jelas masih menguasai dirinya, sampai ekor matanya melirik bingkai foto di atas meja belajarnya.

Sebuah bingkai foto yang memperlihatkan Anna berdiri diantara ayah dan ibunya sembari menggenggam tanga mereka dengan erat. Anna saat itu sedang mengenakan dress putih motif bunga tersenyum lebar ke arah kamera.

"Anna tidak pernah meminta Ayah mengurusi Anna selama ini. Kalau memang aku ini bisanya jadi beban, kenapa tidak titipkan saja Anna sama Tante Sekar. Kadang kala ayah sangat keterlaluan!"

Anna membalikkan bingkai foto itu dengan kasar lalu pergi ke kamar mandi untuk mulai bersiap membersihkan dirinya, bersiap untuk berangkat sekolah di hari pertama ia kembali setelah lama ia tidak terlihat.

-to be continued -

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!