...🍁Disclaimer🍁...
...Dilarang mengcopy / menulis ulang cerita ini dalam bentuk apapun. Cerita ini asli dari imajinasi Author. Baik dari segi nama, tempat dan alur cerita semua dari hasil pengembangan imajinasi Author sendiri. Harap-harap diperhatikan dengan baik. Mencuri hak orang lain tidak akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik....
...•••...
..."Lihat, kamu tersakiti lagi Anna. Apa kamu tidak ingin menyerah?"...
..."Tidak! Ini hanya masalah kecil. Aku yang salah dan aku yang akan putuskan apa yang akan kulakukan."...
...🍁🍁🍁...
"Kenapa kita harus pindah, Ayah?" tanya anak perempuan yang sedang memakai baju hangatnya dengan bantuan sang pengasuh. Saat Anna bangun dari tidurnya, dia dikejutkan dengan pakaiannya yang telah dimasukkan ke dalam koper.
Setelah ayahnya pulang dari pemakaman, tidak dengan Anna, keluarga besar dari istrinya sendiri masih berada disana, berduka karena kepergian putri mereka yang begitu cepat. Ryan pergi lebih dulu meninggalkan tempat dan kembali ke rumah. Kejadian malang hari ini seolah diabaikan Ryan begitu saja. Tidak ada juga raut wajah sedih terpatri di wajahnya saat pergi dari sana.
"Ayah, kenapa kita harus pindah?" tanya Anna pada ayahnya yang sibuk memasukkan barang-barang penting ke dalam koper. Ryan yang merasa terganggu lantas menoleh tajam pada Anna.
"Tidak ada yang bisa ayah katakan Anna. Kita memang harus pindah dan kau akan ikut dengan ayah. Rumah ini akan ayah jual dan kita pindah ke Bandung."
Anna yang tidak paham betul situasi yang terjadi menghela nafas kasar. Tangan kirinya masih menggenggam erat foto Bundanya.
"Bibi, apa yang ayah bilang barusan itu benar? Kenapa harus pindah. Kalau kita pergi dari rumah, Bunda pasti kecarian."
Apa yang tengah terjadi di malam mereka pergi ke pasar malam sungguh Anna tidak ingat. Entah apa yang terjadi, yang jelas sejak pergi dari sana, Anna sudah tidak sadarkan diri dan sempat dirawat di rumah beberapa jam.
Bahkan Ryan yang tidak menyangka Anna tidak ingat hal itu justru mengarang cerita pada Anna bahwa Naura sedang ada di luar kota.
Ryan tidak mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Sedangkan Bi Rina yang mendengar ucapan Anna barusan lantas berjongkok, mensejajarkan tingginya di hadapan Anna.
"Tidak Non. Bunda tidak akan kecarian lagi. Bunda non Anna baik-baik saja. Seperti ayah bilang tadi Bunda lagi di luar kota," jelas Bi Rina berbohong.
"Kita akan bertemu Bunda di sana ya Bi?" Dengan cepat Bi Rina mengangguk. Beliau sebenarnya tidak sanggup tapi ini perintah langsung dari majikannya untuk tidak mengatakan apapun pada Anna.
"Anna?" Suara dari ambang pintu rumah yang terbuka lebar membuat Anna menoleh. Ryan yang selesai dengan aktivitasnya juga ikut melihat ke arah pintu. Disana, seorang anak laki-laki berjalan pelan-pelan mendekati Anna.
"Kamu mau pindah, Anna? Kemana kamu akan pergi?" Anna mendekat pada anak itu. Meraih tangannya dan mulai berbicara.
"Anna tidak akan pergi jauh, Prince. Anna akan ikut dengan ayah. Nanti Anna akan kembali lagi kemari. Kita bisa bermain seperti kemarin lagi," kata Anna dengan lembut. Anak laki-laki itu pun tiba-tiba menangis dan memeluk Anna dengan erat.
"Kau harus janji untuk datang kemari ya. Jika tidak, aku akan kesana menemuimu bersama ayah Bunda. Kita sudah berjanji tidak akan saling meninggalkan."
"Aku janji jadi jangan menangis lagi ya. Kita pasti bertemu lagi." Anna mengusap air mata yang jatuh di pipi anak itu.
"Titip barang-barang Anna ya. Nanti kalau Anna kembali Anna akan ambil semuanya. Jangan sampai hilang loh. Kalau hilang kamu harus ganti." Anak itu tersenyum dan kembali memeluk Anna dengan erat tuk terakhir kalinya.
"Anna! ayo cepat kita harus pergi," seru Ayahnya menggeret dua koper besar ke luar dari rumah. Tiga van hitam sudah menunggu di luar. Bi Rina berdiri di dekat Anna dan meraih tangan anak itu, menuntunnya keluar dan berlalu dari hadapan anak laki-laki disana.
"Anna..." Panggilan terakhir dari anak kecil dibelakang Anna terdengar, tapi ia menghiraukan suara itu dan terus keluar dari rumah.
Belum sempat Anna masuk dalam mobil, kedatangan Tantenya membuat genggaman tangan Anna terlepas dari tangan Bi Rina. Anna terkejut begitu juga dengan Ryan. Gadis kecil itu mendongak menatap wajah Tantenya.
"Kau tidak bisa membawa Anna pergi, Ryan! Anna akan ikut bersamaku," ucap wanita bernama Saras, menguatkan pegangannya di tangan Anna.
"Tante? Tante mau ikut juga dengan Anna, ya? Kata Ayah tadi kita akan pindah dari rumah ini terus ketemu Bunda di Bandung...."
Saras menatap Anna dengan mata berair. Anna tidak paham siatuasinya. Wanita itu menunduk sedikit, mendekatkan dirinya pada Anna lalu menangkup kedua pipinya lembut.
"Kamu tinggal sama Tante ajah ya, Anna..."
"Tapi Tante... Anna mau ketemu Bunda disana. Kata ayah Bunda ada di Bandung," ujar Anna pada Saras. Saras justru mengegeleng dan menundukkan kepalanya.
"Bunda kamu sudah tiada, Sayang..." lanjut Saras dalam hati.
"Lepaskan tanganmu!"
Ryan datang dan tampak tidak senang melihat kehadiran Saras di dekat Anna. Ryan dengan cepat menarik Anna ke belakangnya dan memberi kode pada Bi Rina membawa Anna masuk dalam mobil.
Anna masuk dan mobil langsung di kunci dari dalam. Wanita itu langsung menggeram kesal dengan apa yang terjadi.
"Demi kebahagiaanmu sendiri kau rela melakukan itu pada keluargaku, Ryan--Kau bersekongkol dengan preman-preman itu untuk membuat Naura meninggal. Aku tau kau sudah mengatur semua ini hanya untuk merebut perusahaan milik Naura agar semuanya bisa menjadi atas namamu dan kau bisa menikah dengan wanita simpananmu. Iya, kan?"
"Apa yang kau katakan?! Kau berpikir aku menikah dengan Naura karena apa yang adikmu miliki? Aku mencint-"
"Omong kosong semua itu!" pekik Saras memotong ucapan Ryan yang tampak mengelak dari kebenarannya.
"Naura melihat semua yang kau perbuat selama ini dibelakangnya. Adikku bukan wanita bodoh seperti kau ini Ryan. Dia wanita berpendidikan dan kau mengatur semua ini demi bisa bersama wanita yang jadi selingkuhanmu!"
"Apa yang akan terjadi jika aku mengatakan kebenarannya pada Anna? Apa Anna akan menganggapmu sebagai ayahnya? Kurasa tidak. Kau tidak lebih dari seorang pembunuh! Seorang ayah yang tega menghabisi istrinya sendiri demi bisa hidup dengan wanita selingkuhannya!"
Saras bergerak ke arah mobil. Mengedor pintu berulang kali dan membuat Anna di dalam mobil terus bertanya-tanya pada Bi Rina. "Buka pintunya, Bi Rina! Anna tidak boleh pergi dengan ayahnya. Bukaaa!!!"
"Pergi kau!" Ryan menarik dan mendorong kasar wanita itu hingga jatuh tersungkur di lantai marmer.
"Jika kau masih menginginkan Anna kembali, jagalah sikapmu ini. Sampai kau berani melakukan yang tidak-tidak, Anna akan dalam bahaya. Kau mengerti!" Setelah mengatakan itu, Ryan langsung masuk ke dalam mobil. Kemudian dua mobil di belakang mengikut keluar dari pekarangan rumah besar itu.
"Sialan kau, Ryan! Kau akan dapat ganjaran dari semua perbuatanmu ini..."
...🍁🍁🍁...
Beberapa tahun kemudian. Kota Bandung pada tahun 2022. Tepatnya di kediaman Williams.
Malam ini tepat pada pukul sembilan lewat tiga puluh, Bibi Rina selaku pengasuh Anna sejak kecil melangkah menaiki deretan anak tangga menuju kamar di lantai dua baris pertama sebelah kiri. Tangan renta berkeriput itu terangkat mengetuk pintu di hadapannya.
"Non Anna, ini Bibi bawakan makan malamnya non. Dari tadi pagi Bibi lihat non belum sarapan apa-apa. Keluarlah non..."
Perempuan yang berada di dalam kamar itu tengah duduk bersilang di kursi belajarnya. Mendengar suara dari balik pintu Anna pun dengan malas beranjak dan membuka pintu.
Ia menatap wajah wanita itu beberapa saat lalu setelahnya manik matanya turun pada nampan berisikan nasi putih, sepotong daging ayam bagian dada, sayur brokoli rebus dan segelas susu putih di genggaman Bi Rina.
Di usianya yang menginjak tujuh belas tahun, Anna tumbuh menjadi gadis remaja nan cantik dengan tubuh proporsionalnya--memiliki poni belah serta rambut hitam legam bergelombang menjuntai hingga punggung.
Ia juga juga memiliki hidung mancung dengan bibir sedikit tebal berwarna merah muda dan pipi tirus dengan garis rahang yang tajam. Semua ciptaan yang nyaris sempurna itu benar-benar turunan dari Naura, bundanya.
"Kenapa repot-repot sih Bi siapin ini semua. Anna kan bisa ambil sendiri makanannya kedapur. Gak mesti Bibi antar kemari. Ini juga dah udah jam sepuluh," ucap Anna.
"Justru karena sudah jam sepuluh malam bibi datang kemari ngantar makanan non. Masa sampai semalam ini non ngga makan."
"...Kemarin pun begitu. Non bilangnya bentar lagi, Bibi tungguin juga, tapi sampai jam sepuluh non gak turun-turun buat makan. Pas Bibi cek ke kamar taunya non ketiduran. Ayolah, Non dimakan dulu makanannya ya. Bibi takut kalau non sampai jatuh sakit."
"Anna benar-benar ngga lapar Bi. Bibi ajah yang makan ya biar Anna lanjut belajar lagi," ujar Anna. Ia yang hendak menutup pintu tertahan karena tangan Bi Rina dengan cepat menahan pintu dan membuat Anna mendesah pelan.
"Bibi gak akan pergi dari kamar ini kalau makanan ini belum habis non. Biarkan saja Bibi capek berdiri disini."
Anna memutar bola matanya malas. Setelah menimbang beberapa saat, Anna pun membuka lebar pintu kamar dan meraih nampan dari tangan wanita itu. "Kalau begitu Bibi masuk ajah dan temanin Anna makan."
Anna berjalan lebih dulu memasuki kamarnya, disusul Bibi Rina dari belakang, memasuki kamar dengan nuansa hitam tersebut. Tak ada sudut kamar yang tidak berwarna hitam.
Dulunya kamar itu bercat biru putih dengan banyak boneka memenuhi kamar. Tapi sejak ayahnya berubah sikap Anna bersikeras merubah desain kamar dan membakar semua pemberian ayahnya.
Banyak hiasan yang terbuat dari kertas origami tertempel di dinding dan menggantung di langit-langit kamar. Dua rak buku juga berjejer di sebelah kanan dari tempat tidur.
"Sejak kapan non buat ini semua?" tanya Bi Rina masih memperhatikan langit-langit kamar Anna yang begitu indah.
"Sudah lama Bi tapi baru ini Anna punya waktu buat hias kamar ini. Anna gabut jadi mengerjakan semuanya dalam satu hari ini makanya Anna satu harian ini dikamar. Ini yang Anna lakukan."
Beliau mengangguk pelan lalu menatap tangan kecil nonanya yang memasukkan satu suapan nasi dalam mulut dan begitu berulang kali hingga piring dan semangkok brokoli bersih tak bersisa.
"Kalau non tiap hari belajar tapi lupa untuk isi perut semua akan percuma non. Belajar pun butuh tenaga. Mencegah lebih mudah daripada mengobati," kata Bi Rina.
"Sejak kapan sih Bibi mulai cerewet begini? Jangan cerewet Bi entar Bibi cepat tua."
"Ya memang Bibi udah tua pun Non. Semuanya dah berkerut," jawab Bi Rina. Anna tiba-tiba terkekeh pelan. Bi Rina jarang melihat gadis itu tertawa pelan biasanya juga Anna akan mamasang wajah dingin datar.
"Maafin Anna ya Bi kalau nyusahin Bibi terus."
"Gak ada yang namanya nyusahin Non. Ini sudah tugas Bibi merawat dan menjaga non, seperti janji Bibi sama mendiang Bundanya Non dulu."
"...dulu Bundamu lebih parah kalau soal makan. Kamu kan masih enak tidak milih-milih makanan. Kalau Bundamu itu dia tidak suka makanan berminyak, maunya yang direbus. Bibi selalu kewalahan mengatur makanan setiap hari. Kalau sakit duh Bibi minta ampun, capek sekali non."
Anna termenung mendengarnya. Sudah puluhan tahun memang beliau tinggal bersama bundanya bahkan sejak Anna lahir kedunia ini pun beliau masih bekerja bersama Naura.
Anna pun melirik foto Naura di dekat tempat tidur. Seminggu lagi adalah hari peringatan kematian Bundanya dan ia harus datang kepemakaman beliau seperti biasa. Ia akan pergi ke Jakarta. Rutin ia lakukan setiap sekali setahun.
"Kapan katanya ayah pulang Bi?" tanya Anna pada Bi Rina yang meraih nampan di atas pahanya.
"Kalau tidak salah bapak bilangnya pulang besok siang atau lusa non. Memangnya non tidak dapat telepon dari bapak ya?"
Anna menggeleng. "Ayah udah jarang ngomong sama Anna Bi. Pulang pun ayah langsung ke kamar dan besok paginya udah gak ada dirumah."
"Yang sabar ya non. Bibi doakan semoga tuan cepat berubah dan kembali seperti dulu lagi. Bibi juga bingung kenapa tuan bisa sampai seperti itu padahal tidak ada kesalahan yang non Anna lakukan."
"Anna yang buat Bunda meninggal Bi. Itu sebabnya ayah jadi seperti itu pada Anna."
Hening. Bi Rina tidak bisa berkata apa-apa. Seandainya saja mereka tidak pergi ke pasar malam itu mungkin Naura masih hidup hingga sekarang, tapi nasib berkata lain. Anna harus kehilangan sosok ibu di hidupnya.
Kamar berukuran besar itu begitu senyap setelah Anna mengatakannya terang-terangan, sampai sentuhan di pundaknya mengalihkan mata gadis itu. Anna menatap Bi Rina dengan sendu.
"Semua kejadian yang sudah lewat tidak ada kaitannya dengan non bahkan mendiang bundamu sekalipun tidak ada niatan pergi secepat itu, tapi itulah pengorbanan. Harusnya bapak sadar dengan apa yang sudah bundamu lakukan dulu bukan malah menyalahkanmu sampai sekarang."
"Sudahlah jangan dipikirkan terus. Sekarang non istirahat ya. Ini sudah tengah malam. Kalau gitu bibi permisi ya, selamat malam non Anna."
...🍁🍁🍁...
Selang lima belas menit Anna berdiam diri di tepi ranjang, gadis itu pun memilih beristirahat dengan berbaring malas di atas tempat tidur sembari jemari lentiknya bermain di layar ponselnya.
Terhitung sudah enam bulan lebih ia tidak masuk sekolah. Rindu masa sekolah seperti biasa, banyak foto-foto teman sekelasnya ia lihat lewat akun fakenya di sosial media.
Sejak kejadian yang menimpanya dua tahun lalu dengan banyak masalah yang terjadi, ayahnya dengan tegas mengambil langkah jauh-melarang Anna untuk pergi kesekolah dan menghilang dari peradaban. Tidak pernah terlihat keluar dari rumah selama setengah tahun, kecuali perpustakaan kota-itupun secara diam-diam dan ditemani beberapa pengawal ayahnya.
Ponsel bercase biru di atas meja bergetar. Segera mungkin Anna mengangkatnya. "Halo Bi-" ucap Anna.
Balasan yang terdengar dari seberang telepon membuat Anna membisu. Mendengar perkataan Bi Rina lewat telepon, tangannya langsung gemetaran. Ia pikir ayahnya benaran tidak pulang seperti kata Bi Rina ternyata ia salah. Hal yang tidak Anna duga justru terjadi.
Entah kenapa mendengar nama ayahnya, Anna selalu takut. Ia lantas berjalan ke arah jendela, dilihatnya mobil ayahnya sudah berada di depan gerbang rumah. Mobil itu memasuki garasi rumah.
Kenapa ia tidak sadar ayahnya sudah pulang? Gawat. Anna mulai panik sendiri. Dengan jantung yang berdegup kencang, Anna cepat-cepat duduk di kursi belajarnya dan meraih segala macam buku soal yang sering ia kerjakan.
Kali ini ia tidak boleh melakukan kesalahan, mengingat setiap ia salah ayahnya tak tanggung-tanggung menghukumnya. Kedua tangannya mulai sibuk mengerjakan soal. Entah kenapa dirinya bisa setakut ini kalau bertemu dengan ayahnya. Apalagi bayangan saat ayahnya menyiksa dirinya tiga hari lalu. Sungguh Anna tidak sanggup mengingatnya.
Tangannya bergetar memegang pena cairnya. Anna memiliki tremor yang ringan sejak ia sering mendapatkan kekerasan dari sang ayah bahkan teman-teman di sekolahnya. Ia diperlakukan sangat buruk sampai Anna kerap panik dan ketakutan walau hanya dibentak atau dimarahi saja. Anna mulai membalikkan halaman buku, berpura-pura mencatat di buku latihan miliknya.
Perlahan ia menarik napas dalam saat gagang pintu kamarnya terdengar terbuka. Ia tidak lantas menoleh karena tahu itu pasti ayahnya. Dengan melirik melalui ekor mata, ayahnya kini berjalan ke arahnya.
Suara sepatu pantofel itu terdengar di dalam kamar disusul genggaman tangan Ryan di kursi yang ia duduki lalu detik berikutnya Anna merasakan kepalanya di usap pelan oleh sang ayah. Anna pun menoleh dan tersenyum pada Ryan.
"Ayah sudah pulang? Anna kira ayah pulangnya besok atau lusa," ucap Anna tapi ayahnya tidak menggubris pertanyaannya. Ryan justru memperhatikan pekerjaan yang Anna lakukan sebelum ia datang.
"Sudah berapa lama kamu belajarnya? Jangan terlalu lama. Kau besok akan mulai sekolah. Sekarang istirahatlah. Ayah tidak ingin konsentrasimu terganggu karena kau mengantuk di sekolah."
"Oh, iya Ayah juga sudah berbicara empat mata dengan kepala sekolahmu dua hari lalu. Ayah tidak sengaja bertemu dengan beliau di kafe Serasa, sekalian ayah juga minta maaf karena membuatmu mogok sekolah. Sekarang kau tidurlah."
"Sebentar lagi ayah, Anna masih ada beberapa soal lagi untuk dikerjakan," ujarnya menunjukkan buku soal miliknya yang tiga nomor soal sudah ia lingkari.
"Besok masih ada waktu mengerjakannya. Ini sudah malam, ayah tidak mau kalau kau sampai mengantuk di sekolah, Anna. Ayah tidak suka itu. Besok hari pertamamu masuk jadi turuti perkataan ayah..."
Anna lantas mengangguk dan dengan gerakan cepat membereskan semua buku dan alat tulisnya dari atas meja. Jangan bilang ayahnya sudah pergi dari kamar--tidak, pria itu masih setia berdiri di sampingnya sambil memperhatikan aktivitas Anna.
Disaat Anna menggeser kursinya hendak berdiri, satu tangannya meraih ponsel di atas meja. Anna kira itu tidak akan jadi masalah, rupanya ayahnya menggeram dan tiba-tiba merampas ponsel di tangannya dengan kasar. Anna yang terkejut langsung menatap ayahnya panik.
"Ayah bilang apa barusan, Anna? Kamu tidak mendengar perintah ayah, hah? Untuk apa bermain handphone kalau ingin tidur? Kau suka sekali membuat ayah marah! Suka sekali kau ayahmu ini kasar padamu..."
Ryan melayangkan tamparan keras di pipi Anna. Anna yang tidak menyangka ayahnya seperti itu langsung menjaga jarak. Tubuhnya mundur dan sudah mentok di tembok.
"Ayah bilang apa tadi?" Suara ayahnya yang tiba-tiba meninggi membuatnya gemetaran karena ketakutan. Sungguh Anna sudah punya tremor sejak ia mendapat perlakuan buruk dari ayahnya. Bentakan sendikit saja bisa membuatnya takut dan gemetaran.
"M--maaf Yah," ujarnya dengan bibir bergetar. Matanya terus bergerak resah mengamati apa yang akan Ayahnya lakukan.
"Jawab pertanyaan ayah! Ayah bilang apa barusan?" Kena gampar lagi. Anna menerima pasrah tamparan sang ayah kedua kalinya hingga ia jatuh tersungkur ke lantai.
"Jawab pertanyaan ayah Anna. Ayah bilang apa barusan padamu, hah?!"
Anna masih betah diam sembari menyentuh pipinya yang panas, benar-benar seperti terbakar rasanya. Kedua manik matanya langsung berkaca-kaca.
"Kamu bisu sampai tidak bisa menjawab pertanyaan ayah? Kau ini memang ya..."
Ryan langsung menendang perut Anna dengan kuat sampai Anna meraung kesakitan. Sungguh jika ada yang bertanya rasanya seperti apa? Anna tidak berniat untuk menjawab sesakit apa rasanya ditendang oleh ayah sendiri.
"MAAFIN ANNA, AYAH..." Anna memeluk tubuhnya. Melindungi tubuhnya yang kesakitan, takut-takut ayahnya kembali mendaratkan kaki di tubuhnya.
"Kenapa kau tidak mati saja, hah? Seharusnya kau yang mati Anna!!" Ryan mengangkat tangan di udara dan cepat Anna menahan tangan sang ayah agar tidak menamparnya lagi.
"Jangan Ayah, Anna mohon--maafin Anna. Anna tidak akan mengulangi lagi." Anna memeluk erat kaki ayahnya dan disaat bersamaan Ryan dengan kejam membanting ponsel milik Anna ke lantai.
Dengan sekali hantaman, ponsel itu hancur berkeping-keping. Hadiah dari Tantenya kini rusak parah. Anna langsung bersimpuh di kaki ayahnya. Ia benar-benar takut kalau ayahnya sampai marah lagi karena kebodohannya. Tangan kecil itu gemetar hebat menyentuh tulang kering sang ayah yang masih dibalut celana kantor.
"Gara-gara ponsel ini kamu selalu mengabaikan perintah ayah. Sekarang, kemari kau!" Kali ini Ryan menarik kasar lengannya. "Kau harus dikasih hukuman biar jera. Kalau tidak diberi pelajaran kau tidak akan pernah bisa belajar dari kesalahanmu!"
"Jangan ayah. Jangan lagi, Anna mohon. Tolong jangan seperti ini, ayah..." seru Anna dengan suara parau nya. Ia terus melawan Ayahnya dan berusaha lepas dari genggaman tangan sang ayah yang kuat mencengkram lengannya.
"Cepattt!!" bentak Ryan lantang sampai memenuhi penjuru kamar.
"Bundaaaa!!!" Anna berlari sambil terteriak kencang ke arah pintu saat genggaman sang ayah mengendur di lengannya, namun belum sempat pintu terbuka ayahnya lebih dulu menarik rambutnya membuat tubuhnya terbanting keras menghantam lantai marmer.
Anna melindungi tubuhnya dengan kepala menunduk di lantai. Ia pikir ayahnya sudah menyudahinya tapi lagi dan lagi Anna merasakan sensasi yang luar biasa sakit saat rambutnya ditarik kasar, refleks Anna mendongak menatap ayahnya.
"Kau seharusnya mati Anna!" teriak Ryan sambil menginjak kaki Anna.
"Argghh! Sakit Ayah... Kenapa ayah begini sih? Kenapa ayah jadi sebenci ini padaku! Kenapa... hiks ... hiks..."
"Itu yang ayah inginkan. Ayah ingin kau merasakan apa yang Bundamu rasakan dulu. Kalau bukan karena keinginan bodohmu itu, Bundamu tidak akan pergi secepat ini. Kau memang anak pembawa sial di keluarga ini. Harusnya kau tak pernah lahir ke dunia ini!!"
Ryan menarik paksa lengan gadis itu layaknya seekor anak anjing menuju kamar mandi yang lampunya tidak menyala. Perempuan itu menangis terisak dengan tangannya masih berusaha sebisa mungkin melepaskan tangan ayahnya.
"Sakit Ayah..." Anna berucap dengan suara yang lemas.
Ayahnya terus saja mengabaikan ucapannya. Ia semakin kasar menjambak rambut putrinya lalu mendorongnya masuk ke dalam bathtub. Hampir saja kepala gadis itu membentur pinggiran bathtub kalau ia tidak cepat mengangkat kepala.
Ryan mengguyur tubuh Anna dengan air dingin. Selama ayahnya menyiramnya tubuhnya, selama itu pula Anna mencoba meraih tangan ayahnya agar berhenti menyiramnya yang kehilangan pasokan udara. "Masih ingin mengulanginya lagi?" tandas sang ayah melihat gadis itu mengusap wajahnya kasar.
"Tidak Ayah ... ampun. Anna tidak akan mengulanginya lagi. Anna minta maaf."
Setelah mendengar itu dengan jelas, Ryan menghempas shower ke lantai dengan kasar. Ia keluar dari kamar mandi tanpa sepatah kata apapun, meninggalkan Anna yang menangis di dalam bathtub dengan kedua kaki ditekuk ke dalam dadanya. Kepalanya ingin pecah karena sakitnya. Ia melirik ke arah pintu kamar dan berkata.
"Kali ini saja Tuhan, tolong dengar Anna. Anna tidak sanggup lagi. Bawa Anna bersama dengan Bunda. Anna mohon..."
-to be continue -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments